Share

Bab 4. Sebuah Lingerie

"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang. 

Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? 

"Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. 

Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? 

Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... 

Ia akan dilempar jauh oleh suami setelah dirinya melahirkan seorang anak! 

Argghh!

"Aku hanya perlu mencari alasan, kan?" gumam Kinara dengan pikiran yang berkecamuk. 

"Ya! Aku hanya perlu mencari alasan. Tapi, alasan apa?" Kini pikiran itu semakin membebani Kinara. Seakan beban itu ingin terus menumpuk di dalam otaknya membuat otak tersebut ingin pecah sudah. 

Kinara menatap wajah sang Adik yang sudah tertidur pulas. Ah, adiknya tidak tahu saja bahwa hidup kakaknya tengah dipertahurkan antara hidup dan mati. 

Pada akhirnya Kinara menghela nafas panjang lebih dahulu. Beranjak kemudian berdiri di depan cermin yang berukuran besar. Dia menatap pantulan dirinya sendiri. Kemudian mengangkat tinggi-tinggi lingerie merah pekat itu. 

Ingin rasanya Kinara menangis, menjerit dan melempar barang yang ada. Situasi ini benar-benar membuat jantungan hampir mau copot. 

"Tidak apa, Kinar. Semuanya akan baik-baik saja!" ucap Kinara meyakinkan dirinya. Dia mengepalkan kedua tangannya. 

"Yo Kinar. Kamu pasti bisa menolaknya untuk malam ini!" ucapnya kembali. 

Untuk kesekian kali Kinara menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. 

Tarikkk keluarkan ... tariikk keluarkan ... tarikkk keluarkan ... Tarikkkk---

Sebentar? Kok, jadi kayak melahirkan ya? 

Kinara menggeleng cepat. Bisa-bisanya ia seperti orang bodoh. Ish! 

"Ayo Kinar, semangat!"

Kinara menggenggam erat lingeri tersebut. Berjalan menuju kamar yang disuruh Aarav padanya. 

Tenggorokannya kering, bibirnya terkatup rapat. Kakinya bergetar begitu hebat. Tidak lupa, keringat membasahi pelipis, berjatuhan menuju pipi. Hingga saat keringat itu jatuh ke bibir dia menelannya tanpa tahu malu. 

"Eum, enak juga ternyata keringatku," celetuk Kinar yang kini sudah berdiri di ambang pintu. 

Ancang-ancang untuk membuka pintunya dia malah menempelkan telinganya di daun pintu. 

Tidak terdengar apapun, hanya suara jangkrik yang terdengar di jendela luar sana. Menambah ketegangan yang dirasa Kinara. 

"Huhhh ... okke, bismillah!"

Krrrriiiieeetttttttt

Suara derit pintu yang di putar seakan ikut tegang. Membuat atmosfer yang ada semakin mencengkam. 

Kinara yang sambil intip-intip di celah pintu menyipitkan matanya. Menatap ke depan untuk melihat keadaan di dalam. Yang mana tidak ada siapa-siapa, membuat jantung Kinara berpacu semakin cepat saja, apalagi kini pintu itu terbuka dengan sedikit lebar. 

Dengan pelan Kinara masuk ke dalam. Tidak lupa menutup pintu dengan gerakan paling pelan nan lambat. Sekarang ia yakin Aarav pasti sedang tidur dengan begitu malam ini ia akan selamat. 

Namun tepat saat ia berbalik badan ... 

"Ah, ternyata sudah datang ...."

Deg! 

Suara itu? 

Kinara yang membungkuk dengan kepala menunduk ke bawah menelan salivanya pelan. 

Tenggorokannya terasa makin kering saja, membuat bibirnya terkatup rapat-rapat. 

Namun sedetik kemudian Kinara menengadahkan kepala dengan gerakan pelan. Menatap sang pria di depannya ini dengan mata menyipit, takut-takut jika ia langsung di terkam habis-habisan malam ini. 

"Hm, saya akan ke sana."

Bersamaan hal itu mata Kinara jatuh pada Aarav yang tengah membelakanginya, tangannya memegang ponsel yang tersimpan di telinga. 

Huh, ternyata sedang menelfon toh! 

"Huh, selamat!" ucap Kinara di dalam hati. Dengan gerakan cepat dia berdiri tegap. Malu juga karena sebelumnya dia jalan dengan mengedap-ngedap seperti maling. Hanya karena ingin menghindari malam pertama ini, Kinara ingin mencari alasan untuk itu. 

