Dina berjalan tergesa di sepanjang jalan setapak menuju puskesmas desa, menggendong Esa yang kepalanya bersandar lemah di bahunya. Tubuh kecil itu panas, napasnya sedikit berat, dan sesekali ia merengek pelan. Dina mengecup kening putranya, memastikan suhu tubuhnya tidak semakin tinggi.
Setelah hampir lima belas menit berjalan kaki, akhirnya Dina sampai di puskesmas desa. Bangunan itu tidak terlalu besar, tapi cukup memadai untuk menangani pasien dengan keluhan ringan. Ruang tunggu dipenuhi ibu-ibu dengan anak-anak mereka. Beberapa di antara mereka ditemani suami, yang dengan sabar membantu menggendong anak atau sekadar memberikan dukungan. Dina menarik napas dalam dan berjalan ke meja pendaftaran. “Nama pasien?” tanya petugas pendaftaran. “Mahesa Pradana,” jawab Dina. “Demam sejak kemarin sore.” Petugas itu mencatat di buku, lalu memberikan nomor antrean. “Silakan tunggu, Bu. Nanti akan dipanggil.” Dina mengangguk dan berjalan ke bangku panjang yang masih kosong. Ia duduk dengan hati-hati, menyesuaikan posisi Esa di pangkuannya. Di sekelilingnya, ia melihat seorang pria yang sedang berbicara lembut dengan istrinya, tangan mereka saling menggenggam seolah saling menguatkan. Di sudut lain, seorang ayah terlihat mengelus kepala anaknya yang menangis karena takut disuntik. Dina hanya bisa menatap pemandangan itu dengan perasaan kosong. "Loh, Dina?" Dina tersentak. Seorang tetangga yang cukup dekat duduk di sebelahnya, menatapnya dengan heran. "Siapa yang sakit?" "Esa, demam tinggi sejak kemarin sore," jawabnya sambil menatap ke arah Esa yang bergelung di dalam selimut bayi dalam pangkuannya. "Suami kamu mana? Kamu ke sini sama siapa?" Dina tersenyum kecil. “Sendiri aja. Raka lagi kerja,” jawabnya singkat. Wanita itu mengangguk, berbasa-basi sebentar sebelum kembali mengobrol dengan suaminya. Dina menunduk, menatap Esa yang mulai tertidur di pelukannya. Seharusnya Raka ada di sini, menemaninya, menenangkan Esa. Tapi ia tahu, mengharapkan itu hanya akan membuatnya kecewa. Ketika nomor antreannya dipanggil, Dina segera masuk ke ruang konsultasi. Dokter Dewi, seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah, menyambutnya dengan senyum lembut. “Sudah berapa lama panasnya?” “Sejak kemarin sore, Dok,” jawab Dina, suaranya sedikit bergetar karena lelah. Dokter mengangguk dan mulai memeriksa Esa. Stetoskopnya menempel di dada bayi mungil itu, sementara tangannya meraba-raba kening Esa. “Sepertinya hanya infeksi ringan. Saya akan kasih obat penurun panas dan vitamin. Kalau panasnya masih naik turun dalam tiga hari, bawa ke sini lagi untuk cek lab.” Dina mengangguk patuh. Ia tidak banyak bertanya, hanya ingin segera pulang dan merawat Esa di rumah. Setelah menerima resep dan mengambil obat di apotek, Dina kembali berjalan pulang. Matahari semakin terik, keringat mengalir di pelipisnya, tapi ia terus melangkah. Di perjalanan, ia melewati sebuah warung kecil. Seorang pria dan wanita duduk di sana bersama anak mereka, berbagi makanan sederhana sambil tersenyum satu sama lain. Dina menelan ludah. Ia ingin seperti mereka. Ia ingin keluarganya bisa seperti itu. Tapi… apakah itu mungkin? __ Sepanjang siang hingga malam, Esa terus rewel. Meskipun demamnya mulai turun setelah minum obat, tubuh kecilnya masih terasa tidak nyaman. Sesekali ia menangis pelan, membuat Dina harus terus menggendongnya sambil menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Dina sendiri merasa kelelahan, tubuhnya lemas karena seharian hampir tak sempat duduk dengan tenang. Tapi