Share

bab 3

Penulis: Rifval
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-21 10:18:31

"Apa madsudmu menimbulkan curiga orang?"

Nyonya itu mengerut alis dan melototi pria itu. Bahkan Ratih ikut pula mengawasi sang Paman karena Iapun tidak begitu paham ucapannya.

Jamal tidak mengharapkan respon seperti ini. Ia menjadi sedikit grogi di bawah desakan sorot mata kedua wanita itu. Maka segera mulutnya memberi senyum sambil berkata hati-hati,

"Aku.. tidak bermadsud apa-apa. Hanya itu.., kan tidak masuk akal gadis secantik Ratih tidak mampu menarik hati laki-laki. Ini bukan sanjungan kosong seorang keluarga, tapi adalah kenyataan yang semua orang juga bisa melihatnya. Maka jika sampai dia belum memiliki pacar, hanya akan ada dua kemungkinan : Ratihnya terlalu pilih-pilih, atau dia lebih tertarik pada ..nnng ..itu.."

"Madsudnya sesama jenis, Om? Aku sukanya sama perempuan, begitu?" Ratih memotong dengan mulut bersungut, malah tampak seolah hendak menangis.

"Apa...!" Nyonya Mirah langsung terpekik syok.

"Oh, bukan! Bu....bukan itu! Jangan salah paham," Jamal buru-buru menyangkal gugup. "Aku madsudkan jika Kamu tidak tertarik pada anak muda seusiamu, tentu...tentu...itu ...kamu lebih tertarik pada pria-pria yang lebih dewasa yang keadaannya sudah mapan. Seperti pria-pria kantoran atau semacamnya, yang sudah siap lahir bathin menjadi kepala rumah tangga. Itu ... itu dia madsudku,"

"Jadi bukannya Om menganggapku lesbian?"

"Wah, mana mungkin itu?! Tak sedikit pun hal begitu terlintas dalam kepalaku," sangkal Jamal sambil menyengir tawa. Tapi demi melihat kakak sepupunya masih mengawasinya dengan curiga, Ia lantas berkata kesal.

"Aduh. Kak, Aku kan hanya berandai-andai. Ratih toh sudah mengaku sudah punya kekasih. Jadi semua dugaan dalam andai-andai itu kan dengan sendirinya tidak benar. Mengapa kalian menanggapinya begitu serius?"

Ratih dan Ibunya baru menyadari hal itu dan keduanya lantas tertawa geli.

Nyonya Mirah kembali melanjutkan kegiatannya melipat pakaian. Ia mengomeli pria itu, "Makanya, Kamu kalau dimintai pendapat itu bicara seperlunya saja. Tidak usah berlagak seperti ahli politik di televisi yang sok menyimpulkan segala apa. Sibuk membuat dugaan begini begitu. Jadi ngawur kan Kamu,"

Jamal hanya meringis, memutuskan tutup mulut dan tidak meladeni. Berbantahan dengan kakak sepupunya yang keras kepala itu adalah mimpi buruk. Ini adalah pengalamannya setelah tumbuh besar di sampingnya.

Ratih sudah kembali menaruh perhatiannya ke televisi. Tapi fokus pikirannya kini tidak lagi di sana. Pembicaraan dengan Ibunya barusan mengenai soal Jodoh dengan sendirinya membuatnya jadi terkenang pada sang kekasih hati. kekasih yang pergi jauh dan yang entah sampai berapa lama baru kembali pulang.

Ini adalah salah satu alasan ketidaksiapannya memperkenalkan Restu kepada Ibunya. Di samping alasan lainnya yang ia sendiri tidak begitu jelas. Pada pokoknya, belakangan ini, banyak hal yang tiba-tiba membuatnya jadi ragu dan tidak pasti. Misal, soal pekerjaannya di kantor kelurahan yang sudah dijalaninya hampir dua tahun. Tiba-tiba ia merasa jenuh dan kehilangan gairah. Padahal mengingat betapa dahulu ia demikian bersusah-payah mendapat pekerjaan tersebut, amatlah tidak pantas jika kini mengeluhkannya, seolah orang yang tidak kenal rasa syukur.

Aih,.. manusia memang tidak pernah merasa cukup dengan segala hal di sekitarnya. Keluh bathinnya.

