Di salah satu kedai kopi di pusat kota, Anggara meletakkan ponselnya di atas meja setelah berbicara dengan Dina. Wajahnya tampak sedikit murung, dan ia masih menatap layar ponsel itu seolah berharap ada pesan masuk dari adiknya.
Di seberangnya, Reihan mengaduk kopinya dengan gerakan lambat, lalu mengangkat alis. “Jadi, bagaimana kabarnya?” Anggara menghela napas, menyandarkan punggungnya di kursi. “Dia bilang baik-baik saja.” Reihan menyipitkan mata. “Tapi kamu nggak percaya?” Anggara menatapnya sekilas sebelum mendengus kecil. “Dina terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Dia selalu bilang baik-baik saja, bahkan kalau dia sedang kesulitan.” Reihan ikut terdiam. Dalam hatinya, ia juga sudah menebak hal itu. “Setidaknya dia masih mau mengangkat teleponmu.” Reihan mencoba mencari sisi positif. “Tapi dia buru-buru mematikan telepon saat Raka pulang.” Anggara menatap Reihan dengan ekspresi penuh arti. “Aku nggak tahu apa itu karena dia takut, atau karena dia nggak mau Raka tahu dia menghubungi keluarganya.” Reihan mengepalkan tangannya di atas meja. Ada rasa tidak nyaman yang muncul di dadanya setiap kali mendengar nama Raka. Laki-laki itu sudah membawa Dina pergi dari keluarganya, dan sekarang, Reihan tidak tahu apakah Dina bahagia atau tidak. Anggara memperhatikan ekspresi sahabatnya, lalu menyeringai kecil. “Terkadang aku berpikir, kalau saja dulu kamu punya nyali sedikit lebih besar, mungkin sekarang Dina ada di sini, bukannya terjebak entah di mana dengan laki-laki yang bahkan nggak bisa aku percaya.” Reihan tersenyum masam, menggaruk pelipisnya dengan canggung. “Kalau aku menyatakan perasaanku, apa menjamin Dina akan memilihku?” “Kamu sendiri yang lebih tahu jawabannya.” Reihan terdiam. Dalam hati, ia memang sering bertanya-tanya. Jika saja ia berani mengungkapkan perasaannya lebih awal, apakah Dina akan melihatnya sebagai pria yang bisa dicintai? Tapi semua itu sudah berlalu. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana keadaan Dina saat ini. “Kamu yakin dia baik-baik saja?” Reihan bertanya, nada suaranya sedikit lebih serius. Anggara mendesah. “Entahlah. Aku nggak bisa memastikan hanya dari suaranya di telepon.” Ia menatap Reihan dengan sorot mata penuh pertimbangan. “Aku berpikir untuk pergi menemuinya.” Reihan langsung mengangkat wajahnya. “Ke tempat Dina?” Anggara mengangguk. “Iya. Aku ingin memastikan dengan mata kepalaku sendiri.” Reihan menggigit bibirnya, pikirannya mulai bekerja cepat. Ia juga ingin ikut. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia bertemu dengan Dina, dan ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu. Anggara seakan bisa membaca pikirannya. “Kalau kamu masih punya perasaan buat Dina, jangan cuma diam di sini, Reihan. Kamu nggak bisa terus-terusan menyesal tanpa berbuat apa-apa.” Reihan menghela napas panjang. “Aku ikut.” Anggara tersenyum tipis. “Bagus. Kita berangkat akhir pekan ini.” Mereka lalu melanjutkan obrolan, mulai membahas rencana perjalanan mereka, sampai ke kemungkinan reaksi Dina saat mereka datang. Namun di benak Reihan, ada satu pertanyaan yang terus berulang. Apakah Dina masih sama seperti dulu? Atau… apakah ia telah berubah menjadi seseorang yang sudah terlalu jauh dari jangkauannya? Sementara itu, di rumah Dina. Malam semakin larut, tapi Dina masih belum bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur dengan mata menatap langit-langit, pikirannya penuh dengan perasaan bercampur aduk. Percakapan dengan Anggara tadi siang terus terngiang di kepalanya. Kakaknya masih peduli padanya, bahkan setelah ia memilih untuk pergi meninggalkan keluarganya demi Raka. Dina menoleh ke sisi ranjang, melihat Raka yang tertidur dengan tenang. Dulu, ia berpikir pernikahan ini akan membawanya pada kebahagiaan. Ia percaya pada janji-janji Raka, bahwa mereka bisa menjalani hidup bersama dan menghadapi semua rintangan berdua. Tapi semakin hari, kenyataan tidak seperti yang ia bayangkan. Raka semakin dingin. Ia semakin sibuk, semakin jauh. Dan kini, ia bahkan tidak lagi merasa tertarik padanya. Dina meraba dadanya, merasa ada sesuatu yang kosong di sana. Suara