Share

Bab 3.Dibawa Suami

Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris.

Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera.

Selang beberapa jam kemudian.

"Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara.

Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu.

Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong.

Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya.

Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karena di sisi lain pula, ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Ibunya.

Jika saja operasi itu lebih dulu dilakukan mungkin masih ada harapan untuk Runi bertahan hidup. Tapi tidak, dia bahkan pergi sebelum memeluk sang anak untuk yang terakhir kalinya.

"Sudahlah Rin, ini semua udah takdir. Semua ini bukan salah kakak kamu," ucap Andara suami Karin. Pria itu menenangkan Karin dengan mengusap-usap punggungnya.

"Tetap aja, Mas! Ini salah Kakak! Dia sudah ceroboh dengan membiarkan Ibu sakit begitu saja." Tampaknya Karin pun belum ikhlas akan kepergian sang Ibu membuat dia menyalahkan Kinara terus-menerus.

"Jangan menyalahkan Kak Kinar terus, Kak! Ini juga kesalahan kita. Semenjak Ibu sakit, apa Kakak pernah menjenguk Ibu?" Kini Dara yang angkat suara. Adik kedua Kinara itu membuka suara untuk menyangkal tuduhan kakak keduanya.

"Jadi kamu menyalahkan Kakak?" tanya Karin dengan nafas memburu.

"Dara bukan nyalahin Kakak. Tapi Dara cuman membetulkan kalau sakitnya Ibu, itu juga kesalahan kita. Kak Kinar udah bersusah payah dalam menjaga Ibu selama ini, tapi, apa pernah kita tahu akan hal itu? Tidak kan? Kita bahkan hanya disibuki untuk menjaga suami saja," ujar Dara membuat Karin terdiam.

"Kak Kinar bahkan rela enggak nikah demi kita, lalu, apa Kakak masih mau menyalahkan Kak Kinar?" Dara menatap Karin dengan sendu, membuat pandangan adik-kakak itu saling bertemu.

"Sekarang lebih baik kita---"

"Pergi kalian dari sini!" ujar Kinara memotong ucapan Dara.

"Kak?"

"Aku bilang pergi dari sini!" ulang Kinara tanpa menoleh ke arah siapapun.

"Kak, maafin Karin."

"Sudah aku bilang pergi dari sini!" Untuk ketiga kalinya nafas Kinara memburu. Menatap antara Karin dan Dara bergantian.

Hingga detik berikutnya mau tak mau kedua adiknya itu berakhir pergi. Pulang ke rumah suaminya dengan perasaan dongkol.

Kinara menghela nafas pelan. Permasalahan yang terjadi sudah cukup membuat Kinara mengerti. Kalau adik-adiknya tidak pernah memperdulikan akan keadaan dirinya dan Ibunya selama ini. Kedua adiknya itu hanya bisa merasakan enaknya tanpa mau mengeluarkan keringat sedikit pun.

Menyalahkan tanpa mau merasakan penderitaan. Termasuk Dara yang sedari tadi hanya berpura-pura saja. Seolah-olah dia membelanya, padahal kenyataannya ada maksud lain yang tengah dia perbuat.

Namun walaupun begitu, sampai kapanpun Kinara tidak bisa membenci mereka. Karena keduanya adalah adik yang ia sayangi.

**

Kinara berjalan mengikuti Aarav dari belakang. Merangkul Lusi yang ia ajak untuk ikut dengannya.

Atas apa yang terjadi hari ini membuat Kinara mau tidak mau harus ikut ke mana suami barunya pergi, karena memang ia sudah menjadi hak suaminya itu. Membuatnya harus menurut saja.

"Ahhh, shhhh ... pelan-pelan ... akh!"

"Eum, ahh ...."

Suara desahan yang tiba-tiba terdengar membuat Kinara menolehkan lirikan matanya,termasuk Lusi yang kini dalam rangkulan Kinara.

Suara itu terdengar semakin jelas ke dalam telinga keduanya.

"Hiraukan suara itu, nanti kau pun tidak jauh akan berteriak sepertinya," ujar Aarav seakan tahu apa yang dipikirkan Kinara.

"Akh!"

"Eh, pocong! Pocong!" Kinara menarik jas yang dikenakan Aarav kala suara itu kembali terdengar dengan keras. Bersembunyi dibalik ketiak milik lelaki tersebut dengan mata terpejam karena takut.

"Kakak, suara apa itu?"

Lusi, sang adik berumur 15 tahun itu membeo, yang mana membuat Kinara lupa akan adiknya. Namun detik berikutnya Kinara yang sadar telah memepet pada Aarav langsung menjauh.

"Ma--maaf Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Ha--habisnya, teriakan itu membuatku takut," ucap Kinara terbata-bata. Dia langsung kembali ke tempat asalnya. Merangkul Lusi yang tadi dia tinggalkan.

