LOGINPak Bahar bisa meraba pikiran gadis itu melalui mimik wajahnya. Ia tahu, pendirian gadis muda bertabiat santun namun keras hati ini mulai goyah. Keangkuhannya sudah hampir runtuh. Ia lantas mendekat perlahan. Menyentuh lengannya dan kembali melancarkan rayuannya dengan suara hampir berbisik. "Percayalah, jika kamu menimbangnya dalam-dalam, soal begini tidaklah seberat yang kamu duga. Ini sekedar hubungan pisik yang tidak melibatkan perasaan atau emosi, juga tidak akan menimbulkan akibat apa-apa. Begitu kau menjalaninya, kau akan menganggapnya hal biasa saja. Dan yang lebih penting, hubungan ini hanya melibatkan Kita berdua dan selamanya akan menjadi rahasia kita. Kekasihmu, keluargamu atau siapa pun juga, tidak akan pernah tahu," Gadis itu menelan ludah dan tanpa sadar menekuk-nekuk kukunya dengan mata mengerjap gundah. Dadanya bergemuruh keras dan merasa amat gugup. Kata-kata Lurah itu seperti meniru suara hatinya sendiri yang entah sejak kapan muncul dari sudut terjauh di ruang
Bermenit - menit kemudian, Lurah itu melepaskan tubuh si gadis dan membiarkan tubuh indah itu merosot ke lantai bagai kain basah, duduk menjeplok setengah lemas menyender ke dinding WC. Di pelipisnya yang halus terlihat sedikit titik peluh, demikian pula di bagian leher. Matanya setengah terpejam dan dada indahnya masih tampak bergelombang naik turun. 'Nah, bagaimana? Apa Kau masih hendak keras kepala?" Kelopak mata Ratih terbuka enggan dan mengerling pak Bahar yang berdiri di depannya dengan seringai mesumnya. Dilihatnya Lutah itu sedang mengelap tangan dengan sehelai sapu tangan. Serta merta rasa panas menjalari kulit wajahnya, merah padam diliputi perasaan malu tak terkatakan! Lurah itu barusan telah memoerlakukannya tak ubahnya perempuan nakal! Dengan menggigit bibir menahan tangis, Ratih perlahan bangkit berdiri. Kalau menuruti perasaannya, ingin sekali mulutnya mencaci maki dan menyumpahi Lurah bejat itu dengan segudang kata-kata kotor, atau bahkan mencakar wajahnya. Ta
Ratih semakin kelabakan. Karena kedua tangannya masih ditahan, terpaksa ia hanya bisa menggunakan kakinya untuk melawan. Namun ini pun sudah di antisipasi oleh Lurah itu yang segera menutup jarak di antara mereka dengan merapatkan tubuhnya, menekan tubuh gadis itu sekencangnya. Tindakan yang tidak hanya membuat Ratih tidak berdaya, tapi juga menjadi amat ngeri karena Ia bisa merasai tonjolan di bawah pinggang Lurah itu yang menekan keras ke tubuhnya. Bahkan lebih gilanya, Lurah itu dengan sengaja menggerakkannya, menggesek naik turun di atas permukaan roknya. Biarpun terhalang pakaian, tapi tetap saja sentuhan "benda" itu membuat jantungnya memukul keras! Tanpa bisa dicegah, sebutir air mata lantas jatuh menuruni pipinya. "Baiklah. Aku... menyerah. Tapi tolong berhenti dulu dan lepaskan Aku. Punggungku....Punggungku kesakitan," kata gadis itu akhirnya dengan rasa putus asa. Pak Bahar menghentikan aksinya, namun Ia masih menahan kedua tangan gadis itu di atas permukaan tembok.
Ahh...! Saking terperanjatnya, Ratih tidak lagi sempat melihat jelas apa yang melilit pinggangnya dan langsung terpekik syok! Hampir pingsan gadis itu karena seketika pikirannya langsung menduga pada Jin penunggu WC! "Tenang, Rat. ini aku!" Suara yang datang tiba-tiba itu berhasil menahan jerit histeria Ratih yang hampir terlepas, juga menarik kembali semangatnya yang terbang ke langit. Dengan takut-takut kepalanya ditolehkan ke belakang, dan begitu mengenali wajah sang atasan, bukan main lega hatinya. "Aduh,, Ba..bapak hampir membuatku jatuh semaput! " seru gadis itu terengah dengan tubuh masih gemetaran. Lurah itu terkekeh. "Kenapa, manis? Kau mengira diterkam hantu ya?" "Ya. saya tadi benar-benar mengira ..." Namun gadis itu tiba -tiba memutus ucapannya. Begitu pikirannya kembali ke tempat semestinya, segera disadarinya kelakuan ganjil Lurah itu terhadapnya yang memeluk pinggang dan memanggilnya dengan sebutan "manis". Suaranya pun bergetar serak dan aneh.
Sepeninggal Atika, Ratih kembali meneruskan pekerjaannya, ditemani pak Razak yang menduduki meja di sebelahnya menggantikan Atika. Pak Bahar juga tampak sibuk di mejanya. Mereka masing-masing tenggelam dalam kesibukan dan tak saling bicara untuk untuk waktu lama, membuat suasana dalam kantor kelurahan yang sudah ditinggal para pegawainya itu semakin lengang. Hanya ada bunyi 'tak tik tuk' mesin ketik, dilatarbelakangi suara cocowetan burung-burung kecil dari pepohonan di belakang kantor. Lima belas menit berlalu, Ratih menghentikan kesibukkan dan sekilas melirik jam besar di atas dinding. Jarumnya sudah hampir menunjuk angka dua. Mereka biasanya bubar jam empat, atau paling lambat setengah lima. Berarti masih ada sekitar dua jam lagi. "Kenapa, Rat? Capek, ya?" Suara Pak Bahar tiba-tiba memecah kesunyian. Ratih agak terkejut. Ia cepat menggeleng. "Tidak, Pak. Saya hanya...sedikit pegal," "Istirahat dulu, Rat. Jangan memaksakan diri," timbrung pak Razak yang matanya tetap b
Kemarahan masih mengusai hati Ratih dalam perjalanan menuju kantor. Namun ketika duduk kembali di tempat kerjanya, rasa jengkelnya perlahan mereda, bahkan lalu berganti penyesalan. Ia menarik nafas dengan perasaan tertekan. Ia tidak pernah bermadsud mengeluarkan kata-kata sekasar tadi kepada Tono, terlebih jika ingat alasan perhatian berlebihan pemuda itu terhadap dirinya. Barusan Ia hanya kecewa karena pemuda itu datang bukan sepenuhnya ingin berbaikan dengannya, tetapi membawa niat lain, hendak mencari tahu soal dirinya dan Pak Bahar. Dari dulu Ia tidak suka orang terlalu mencampuri urusan yang dianggap berada dalam wilayah privasinya. Bahkan dengan kekasihnya sendiri pun, Restu, Ia membatasi diri. Tidak tahu apakah itu disebut angkuh atau kurang bisa mempercayai orang lain. Tapi itulah dirinya. Dan sekarang karena sifatnya itu, Ia sudah menyakiti sahabatnya, melukai hati pemuda yang bertahun-tahun memelihara cinta tak terbalas terhadapnya. Lamunan Ratih tentu akan terus bergulu