ia menahan semuanya, karena Esa lebih membutuhkannya. Dina berharap Raka cepat pulang. Agar bisa menggantikannya menggendong Esa sebentar karena ia bahkan belum sempat mandi dan makan malam. Namun hingga larut malam pun, Raka tak kunjung pulang. Dina kembali melirik jam dinding untuk kesekian kalinya. Pukul sebelas. Sudah sangat larut dan Raka masih belum datang. Akhir-akhir ini suaminya sering pulang malam. Katanya banyak pekerjaan yang memaksanya untuk lembur. Atau seperti sekarang, ada urusan makan malam bersama klien. Ada sedikit rasa ragu dalam hatinya. Namun Dina berusaha berpikir positif. Ia tak ingin dianggap sebagai istri yang cerewet. Suaminya sudah cukup lelah mencari uang sendirian, ia tak perlu memberinya beban tambahan dengan cemburu yang tidak cukup beralasan. Dina menghela napas, lalu membaringkan Esa di sampingnya. Tangannya dengan lembut mengusap kepala bayi mungil itu, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi rasa lelah yang menggunung perlahan menariknya ke dalam tidur yang tak tenang. Suara pintu depan terbuka membuatnya tersentak bangun. Ia langsung melihat jam di dinding. Pukul satu dini hari. Ia tertidur selama dua jam! Dina buru-buru melihat keadaan Esa. Untung saja bayi itu tertidur dengan nyenyak. Panasnya juga sudah turun. Dina bangkit perlahan, memastikan Esa masih tidur, lalu berjalan keluar kamar. Ia mengira Raka akan masuk ke kamar mereka, tapi pria itu malah menuju kamar tamu. Dahi Dina berkerut. Ia berjalan mendekat, dan saat membuka pintu kamar tamu, aroma menyengat langsung menyambutnya. Alkohol. Suaminya pulang dalam keadaan mabuk. Suara air dari kamar mandi terdengar. Raka pasti sedang membersihkan diri. Dina menurunkan pandangannya ke lantai. Pakaian Raka berserakan begitu saja. Ia berjongkok, mengumpulkannya satu per satu. Namun, ketika melihat kemeja suaminya, tangannya gemetar. Ada aroma parfum asing yang menempel di kain itu. Dan di kerah serta kancingnya… ada noda lipstik yang kentara. Jika hanya satu, mungkin masih bisa disebut kebetulan atau ketidaksengajaan. Tapi ini... jelas lebih dari itu Dina memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya. Tapi hatinya terasa sakit. Ia tahu apa artinya ini. Tapi ia tidak ingin berpikir lebih jauh. Tidak sekarang. Dina menarik napas dalam dan membawa pakaian itu keluar, berusaha mengabaikan perasaan yang mulai berkecamuk di dadanya. Setelah memasukkan pakaian Raka ke dalam ember cucian, Dina kembali ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap Esa yang masih terlelap dengan wajah polosnya. Tangannya menyentuh pipi kecil itu, merasakan kehangatannya yang mulai mereda. Namun, perasaannya sendiri masih bergejolak. Dina meremas sprei, mencoba menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Ia ingin menangis. Ia ingin meluapkan segalanya—kelelahan, kesedihan, dan rasa sakit yang menyesakkan dadanya. Namun, kamar mertuanya berada tepat di sebelah. Ia tidak menginginkan keributan yang tak perlu. Setidaknya bukan malam ini. Jadi, yang bisa ia lakukan hanya berbaring. Memeluk bantal untuk meredam suara tangisannya. Isak tangisnya teredam di tenggorokan, tapi tubuhnya bergetar hebat. Ia mengepalkan tangannya, mencengkeram bantal itu lebih erat, membiarkan air mata mengalir deras di pipinya hingga membasahi bantal. Namun, getaran yang diakibatkan tubuhnya membuat Esa terbangun. Bayi itu menggeliat, lalu mulai menangis. Dina tersentak, buru-buru menyeka air matanya dan menggendong Esa ke dalam pelukannya. “Shh… shh… Ibu di sini, Nak,” bisiknya dengan suara parau. Tapi Esa terus menangis, mungkin merasakan kegelisahan ibunya. Dina menggoyang-goyangkan tubuh bayinya dengan lembut, berusaha menenangkannya. Namun semakin lama, suara tangis Esa semakin kencang. Dina semakin panik. Otaknya seolah kosong. