Share

Bab 5. Si Dingin Dari Kutub

Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang.

Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya.

Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya?

"Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan?

"Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh?

Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus.

Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya?

Apa setelah ini ia akan diusir? Tinggal berdua bersama sang adik? Atau, setelah melahirkan apa dirinya tidak akan bertemu dengan Aarav? Duh, melakukan hubungan suami-istri saja belum, tapi kok udah takut duluan ya?

Kinara beranjak setelah pikirannya itu sedikit tenang, matanya merotasi ke sekeliling yang tidak terlihat baju. Apa, di sini memang tidak ada baju?

Kemarin, ia lupa tidak membawa baju dari rumahnya. Karena memang Aarav sendiri yang menyuruhnya untuk tidak membawa apa-apa.

Kinara menatap sebuah lemari berukuran besar. Berpikir kalau di lemari ini pasti ada baju, handuk atau apalah.

"Kok susah dibuka?" tanyanya sendiri kala tangan itu menarik gagang pintu.

Kinara terus menarik-narik pegangan tersebut, berharap lemari itu terbuka lebar. Tapi, kenapa masih susah?

"Ih, ini bukanya gimana sih? Kenapa susah banget," ucap Kinara kembali mencoba membuka lemari tersebut. Bukan hanya di tarik, dia juga menggeserkannya ke kanan tapi masih saja susah.

Karna lemari yang kian terdengar membuat tidur Aarav harus terganggu. Pria itu membuka mata kala mendengar sedikit kericuhan. Melihat sang pelaku yang tampak tidak punya kerjaankerjaan, menganggu tidurnya yang terasa masih lelah itu.

"Ck, ini gimana sih?" gerutu Kinara mulai kesal. Bingung juga bagaimana caranya untuk membuka hal seperti ini. Padahal terlihat sepele.

Namun detik berikutnya bola mata Kinara membola tatkala Aarav membuka lemari tersebut dalam sekali gerakan. Yang mana hanya di geser ke kiri saja?

Mata Kinara mengedip untuk beberapa saat.

"Nyusahin saja!" Aarav sudah berdiri di samping Kinara. Membuka lebar-lebar lemari tersebut yang banyak dipenuhi berbagai baju—miliknya.

"Maaf, habisnya saya enggak tahu," jawab Kinara merasakan kecanggungan. Bodoh! Itulah julukan yang pantas untuknya sekarang.

"Lagian masih pagi, kenapa malah ribut sendiri? Ganggu saja!" Aarav sudah kembali menuju tidurnya yang sempat terganggu. Pria itu menarik selimut kemudian menutup badannya.

"Bapak enggak salat?" Pertanyaan itu sontak membuat Aarav membuka kembali matanya.

"Ah maaf. Sa--saya hanya bertanya." Kinara dengan cepat mengambil sebuah baju atau mungkin mukena untuk hari ini salat.

"Di sana enggak ada barang untuk salat," ucap Aarav membuyarkan gerakan Kinara yang tengah mencari mukena. "Untuk baju pakai yang ada!"

Pria itu nampak berdecak. Namun kemudian terbangun kembali untuk duduk.

"Ambilkan saya ponsel di sana," titahnya pada Kinara.

Kinara patuh, dengan segera perempuan itu mengambil ponsel yang tersimpan di atas nakas pinggir lemari.

"Ini, Pak."

Dengan cepat Aarav merampas ponsel tersebut, menekan ikon panggilan yang entah siapa.

"Bawakan saya barang untuk salat ke kamar ini. Dan tolong untuk bawakan juga sebagian gaun untuk perempuan."

".... "

"Ambil semua ukuran yang ada!Tidak pakai lama!"

Tut!

Aarav mematikan sambungan terlfonnya. Matanya melirik pada Kinara yang menunduk.

Menghela nafas sejenak kemudian dia berucap, "ajarkan saya bacaan salat setelah ini," ucap Aarav kemudian melengos pergi menuju kamar mandi.