Esa yang bergerak kecil di sudut ranjang mengalihkan perhatiannya. Dina bergegas bangun, melihat anaknya yang masih terlelap, sebelum kembali berbaring dan menarik napas panjang. Haruskah aku pulang? Pikiran itu melintas begitu saja. Tapi kemudian ia ingat… Raka tidak akan membiarkannya. Dina memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa terperangkap. Dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk keluar dari situasi ini. Demi Tuhan, mengapa hanya untuk bertemu dengan keluarga saja, rasanya sesulit ini? __ Suasana malam terasa sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar-samar di kamar Dina. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Esa mulai gelisah dalam tidurnya. Napasnya terdengar pendek, lalu diikuti dengan gumaman kecil sebelum akhirnya tangisnya pecah. Dina segera tersentak bangun. Tanpa pikir panjang, ia bergegas menggendong anaknya yang masih menangis dengan suara parau. Tubuh kecil itu terasa panas, mungkin karena udara malam yang sedikit pengap atau mimpi buruk yang mengganggunya. “Esa, Sayang... tenang, Ibu di sini,” ucap Dina lembut sambil menepuk punggung anaknya perlahan. Tapi tangisan itu tidak juga mereda. Sebaliknya, Esa justru menangis semakin kencang. Tubuhnya menggeliat gelisah dalam pelukan Dina, membuat wanita itu semakin panik. Di sisi lain ranjang, Raka mengerang pelan, terganggu oleh suara tangisan yang terus berlanjut. Ia membuka matanya dengan ekspresi kesal. “Dina, bisa nggak kamu bikin dia diam?” Suaranya terdengar malas, tapi jelas penuh kejengkelan. Dina menoleh ke arahnya, lalu kembali fokus menenangkan anaknya. “Esa sedang tidak enak badan, badannya panas.” Raka menghela napas panjang, lalu bangkit dari tempat tidur dengan wajah masam. Tanpa mengatakan apa pun, ia berjalan keluar kamar. Dina menatap punggung suaminya yang menjauh dengan ekspresi terluka. Ia tidak berharap Raka membantunya, tapi setidaknya… sedikit perhatian, mungkin? Tapi tidak. Raka bahkan tidak menoleh lagi. Dina mendengar suara pintu kamar tamu tertutup beberapa detik kemudian, dan hatinya terasa semakin berat. Esa masih menangis, tapi kini suara tangisnya tak sekencang tadi. Dina mengusap air matanya yang jatuh tanpa suara. Untuk kesekian kalinya, ia bertanya dalam hati— Apakah ini kehidupan yang ia inginkan?Udara pengap bercampur ketegangan, membuat ruangan terasa lebih kecil daripada biasanya. Satu per satu, hadirin yang datang mencuri pandang ke arah Dina. Sorot matanya tidak gentar, hanya fokus dan tekad yang jelas. Ini bukan hanya soal dirinya. Ini tentang keadilan, tentang anaknya, dan tentang harga dirinya yang dulu pernah diinjak-injak.Di sisi lain, Raka tampak canggung. Meski mengenakan jas formal dan duduk dengan postur tegak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Sesaat lalu ia mendengar bisikan dari pengacaranya jika pihak Dina mungkin menemukan beberapa bukti tindakan pidana yang bisa memberatkannya. Raka meremas sandaran kursi di sebelahnya. Bukankah dirinya sudah bermain dengan sangat rapi? Helena yang menjadi salah satu pion dalam rencananya saja tidak sadar sama sekali. Jadi bukti apa yang mungkin ditemukan oleh pihak Dina?Di sebelahnya, pengacara mudanya sibuk membolak-balik berkas, berusaha mempertahankan ketenangan yang perlahan mulai mengelupas.“Sidan
Gedung pengadilan itu menjulang angkuh, namun hari itu, langkah Dina tetap tegak. Ia berdiri di bawah langit mendung, mengenakan blus putih gading dan celana panjang hitam yang rapi. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam hatinya.Ia tentu saja tidak datang sendirian. Di sisi kirinya berdiri Celia, menggenggam tangan Dina seerat mungkin sejak mereka pertama kali melangkahkan kaki di area pengadilan. Di belakangnya, Anggara tampak serius dalam setelan jas abu-abu gelap. Terlihat sedang berbicara serius dengan pengacara mereka. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh keberpihakan. Tidak jauh dari mereka, Darmawan berdiri didampingi dua putra lainnya—Adrian dan Ariasa—yang jarang memiliki waktu luang, namun hari itu menyempatkan diri hadir demi adik perempuan mereka.Dina menarik napas dalam-dalam. Matanya menelusuri satu per satu wajah orang yang berdiri di sekitarnya. Mereka ada di sana bukan hanya sebaga
Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Reihan sudah berdiri di depan lemari pakaiannya. Tangannya bersedekap, lalu turun, lalu naik lagi untuk menggaruk kepala. Di hadapannya, sederet pakaian tergantung rapi, tapi tak satu pun yang terasa cocok."Yang ini terlalu formal," gumamnya, sambil melemparkan kemeja biru dongker yang sesaat tadi ia tempelkan di badannya. Ia berniat mengambil kemeja abu-abu, lalu buru-buru menggeleng. "Terlalu dingin. Dina bisa ngira aku mau wawancara kerja."Ia menurunkan pandangan ke kaus polo, lalu mengambil jaket denim, tapi kembali mengurungkannya. "Ini terlalu santai. Nggak sopan juga kalau aku dateng cuma pake ini."Matanya kemudian melirik ke arah kemeja bermotif bunga-bunga dan celana pendek senada, namun secepat itu pula ia mengalihkan pandangannya. Ia menarik satu jaket semi-formal. "Hmm... ini... ah, sepertinya terlalu berlebihan. "Reihan menghela napas panjang, lalu memandangi cermin dengan tatapan putus asa. Ia menatap dirinya s
Langit mendung pagi itu seolah mencerminkan perasaan Dina yang penuh waspada. Di dalam mobil yang melaju menuju kafe tempat pertemuan, tangannya saling menggenggam lebih erat dari biasanya. Ia sudah siap dengan semua kemungkinan—atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia siap.Beberapa hari lalu, Anggara mengirim pesan pendek, tapi isinya cukup untuk membuat dada Dina sesak sepanjang malam:“Dina, detektif David dapat sesuatu. Kayaknya cukup kuat buat jadi senjata utama. Besok kita ketemu ya, aku mau kamu lihat sendiri.”Hari ini, “sesuatu” itu akan terungkap. Dina parkir di depan kafe kecil yang dipilih Anggara untuk menjaga privasi. Di dalam, sudut ruangan dipilih dengan cermat—jauh dari jendela dan pengunjung lain.Anggara sudah menunggu bersama seorang pria yang segera berdiri saat melihat Dina mendekat.“Dina, kenalkan. Ini Pak David,” ujar Anggara.“Senang bertemu langsung, Bu Dina.” Suara David tenang, berwibawa. Wajahnya tak asing—ia tampak seperti salah satu karakte
Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menyatu dengan aroma kain baru dan kertas sketsa yang terbuka di atas meja. Esa sedang bermain balok warna-warni di pojok ruangan, sesekali berceloteh dengan suara kecilnya yang menggemaskan. Dina duduk di kursinya, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop, membalas pesan dari pelanggan dan menjadwalkan pengambilan barang oleh kurir. Di tengah kesibukannya, ponsel di samping laptop bergetar pelan. Nama Karissa muncul di layar. Dina segera mengangkatnya. “Halo, Karissa,” ucapnya sambil tersenyum. “Pagi, Dina! Aku cuma mau kasih kabar, jahitan batch kedua udah hampir rampung. Kalau kamu sempat hari ini, datang ke studio ya. Sekalian kita cek detail finishing-nya bareng.” Dina mengangguk, walau Karissa tentu tak bisa melihatnya. “Oke, aku akan kesana siang ini. Kamu free jam berapa ?” “Aku hari ini di studio, kamu bisa datang jam berapapun,” jawab Karissa lagi. "Sekitar jam dua aku sudah ada di sana. Terimakasih ya..." "
Langkah-langkah Reihan bergema pelan di lantai bangunan yang belum sepenuhnya rampung direnovasi. Udara sore masih membawa aroma cat baru dan kayu yang baru dipernis. Beberapa tukang sibuk mengecat tembok bagian depan, sementara yang lain membereskan peralatan di halaman.Bangunan tiga lantai itu memang belum selesai, tetapi perlahan sudah mulai menunjukkan wujudnya yang baru: terang, bersih, dan hidup.Reihan berdiri di tengah ruang lantai dasar yang kelak akan menjadi tempat Dina memulai lembaran baru. Tangannya menyentuh meja kerja panjang yang baru dipasang. Masih kosong, tapi ia sudah bisa membayangkan tumpukan kain, pita warna-warni, dan kertas pesanan yang akan mengisi meja itu suatu hari nanti. Ia bisa membayangkan Dina berdiri di sana, menggulung pita sambil menggendong Esa di sisi lain tubuhnya—sibuk, tapi bahagia.Ia tersenyum tipis. Sebagian karena senang melihat kemajuan tempat ini. Sebagian lagi karena ingatan masa lalu yang diam-diam menyeruak.Mereka sudah saling meng