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk melemparkan Esa agar bayi itu terdiam. Namun dengan cepat Dina menggelengkan kepala. Berusaha mengusir pikiran jahat itu dari otaknya. Dina ingin berteriak. Ingin menangis sekencang-kencangnya. Mengapa ia merasa hidup ini begitu berat? Mengapa tak ada seorang pun yang berada di sisinya? Ia mencoba berdiri dan berjalan mondar-mandir di kamar, mengayun Esa di pelukannya. Tapi tubuhnya sudah sangat lelah, dan pikirannya masih dipenuhi perasaan sesak yang belum sempat ia lampiaskan. Bahkan untuk sekadar menangis saja, ia tak memiliki waktu untuk melakukannya. Air mata masih menggenang di sudut matanya, tapi ia menahan diri. Tidak ada gunanya menangis sekarang. Ia hanya harus bertahan. Seperti yang selalu ia lakukan.Udara pengap bercampur ketegangan, membuat ruangan terasa lebih kecil daripada biasanya. Satu per satu, hadirin yang datang mencuri pandang ke arah Dina. Sorot matanya tidak gentar, hanya fokus dan tekad yang jelas. Ini bukan hanya soal dirinya. Ini tentang keadilan, tentang anaknya, dan tentang harga dirinya yang dulu pernah diinjak-injak.Di sisi lain, Raka tampak canggung. Meski mengenakan jas formal dan duduk dengan postur tegak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan ketakutan. Sesaat lalu ia mendengar bisikan dari pengacaranya jika pihak Dina mungkin menemukan beberapa bukti tindakan pidana yang bisa memberatkannya. Raka meremas sandaran kursi di sebelahnya. Bukankah dirinya sudah bermain dengan sangat rapi? Helena yang menjadi salah satu pion dalam rencananya saja tidak sadar sama sekali. Jadi bukti apa yang mungkin ditemukan oleh pihak Dina?Di sebelahnya, pengacara mudanya sibuk membolak-balik berkas, berusaha mempertahankan ketenangan yang perlahan mulai mengelupas.“Sidan
Gedung pengadilan itu menjulang angkuh, namun hari itu, langkah Dina tetap tegak. Ia berdiri di bawah langit mendung, mengenakan blus putih gading dan celana panjang hitam yang rapi. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah tengah menahan badai yang mengamuk di dalam hatinya.Ia tentu saja tidak datang sendirian. Di sisi kirinya berdiri Celia, menggenggam tangan Dina seerat mungkin sejak mereka pertama kali melangkahkan kaki di area pengadilan. Di belakangnya, Anggara tampak serius dalam setelan jas abu-abu gelap. Terlihat sedang berbicara serius dengan pengacara mereka. Wajahnya menegang, namun sorot matanya penuh keberpihakan. Tidak jauh dari mereka, Darmawan berdiri didampingi dua putra lainnya—Adrian dan Ariasa—yang jarang memiliki waktu luang, namun hari itu menyempatkan diri hadir demi adik perempuan mereka.Dina menarik napas dalam-dalam. Matanya menelusuri satu per satu wajah orang yang berdiri di sekitarnya. Mereka ada di sana bukan hanya sebaga
