Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris.
Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera.Selang beberapa jam kemudian."Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara.Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu.Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong.Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya.Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karena di sisi lain pula, ia menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Ibunya.Jika saja operasi itu lebih dulu dilakukan mungkin masih ada harapan untuk Runi bertahan hidup. Tapi tidak, dia bahkan pergi sebelum memeluk sang anak untuk yang terakhir kalinya."Sudahlah Rin, ini semua udah takdir. Semua ini bukan salah kakak kamu," ucap Andara suami Karin. Pria itu menenangkan Karin dengan mengusap-usap punggungnya."Tetap aja, Mas! Ini salah Kakak! Dia sudah ceroboh dengan membiarkan Ibu sakit begitu saja." Tampaknya Karin pun belum ikhlas akan kepergian sang Ibu membuat dia menyalahkan Kinara terus-menerus."Jangan menyalahkan Kak Kinar terus, Kak! Ini juga kesalahan kita. Semenjak Ibu sakit, apa Kakak pernah menjenguk Ibu?" Kini Dara yang angkat suara. Adik kedua Kinara itu membuka suara untuk menyangkal tuduhan kakak keduanya."Jadi kamu menyalahkan Kakak?" tanya Karin dengan nafas memburu."Dara bukan nyalahin Kakak. Tapi Dara cuman membetulkan kalau sakitnya Ibu, itu juga kesalahan kita. Kak Kinar udah bersusah payah dalam menjaga Ibu selama ini, tapi, apa pernah kita tahu akan hal itu? Tidak kan? Kita bahkan hanya disibuki untuk menjaga suami saja," ujar Dara membuat Karin terdiam."Kak Kinar bahkan rela enggak nikah demi kita, lalu, apa Kakak masih mau menyalahkan Kak Kinar?" Dara menatap Karin dengan sendu, membuat pandangan adik-kakak itu saling bertemu."Sekarang lebih baik kita---""Pergi kalian dari sini!" ujar Kinara memotong ucapan Dara."Kak?""Aku bilang pergi dari sini!" ulang Kinara tanpa menoleh ke arah siapapun."Kak, maafin Karin.""Sudah aku bilang pergi dari sini!" Untuk ketiga kalinya nafas Kinara memburu. Menatap antara Karin dan Dara bergantian.Hingga detik berikutnya mau tak mau kedua adiknya itu berakhir pergi. Pulang ke rumah suaminya dengan perasaan dongkol.Kinara menghela nafas pelan. Permasalahan yang terjadi sudah cukup membuat Kinara mengerti. Kalau adik-adiknya tidak pernah memperdulikan akan keadaan dirinya dan Ibunya selama ini. Kedua adiknya itu hanya bisa merasakan enaknya tanpa mau mengeluarkan keringat sedikit pun.Menyalahkan tanpa mau merasakan penderitaan. Termasuk Dara yang sedari tadi hanya berpura-pura saja. Seolah-olah dia membelanya, padahal kenyataannya ada maksud lain yang tengah dia perbuat.Namun walaupun begitu, sampai kapanpun Kinara tidak bisa membenci mereka. Karena keduanya adalah adik yang ia sayangi.**Kinara berjalan mengikuti Aarav dari belakang. Merangkul Lusi yang ia ajak untuk ikut dengannya.Atas apa yang terjadi hari ini membuat Kinara mau tidak mau harus ikut ke mana suami barunya pergi, karena memang ia sudah menjadi hak suaminya itu. Membuatnya harus menurut saja."Ahhh, shhhh ... pelan-pelan ... akh!""Eum, ahh ...."Suara desahan yang tiba-tiba terdengar membuat Kinara menolehkan lirikan matanya,termasuk Lusi yang kini dalam rangkulan Kinara.Suara itu terdengar semakin jelas ke dalam telinga keduanya."Hiraukan suara itu, nanti kau pun tidak jauh akan berteriak sepertinya," ujar Aarav seakan tahu apa yang dipikirkan Kinara."Akh!""Eh, pocong! Pocong!" Kinara menarik jas yang dikenakan Aarav kala suara itu kembali terdengar dengan keras. Bersembunyi dibalik ketiak milik lelaki tersebut dengan mata terpejam karena takut."Kakak, suara apa itu?"Lusi, sang adik berumur 15 tahun itu membeo, yang mana membuat Kinara lupa akan adiknya. Namun detik berikutnya Kinara yang sadar telah memepet pada Aarav langsung