Berbeda dengan Kinara. Untuk terakhir kalinya bola mata itu membola sempurna.

"Dia---? Si kulkas itu ingin salat?"

"Alhamdulillah ya Allah ..." Detik berikutnya Kinara bersujud pertanda syukur atas suami barunya ini. Merasa senang karena suaminya yang mulai ada perubahan walau sebenarnya tidak.

**

"Kinar, ini gimana sih cara pakainya?" tanya Aarav yang terus memutar-mutarkan sarungnya. Sedari tadi dia hanya berkutit dengan sarung yang sama sekali tidak ingin melingkar di pinggangnya.

Adapun terpasang malah longgar, berakhir jatuh lagi ke bawah.

Kinara yang sudah memakai mukena menoleh pada Aarav yang nampak kesusahan. Sebuah senyum melengkung indah melihat suaminya kesusahan sendiri.

"Sini, biar Kinar bantu." Kinara dengan sigap mengambil alih sarung tersebut membuat Aarav refleks terdiam.

"Tangan Bapaknya angkat dulu," ucap Kinar sembari menarik sarung tersebut hingga batas dada.

Untuk pertama kalinya, Aarav dibuat patung kala Kinara terus sibuk menempatkan sarung tersebut agar melekat di pinggangnya.

"Pak, tolong pegang bagian tengahnya."

"Yang mana?" tanya Aarav menundukkan kepala.

"Itu yang tengah."

"Tengah mana?"

"Tengah itu lho pak, tengah dada Bapak," jawab Kinara masih setia merentangkan sarung tersebut. Karena yang jadi masalahnya Kinara susah sendiri kalau bagian tengah dada tidak ditahan lebih dahulu membuat sarung tersebut harus kembali jatuh.

"Kok dada?" Pertanyaan Aarav sontak membuat Kinara mendongak. Seketika pandangan keduanya bertemu dengan atmosfer yang tiba-tiba mendadak kaku.

Pipi Kinara memerah karena memandang wajah Aarav yang Masya Allah, lebih tampan nan adem. Terlihat pula muka so polos di jarak dekat seperti ini. Kenapa jadi so pura-pura polos ya? Kan malah terlihat lucu.

Kinara langsung membuang muka, menolah pada kasur yang ternyata ada satu sarung lagi.

'Ah, lebih baik dengan cara ini saja!' ucap Kinara di dalam hatinya.

"Bapak pegang dulu sarung ini, Pak. Jangan dilepas," ujar Kinara membuat Aarav memegang kedua ujung sarungnya. Menatap Kinara yang sudah mengambil sarung lain.

"Bapak bisa lihat saya. Nanti biar Bapak bisa sendiri juga." Dengan muka serius Kinara memakai sarung tersebut, kemudian memberikan cara-cara awal yang diikuti Aarav setelahnya.

Kinara tersenyum kala sarung itu melekat di bagian bawahnya. Namun berbeda dengan Aarav ...

Sekali lagi. Kinara harus dibuat sabar oleh sang suami akan hal ini.

**

"Kakak?"

Tok tok tok

"Kak?"

Suara Lusi di luar sana membuat Kinara menoleh ke asal pintu. Dia menatap Aarav terlebih dahulu yang tengah bersiap-siap.

Atas insiden tadi pada akhirnya Aarav memakai celana bersih dahulu saja. Dikarenakan belum benar-benar bisa membuat pria itu pada akhirnya menyerah.

Yah, memang. Terlihat pula bahwa Aarav jauh dari pemahaman perkara agama.

Sebenarnya Kinara mengerti, toh dirinya juga bukan wanita alim yang sudah pandai ilmu agama. Ia juga bukan lulusan pondok pesantren ternama, ia hanya sekolah madrasah biasa saja. Dirinya memakai jilbab pun saat berumur 25 tahun. Memulai dengan cara konsisten.