Pagi itu, matahari bahkan belum sepenuhnya naik ketika Reihan sudah berdiri di depan lemari pakaiannya. Tangannya bersedekap, lalu turun, lalu naik lagi untuk menggaruk kepala. Di hadapannya, sederet pakaian tergantung rapi, tapi tak satu pun yang terasa cocok."Yang ini terlalu formal," gumamnya, sambil melemparkan kemeja biru dongker yang sesaat tadi ia tempelkan di badannya. Ia berniat mengambil kemeja abu-abu, lalu buru-buru menggeleng. "Terlalu dingin. Dina bisa ngira aku mau wawancara kerja."Ia menurunkan pandangan ke kaus polo, lalu mengambil jaket denim, tapi kembali mengurungkannya. "Ini terlalu santai. Nggak sopan juga kalau aku dateng cuma pake ini."Matanya kemudian melirik ke arah kemeja bermotif bunga-bunga dan celana pendek senada, namun secepat itu pula ia mengalihkan pandangannya. Ia menarik satu jaket semi-formal. "Hmm... ini... ah, sepertinya terlalu berlebihan. "Reihan menghela napas panjang, lalu memandangi cermin dengan tatapan putus asa. Ia menatap dirinya s
Langit mendung pagi itu seolah mencerminkan perasaan Dina yang penuh waspada. Di dalam mobil yang melaju menuju kafe tempat pertemuan, tangannya saling menggenggam lebih erat dari biasanya. Ia sudah siap dengan semua kemungkinan—atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ia siap.Beberapa hari lalu, Anggara mengirim pesan pendek, tapi isinya cukup untuk membuat dada Dina sesak sepanjang malam:“Dina, detektif David dapat sesuatu. Kayaknya cukup kuat buat jadi senjata utama. Besok kita ketemu ya, aku mau kamu lihat sendiri.”Hari ini, “sesuatu” itu akan terungkap. Dina parkir di depan kafe kecil yang dipilih Anggara untuk menjaga privasi. Di dalam, sudut ruangan dipilih dengan cermat—jauh dari jendela dan pengunjung lain.Anggara sudah menunggu bersama seorang pria yang segera berdiri saat melihat Dina mendekat.“Dina, kenalkan. Ini Pak David,” ujar Anggara.“Senang bertemu langsung, Bu Dina.” Suara David tenang, berwibawa. Wajahnya tak asing—ia tampak seperti salah satu karakte
Aroma teh melati yang baru diseduh mengisi udara, menyatu dengan aroma kain baru dan kertas sketsa yang terbuka di atas meja. Esa sedang bermain balok warna-warni di pojok ruangan, sesekali berceloteh dengan suara kecilnya yang menggemaskan. Dina duduk di kursinya, jari-jarinya menari di atas keyboard laptop, membalas pesan dari pelanggan dan menjadwalkan pengambilan barang oleh kurir. Di tengah kesibukannya, ponsel di samping laptop bergetar pelan. Nama Karissa muncul di layar. Dina segera mengangkatnya. “Halo, Karissa,” ucapnya sambil tersenyum. “Pagi, Dina! Aku cuma mau kasih kabar, jahitan batch kedua udah hampir rampung. Kalau kamu sempat hari ini, datang ke studio ya. Sekalian kita cek detail finishing-nya bareng.” Dina mengangguk, walau Karissa tentu tak bisa melihatnya. “Oke, aku akan kesana siang ini. Kamu free jam berapa ?” “Aku hari ini di studio, kamu bisa datang jam berapapun,” jawab Karissa lagi. "Sekitar jam dua aku sudah ada di sana. Terimakasih ya..." "
Langkah-langkah Reihan bergema pelan di lantai bangunan yang belum sepenuhnya rampung direnovasi. Udara sore masih membawa aroma cat baru dan kayu yang baru dipernis. Beberapa tukang sibuk mengecat tembok bagian depan, sementara yang lain membereskan peralatan di halaman.Bangunan tiga lantai itu memang belum selesai, tetapi perlahan sudah mulai menunjukkan wujudnya yang baru: terang, bersih, dan hidup.Reihan berdiri di tengah ruang lantai dasar yang kelak akan menjadi tempat Dina memulai lembaran baru. Tangannya menyentuh meja kerja panjang yang baru dipasang. Masih kosong, tapi ia sudah bisa membayangkan tumpukan kain, pita warna-warni, dan kertas pesanan yang akan mengisi meja itu suatu hari nanti. Ia bisa membayangkan Dina berdiri di sana, menggulung pita sambil menggendong Esa di sisi lain tubuhnya—sibuk, tapi bahagia.Ia tersenyum tipis. Sebagian karena senang melihat kemajuan tempat ini. Sebagian lagi karena ingatan masa lalu yang diam-diam menyeruak.Mereka sudah saling meng