menjauh."Ma--maaf Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Ha--habisnya, teriakan itu membuatku takut," ucap Kinara terbata-bata. Dia langsung kembali ke tempat asalnya. Merangkul Lusi yang tadi dia tinggalkan.Duh malunya. Mana main narik-narik jas Aarav lagi. Membuat sang empu menatapnya datar.Seperti biasa, Aarav hanya menampilkan raut tanpa ekspresi. Bagaikan tembok yang dimasukan ke dalam kulkas. Dingin nan datar. Eh, kok tembok ke kulkas sih?Kinara mulai merasakan canggung, menghiraukan suara aneh yang sedari terdengar. Mana keras lagi membuat bulu kuduknya ikut meremang.Ah, ia jadi teringat pula akan perjanjiannya dengan Pak Aarav itu. Bahwa ia akan melahirkan keturunan untuk sang CEO. Setelah tadi proses akad nikah, kemudian Ibunya yang meninggal membuat Kinara harus mengurus jenazah sang Ibu lebih dulu.Diikuti beberapa tetangga lain yang ikut membantu. Sang adiknya Karin dan Dara ikut datang karena memang itulah kewajiban seorang anak kala orangtuanya sudah pergi. Membuat proses pemakaman tersebut tidak menghabiskan banyak waktu.Dan sekarang di sinilah Kinara berada. Ia dibawa oleh Aarav setelah masalah dengan kedua adiknya terselesaikan.Entah akan dibawa ke mana takdir ini. Setelah kepergian Ayah dan Ibunya membuat Kinara tidak tahu ke arah mana ia harus menuju. Apa ia akan mengikuti sang suami saja? Bahkan perjanjian itu pun hanya bernilai tawaran di atas kertas. Membuat Kinara yakin bahwa kelak saat ia mengandung dan melahirkan, maka ia akan dilempar sedemikian jauh oleh pria tanpa ekspresi itu."Ganti pakaianmu. Untuk sekarang kita akan tinggal di sini," ucap Aarav membuyarkan lamunan Kinara.Kinara terdiam baru sadar bahwa ia sudah berada di kamar hotel, membuat bola mata hitamnya menelusur dalam menatap ke sekeliling.Kamar yang didesain mewah, begitu rapi nan wangi. Kursi empuk berjejer di dekat jendela. Kasur yang besar pun terlihat pula di sana. Terlihat nyaman. Kinara pun belum pernah merasakan suasana seindah dan senyaman ini."Bersihkan badanmu, setelah itu kau boleh menidurkan adikmu itu. Tapi setelah adikmu tertidur, datang ke kamarku dengan pakaian ini." Aarav menyodorkan sebuah baju berwarna merah pekat pada Kinara.Diambilnya baju tersebut oleh sang empu, kemudian tatapan matanya mengarah pada Aarav yang sudah pergi begitu saja menuju kamar lain.Tanpa ekspresi tanpa senyuman pria itu meninggalkan Kinara yang termenung."Kakak? Itu apa?" tanya Lusi menatap pada baju merah tersebut.Kinara menunduk, dia juga tidak tahu baju apa ini. Namun tepat saat Kinara menjuntaikan bajunya ke bawah seketika matanya membelakak. Detik berikutnya dia menyembunyikan baju tersebut dibalik jilbab panjangnya."Udah, sekarang Lusi bersih-bersih. Kita tidur!" sela Kinara mengalihkan topik."Kakak, yang tadi itu suami kakak, kan? Apa itu berarti kita tidak tinggal di rumah dulu lagi?" tanya Lusi sebelum berjalan menuju kamar mandi.Kinara menatap sendu adiknya. Namun kemudian dia mengangguk."Untuk sekarang Lusi bakal ikut kakak. Tapi nanti, setelah semua urusan ini selesai, kakak bakal bawa kamu pergi jauh dari sini, hm? Jadi Lusi enggak perlu khawatir," ucap Kinara sembari mengusap bahu Lusi pelan."Kenapa Kak? Padahal kakak itu tampan, Lusi suka sama dia," celetuk Lusi dengan tampang binar."Ck, udah sana pergi. Kita tidur," ujar Kinara kembali menyuruh Lusi agar membersihkan dirinya.Lusi menurut, dia pergi setelah berhasil menertawakan sang kakak."Ganteng sih ganteng, cuman sayang. Dingin banget kayak kulkas sepuluh pintu! Mana muka datar banget lagi, gak ada belokan sama sekali!" gerutu Kinara setelah Lusi pergi dari hadapannya.Kinara menghela nafas. Tangannya seketika bergetar kala menarik kembali baju tersebut.Yang mana ...Sebuah lingerie berbahan tipis tercekat jelas di sana."Ya Allah ... habis sudah nasibku sekarang!"“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se