Duh malunya. Mana main narik-narik jas Aarav lagi. Membuat sang empu menatapnya datar.

Seperti biasa, Aarav hanya menampilkan raut tanpa ekspresi. Bagaikan tembok yang dimasukan ke dalam kulkas. Dingin nan datar. Eh, kok tembok ke kulkas sih?

Kinara mulai merasakan canggung, menghiraukan suara aneh yang sedari terdengar. Mana keras lagi membuat bulu kuduknya ikut meremang.

Ah, ia jadi teringat pula akan perjanjiannya dengan Pak Aarav itu. Bahwa ia akan melahirkan keturunan untuk sang CEO. Setelah tadi proses akad nikah, kemudian Ibunya yang meninggal membuat Kinara harus mengurus jenazah sang Ibu lebih dulu.

Diikuti beberapa tetangga lain yang ikut membantu. Sang adiknya Karin dan Dara ikut datang karena memang itulah kewajiban seorang anak kala orangtuanya sudah pergi. Membuat proses pemakaman tersebut tidak menghabiskan banyak waktu.

Dan sekarang di sinilah Kinara berada. Ia dibawa oleh Aarav setelah masalah dengan kedua adiknya terselesaikan.

Entah akan dibawa ke mana takdir ini. Setelah kepergian Ayah dan Ibunya membuat Kinara tidak tahu ke arah mana ia harus menuju. Apa ia akan mengikuti sang suami saja? Bahkan perjanjian itu pun hanya bernilai tawaran di atas kertas. Membuat Kinara yakin bahwa kelak saat ia mengandung dan melahirkan, maka ia akan dilempar sedemikian jauh oleh pria tanpa ekspresi itu.

"Ganti pakaianmu. Untuk sekarang kita akan tinggal di sini," ucap Aarav membuyarkan lamunan Kinara.

Kinara terdiam baru sadar bahwa ia sudah berada di kamar hotel, membuat bola mata hitamnya menelusur dalam menatap ke sekeliling.

Kamar yang didesain mewah, begitu rapi nan wangi. Kursi empuk berjejer di dekat jendela. Kasur yang besar pun terlihat pula di sana. Terlihat nyaman. Kinara pun belum pernah merasakan suasana seindah dan senyaman ini.

"Bersihkan badanmu, setelah itu kau boleh menidurkan adikmu itu. Tapi setelah adikmu tertidur, datang ke kamarku dengan pakaian ini." Aarav menyodorkan sebuah baju berwarna merah pekat pada Kinara.

Diambilnya baju tersebut oleh sang empu, kemudian tatapan matanya mengarah pada Aarav yang sudah pergi begitu saja menuju kamar lain.

Tanpa ekspresi tanpa senyuman pria itu meninggalkan Kinara yang termenung.

"Kakak? Itu apa?" tanya Lusi menatap pada baju merah tersebut.

Kinara menunduk, dia juga tidak tahu baju apa ini. Namun tepat saat Kinara menjuntaikan bajunya ke bawah seketika matanya membelakak. Detik berikutnya dia menyembunyikan baju tersebut dibalik jilbab panjangnya.

"Udah, sekarang Lusi bersih-bersih. Kita tidur!" sela Kinara mengalihkan topik.

"Kakak, yang tadi itu suami kakak, kan? Apa itu berarti kita tidak tinggal di rumah dulu lagi?" tanya Lusi sebelum berjalan menuju kamar mandi.

Kinara menatap sendu adiknya. Namun kemudian dia mengangguk.

"Untuk sekarang Lusi bakal ikut kakak. Tapi nanti, setelah semua urusan ini selesai, kakak bakal bawa kamu pergi jauh dari sini, hm? Jadi Lusi enggak perlu khawatir," ucap Kinara sembari mengusap bahu Lusi pelan.

"Kenapa Kak? Padahal kakak itu tampan, Lusi suka sama dia," celetuk Lusi dengan tampang binar.

"Ck, udah sana pergi. Kita tidur," ujar Kinara kembali menyuruh Lusi agar membersihkan dirinya.

Lusi menurut, dia pergi setelah berhasil menertawakan sang kakak.

"Ganteng sih ganteng, cuman sayang. Dingin banget kayak kulkas sepuluh pintu! Mana muka datar banget lagi, gak ada belokan sama sekali!" gerutu Kinara setelah Lusi pergi dari hadapannya.

Kinara menghela nafas. Tangannya seketika bergetar kala menarik kembali baju tersebut.

Yang mana ...

Sebuah lingerie berbahan tipis tercekat jelas di sana.

"Ya Allah ... habis sudah nasibku sekarang!"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Jajang Thile
sedikit binggung tapi penasaran sama ceritanya
goodnovel comment avatar
Radiati S Asiki
seru banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Nitta Zaki
seru bngt ceritanya,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status