Maka untuk itu, ia juga memaklumi Aarav akan hal ini. Justru ia bersyukur karena melihat ada keinginan di mata Aarav akan perkara agama. Terbukti bahwa dia serius saat tadi dirinya memberika contoh bacaan yang sangat wajib.

Dan entah kenapa, dalam mode begitu Aarav terlihat begitu menggemaskan. Tidak menyeramkan sama sekali.

Namun dibalik itu pun satu hal yang sudah melekat di diri Aarav. Dia tidak pernah tersenyum!

"Kak?"

"Ah, iya Dek?" Kinara dengan segera membuka pintu, menatap Lusi yang nampak resah.

"Kakak, Lusi mau pergi sekolah tapi ...." Ucapan Lusi tercekat. Dia menatap Kinara yang sudah mengerti akan kondisinya.

"Maaf ya, kakak lupa gak bawa seragam Lusi. Untuk sekarang kamu jangan sekolah dulu ya, nanti kakak bakal ambilin dulu seragam sekolah Lusi," ujar Kinara merasa bersalah. Ah, semua ini karena suaminya itu. Jika saja ia tidak menurut perkataan pria itu sudah pasti Lusi tidak akan bolos seperti ini.

"Terus sekarang Lusi harus apa?" tanya Lusi dengan tatapan sendu. "Lusi juga lapar Kak. Dari kemarin Lusi belum makan."

Kinara menatap sayu sang adik, segera menariknya ke dalam dekapan.

"Maafin Kakak ya, Lus. Setelah Pak Aarav pergi, kakak bakal bawa kamu buat makan, sekarang Lusi sabar aja, karena sebentar lagi Pak Aarav akan pergi dari sini. Dengan begitu---"

"Kau mengusir saya dari tempat saya sendiri?"

Suara bariton yang penuh intimidasi membuat Kinara terperangah. Terkejut setengah mati.

"Eee--eh, Pak. Bu--bukan seperti itu,"

"Kalau kau yang seharusnya pergi, bagaimana?" tanya Aarav dengan ucapan datar.

Kinara menelan salivanya pelan. Nyalinya menciut kala atmosfer dingin seakan memenuhi ruangan ini. Entah kenapa tapi ... perkataan itu membuatnya merasakan sakit. Hatinya seakan tersentil oleh rasa sakit nan sesak.

Padahal niatnya bukan maksud mengusir pria itu. Mengusir di sini karena ia menghormati dia sebagai seorang suami, takutnya malah terkesan tidak sopan jika ia harus pergi lebih dahulu dari kamar ini.

Kinara menarik Lusi ke dalam rangkulannya. Sepertinya mode dinginnya kembali membeku. Tidak seperti tadi, mencair, membuat Kinara harus diam seribu bahasa.

"Maaf." Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Kinara. Tidak berani menatap Aarav yang tengah menatapnya dengan tatapan datar.

"Kita makan di luar!" Setelahnya hanya ucapan itu yang melintas di telinga Kinara. Pria itu pergi dengan sifat dinginnya. Tidak menoleh ke belakang yang mana Kinara menitikian air matanya.

Entah perasaan apa tapi, tiba-tiba saja ingatkan bersama sang Ibu dan Ayah melintas begitu saja dalam pikiran Kinara.

'Ibu, Ayah ... Kinar rindu kalian ...,' ucapnya di dalam hati.

Karena tidak ingin membuat Aarav semakin marah, dengan cepat Kinara menarik Lusi agar ikut dengannya.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Iin Komala Sari
ceritanyah bagus terkadang tegang pokonyah bikin penasaran kelanjutannyah
goodnovel comment avatar
Jajang Thile
anjiirr bikin em0si gw naik ajah tuh laki2
goodnovel comment avatar
Novy Edalolon
kenapa gk bisa lanjut ke bab selanjutnya yh kan??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status