Kinara memundurkan langkahnya. Menatap wajah suaminya yang ada dua. "Hey, nona manis? Kenapa kau ketakutan seperti itu?" tanya lelaki yang sempat Kinara peluk. Kinara ingin menjawab tapi sebelum itu. "Ada apa? Kenapa kau ketakutan seperti ini?" tanya lelaki berwajah Aarav. Dia menangkup pipi Kinara yang basah karena menangis. Kinara yang mendapat respon tersebut jelas terkejut. "Saya Aarav, yang tadi kamu peluk saudara saya," ucapnya kemudian, menjawab sudah pertanyaan Kinara yang kini tengah kebingungan.Kinara mendongak untuk menatap Aarav, namun kemudian dia memeluknya dengan perasaan bungkah nan takut. Aarav tersentak kala Kinara langsung memeluknya secara tiba-tiba. Jantungnya berdetak kembali dengan cepat. "Den, Aden Aarav ... di dalam, ada Papa aden!" Suara Bi Wawa baru muncul. Dia berlari tergesa menuju kedua kembar itu. "Eh, den Aavar?" seru Bi Wawa kemudian. Dia menatap Aavar yang mana kembaran Aarav. Ya, mereka saudara kembar. Sangat mirip. Saking miripnya kadang k
"Ikut denganku," ujar Aarav menarik paksa lengan Kinara. "Bi?! bawa Lusi ke kamarnya, jangan sampai pria tua itu menyakiti mereka untuk yang kedua kalinya!" teriak Aarav sebelum dia menarik paksa lengan Kinara agar ikut dengannya. Kinara menoleh terlebih dahulu ke belakang di mana Lusi dibawa oleh Bi Wawa, sedang Darren nampaknya tengah berdebat kembali dengan saudara kembar Aarav. "Pak?"Kinara merasakan sakit kala Aarav mencekal kuat-kuat pergelangan tangannya. Menarik sampai masuk ke dalam lift untuk menuju lantai dua. Keduanya saling terdiam, berkecamuk dengan isi pikiran masing-masing. Kinara menunduk takut, melihat pergelangan tangan yang masih setia di genggam erat oleh sang suami. Merasakan bahwa atmosfer kemarahan itu masih meluap-luap di dalam diri Aarav. Ting! Suara lift terbuka, membuat Aarav kembali menarik lengan Kinara. Kini cekalan itu tidak terlalu kuat, melonggar tatkala ruang kamar keduanya sudah ada di depan mata. Aarav melepaskan cekalan tangan tersebut kala
Malam ini Kinara tidak bisa tidur, membuat ia uring-uringan di atas kasur besar. Bagaimana tidak uring-uringan? Selepas kejadian tadi suaminya itu pergi lagi yang entah ke mana. Sampai ia harus ditinggal sendiri lagi di ruangan besar ini. Karena bosan Kinara hanya menatap langit-langit atas, terlihat lampu yang menggantung di atasnya. Menghela nafas kemudian menghembuskannya. "Hufft, nasib jadi istri CEO, ya gini. Sering ditinggal sendiri," ucap Kinara berceloteh sendiri. "Padahal di kisah-kisah novel yang sempat aku baca, CEO itu bebas, bisa mengambil cuti kapan saja. Bahkan, lebih dominan menghabiskan waktu bersama sang istri dan anak-anak. Tapi ini? Bahkan untuk tidur pun harus menunggu hingga larut malam tiba."Ya, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, lebih malah. Tapi suaminya itu masih saja belum pulang. Membuat jiwanya tiba-tiba merasakan rindu saja. Kinara terbangun dari baringannya. Entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering, membuat Kinara menol
"Masakan kamu enak juga, enak banget malah," ujar Aavar kembali menarik Mie melalui sumpit, ditunggu sejenak sampai asap yang mengepul keluar sudah. "Ini masakan instant lah, Mas. Jadi ya mudah aja bikinnya," jawab Kinara sembari menyendokkan kembali sosis tersebut, mendinginkannya kemudian siap untuk menyuapi Aavar. "Omong-omong soal ilmu kedokteran, kamu sebelumnya emang sempet punya keinginan pengen jadi dokter ya?" tanya Aavar di sela-sela makannya. "Iya. Sebelumnya itu memang cita-cita saya, Mas." Aavar terdiam sejenak, dia menatap Kinara yang terdiam kembali tanpa melanjutkan. "Kenapa ingin jadi Dokter? Kan banyak tuh profesi lainnya?" tanya Aavar merasa heran. Pasalnya dia wanita baik-baik, barangkali wanita seperti itu ingin jadi seorang Ustazah mungkin? Atau profesi Guru? "Eum, karena apa ya ...?" Kinara tampak berpikir. Mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. "Mungkin karena saya sering melihat orang-orang yang kesusahan, atau orang yang sakit membuat saya memil