"Baik, kabari saya nanti saja." Setelah mengatakan itu Aarav memutuskan sambungan telfonnya. Kemudian badannya membalik yang mana sudah ada Kinara. 

"Pa--pak?" 

"Saya ada urusan. Jika mau tidur kau boleh tidur lebih dahulu," ujar Aarav kemudian melengos melewati Kinara begitu saja. 

"P-pak? Sebentar?" Dengan cepat Kinara menarik kameja yang dikenakan Aarav membuat pandangan sang empu menggelap. 

"A--ah, maaf."

"Apa menarik-narik baju sudah menjadi kebiasaanmu?" sungut Aarav dengan muka datar bin dingin. Dia menatap Kinara tanpa ekspresi sama sekali. 

"Maaf, Pak. Tapi saya cuman ingin memberitahukan kalau jas Bapak ada di dalam," ujar Kinara sedikit menunduk. 

Aarav menatap tubuhnya yang memang tidak memakai jas. 

"Ambilkan!"

Tanpa menunggu lagi Kinara dengan cepat mengambil jas milik Aarav, menyerahkannya karena takut kena amuk lagi. 

Marahnya Aarav benar-benar seperti monster saja. 

"Saya pergi," ucap Aarav sebelum akhirnya menghilang di ambang pintu. 

"Hah! Akhirnya selamat juga ...," ucap Kinara mengelus dadanya. Untung pria itu pergi, membuat ia tenang karena malam ini tidak jadi malam pertama. Tapi, bagimana jika besok? Atau besoknya lagi? Besok, terus besoknya? 

Kinara bergidik. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kuduknya meremang. Mau bagaimana pun ini adalah pengalaman pertama untuknya. Diusia 30 tahun Kinara yang sudah tidak memikirkan menikah malah menikah juga. 

Kinara berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu kemudian menghempaskan bobotnya di atas ranjang. Sebuah lingerie yang semula dalam genggaman terlempar sudah entah ke mana. Ah, untuk saat ini pikirannya benar-benar kacau.

Teringat pula akan kejadian dirinya di kantor. Tentang Aarav yang sebenarnya tidak ia ketahui siapa pria itu. 

Sekilas tentang Aarav. 

Saat itu Kinara dibuat resah kala sang Ibu harus dioperasi, membuat Kinara ingin pinjam uang ke bagian pihak administrasi. Tapi saat itu sang pihak tersebut menyuruhnya untuk berbicara kepada sang atasan lebih dahulu. Mau bagaimanapun uang itu uang milik perusahaan. 

Kinara menurut, pergi ke receptions untuk meminta bantuan agar bisa bertemu dengan atasan.

Namun lagi, setelah berbicara dengan receptions tersebut dia di suruh untuk menemui CEO langsung. Kepala pimpinan perusahaan ini. Awalnya ia akan ditemui dengan Direktur Utama tapi malah jadi ke pimpinan atas langsung. Namun, mau tak mau Kinara menurut. Menemui sang CEO tersebut untuk meminjam uang. 

Perlu diketahui juga bahwa perusahaan Cavern sebelumnya tidak mengenal siapa CEO, karena bagi para karyawan yang bekerja di sana hanya tahu Direktur saja.

Dan untuk pertama kalinya, Kinara bertemu langsung dengan CEO tersebut. Namun yang jadi mengherankannya. 

Kenapa dia ingin anak dari dirinya? Mana di tawar dengan uang 500 juta lagi. Terus, dia menikahi dirinya kerap sang Ibu di ujung batas ajalnya. Tanpa memikirkan apapun dia langsung setuju untuk menikah. 

Ah, memikirkan sang Ibu membuat Kinara meneteskan air matanya. Namun dibalik itu ia bahagia. Bahagia karena bisa memberikan keinginan terakhir sebelum Ibunya benar-benar pergi. Hingga Ibunya tersenyum manis sebelum benar-benar pergi dari dunia ini. 

"Huammm ..." Kinara menutup mulutnya yang menguap. Berpindah tubuh untuk membaring di sisi ranjang. 

"Karena aku di suruh tidur duluan, ya sudah. Aku tidur duluan ah," gumam Kinara menarik selimutnya sampai batas dada. Kinara membalik menyamping. Memikirkan akan besok yang terjadi. 

Semoga, semuanya baik-baik saja. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jajang Thile
bagus aku suka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status