Kinara menutup pintu setelah masuk ke dalam. Menutupnya dengan ritme pelan, takut bilamana ternyata Aarav sudah tidur. Namun tidak, ternyata Aarav tidak ada di kamar kala mata Kinara menjelajahi seisi ruangan tersebut. "Ke mana dia?" Kinara berjalan menuju ruang ganti. Tidak ada. Kemudian berjalan menuju kamar mandi, juga tidak ada. Ke mana tuh pak suami? Kinara beralih menatap ke arah jendela yang mana gordennya terbuka sudah. Kening Kinara mengernyit sudah, kemudian berjalan menuju jendela sana yang ternyata sebuah balkon.Di sana Kinara melihat Aarav tengah duduk seorang diri. Termenung sembari kepalanya yang tengah mendongak—menatap bulan bintang. Kinara ikut termenung. 'Kenapa dengan Pak Aarav? Kenapa tengah malam begini dia duduk di luar? Apa dia tidak takut bilamana ada makhluk halus?' tanya Kinara di dalam hatinya. Kinara menghela nafas sejenak untuk menetralkan degup jantungnya. Kemudian kakinya melangkah menuju Aarav yang masih sibuk melamun. "Pak?" sahut Kinara. Dia
Pagi ini Kinara sudah bangun lebih awal. Jam di atas dinding sana sudah menunjukkan pukul empat pagi, membuatnya harus beringsut untuk ke kamar mandi, mengambil air kemudian melaksanakan salat sembahyang. Jangan katakan bahwa ia seorang alim. Bukan, ia bukan wanita seperti itu. Justru dirinya hanya sedang memperbaiki dirinya saja, tidak lebih tiduk kurang. Sebelum itu Kinara menoleh pada Aarav terlebih dahulu, terlihat raut wajah yang tampak kelelahan, wajahnya sayu, bagaikan bunga yang sudah lama tidak terawat. Ah, pasti karena pekerjaannya yang semakin menumpuk itu membuat suaminya kurang istirahat. Iseng, Kinara beranjak dari duduknya, berjalan menuju tepi Aarav yang tertidur dengan pulas. Kinara terkekeh kecil. Menatap setiap lekukan indah yang dimiliki Aarav. "Bapak kenapa tampan banget sih? Mana Bapak punya kembaran lagi, buat Kinara susah dalam memilih mana Bapak dan mana Mas Aavar," ujar Kinara pelan. Kinara tersenyum, menatap seksama wajah Aarav dari dekat. Seolah ingin
"Nah, calon pengantin baru datang niehh," seru Vanzo kala melihat Aarav dan Kinara baru turun dari lift yang mereka gunakan.Kinara yang mendapat respon hangat tersebut jelas tersenyum ceria, merasa begitu diterima dirinya di rumah ini. "Wahhh, ayo nona manis, duduk di sini." Suara Aavar tiba-tiba berseru, dia menepuk-nepuk kursi sampingnya agar Kinara duduk dengannya. "Jangan berani menggodanya, Ava!" tegas Aarav mulai membuka mode dingin nan datarnya. Dengan sigap pria itu menarik lengan Kinara agar berjauhan dengan Aavar. Sang empu yang mendapat respon seperti itu jelas merasa heran. "Kau duduk di sini saja, jangan berani dekat atau berbicara dengan dua orang aneh yang kini sedang duduk." Tatapan Aarav menelisik tajam antara Aavar dan Vanzo. Tatapan hunus bak pedang, siapapun akan Aarav tebas jika sampai menggoda istrinya seperti kemarin-kemarin. "Dua orang yang duduk ya? Itu berarti kakek enggak," ujar Vanzo dengan tampang binar. Dengan muka berseri-seri pria berumur 60-an itu
"Kelas berapa Dek?" tanya Aavar pada Lusi. Pria itu kini tengah berbincang dengan Lusi. Yah, niatnya ingin mengenal lebih jauh kedua perempuan manis itu. "Kelas tiga, Kak," jawab Lusi dengan canggung. "Baru kelas tiga aja udah cantik, apalagi kalau sudah besar ya?" Tampaknya mode buaya Aavar tengah kumat, membuat dia senang dalam menggombal. "Mau Abang halalin gak?" Pertanyaan berikutnya berhasil membuat Aavar kena pukulan. Bukan dari Lusi, melainkan dari Aarav yang baru datang diantara perbincangan tersebut. "Jangan gila Ava! Dia masih kelas tiga, masih sekolah!" sergah Aarav dengan wajah tegasnya. Aavar yang mendapatkan hal tersebut tentu mencebik. "Untuk jatuh cinta tidak melihat umur, Rav. Oh, kalau tidak dengan adiknya, bisa dong dengan Kakaknya?" tanya Aavar menaik-turunkan alisnya. "Sekali kau menggombal dengan mulut busukmu itu, ku pastikan kau tidak akan bisa berbicara lagi, Ava. Tidak perduli jika kau saudaraku sendiri.""Kalau yang kukatakan bukan gombalan, bagaimana?