Ia lantas mengingatkan diri bahwa boleh saja ia menumpuk banyak keluhan dalam bathinnya, namun satu hal, ia harus menjaganya tetap di sana. Kasihan jika ibunya yang sudah banyak menyimpan beban batin itu sampai mengetahuinya karena saat ini, boleh dibilang dia adalah satu-satunya penunjang kebutuhan hidup dalam keluarga kecil mereka. Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Sementara Om Jamal-- yang hanya baru beberapa bulan kembali tinggal dan menyesuaikan diri di kampung---hanya mampu mengandalkan keterampilannya membuat kerajinan tangan yang hasilnya tidak seberapa. Paling hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Rumah tua yang ditinggali keluarga kecil itu adalah warisan dari almarhum kakek dan nenek Ratih yang hanya memiliki seorang anak, yaitu ibu Ratih. Jamal adalah keponakan jauh dari pihak neneknya yang dipelihara sejak kecil, seorang anak yatim piatu yang ditinggal mati orang tuanya akibat wabah penyakit.

Sejak muda, Jamal sudah sering bolak balik meninggalkan kampung. Merantau ke segala pelosok dengan tujuan tidak jelas. Terakhir, Ia bahkan sudah bertahun-tahun tak pernah pulang sehingga dianggap sudah memilih hidup di kampung orang. Sampai datangnya musibah besar itu, yaitu meninggalnya ayah Ratih.

Ayah Ratih meninggal hanya berselang tiga hari setelah Ratih lulus SMA. Tertimpa runtuhan beton di tempatnya bekerja sebagai mandor bangunan. Kecelakaan fatal yang membuatnya hanya mampu bertahan dua jam di rumah sakit.

Ratih tak pernah melupakan sorot mata ayahnya saat menjelang ajal. Sorot mata yang melembari berbagai macam perasaan. Terutama kekhawatiran besar pada masa depannya.

Waktu itu dirinya tak henti tersengal dalam tangis, di cekik kedukaan hebat hingga akhirnya jatuh pingsan. Namun di ujung kesadarannya, Ia masih sempat menangkap nama Jamal di gumamkan oleh ayahnya di telinga ibunya yang tergugu di samping.

Musibah itu mengguncang kehidupan mereka ibu dan anak, secara bathin mau pun lahir. Mereka tak ubahnya perahu yang tiba-tiba terkatung-katung di tengah samudra, kehilangan arah dan sandaran hidup.

Berbulan-bulan mereka menjalani hidup dalam kesuraman dan penuh kekurangan. Sampai warisan ayah Ratih yang tidak seberapa itu pun akhirnya ludes dan keadaan mereka jatuh ke titik yang amat genting. keadaan yang memaksa Ratih akhirnya nekat mendatangi kantor kelurahan dan melamar pekerjaan hanya dengan modal ijasah SMA.

Dibutuhkan waktu berbulan-bulan bagi pihak kelurahan untuk bersedia menerimanya. Hanya sebagai tenaga bantu-bantu tentu saja. Namun itu tidak menjadi soal karena bagi Ratih yang saat itu amat terdesak oleh kebutuhan hidup, posisi apa pun juga akan diterimanya sejauh masih mendapatkan bayaran.

Keluarga Ratih tidak memiliki sanak famili terdekat di kampung itu. Maka sepeninggal ayahnya, Ratih dan ibunya hanya hidup berdua saja. Situasi yang cukup rawan karena tiadanya laki-laki dalam rumah yang kerap membuat mereka was-was setiap malamnya. Maka ibu Ratih pun lalu mendesak jamal yang berada di rantau itu untuk segera pulang kampung. Permintaan yang sebenarnya sudah sering diutarakan, namun yang baru disetujui setelah Ratih ikut pula membujuk sang paman.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Melati di Kubangan   bab 17

    Dua bulan lewat semenjak Ratih pindah ke ruangan pak Bahar. Beberapa pegawai--dipelopori oleh para perempuan--yang semula memasang kuping dan mata siap mengendus hal-hal mencurigakan, menjadi kecele. Tak ada kejanggalan yang bisa diendus dari hubungan Ratih dan Pak Bahar. Segalanya tampak biasa dan seformil sebelumnya. Maka seiring waktu, Bisik-bisik miring itu pun mereda dengan sendirinya. Implikasi yang wajar karena para pegawai kantor itu pun punya urusan sendiri-sendiri dan tentunya tidak punya waktu terus-terusan menaruh perhatian pada hal-hal yang relatif tidak ada kaitannya dengan urusan mereka. Dalam hal tugas-tugas harian di kantor, Beban pekerjaan Ratih tidaklah bertambah berat dibanding sebelumnya. Malah justru lebih ringan. Kecuali dalam soal jam kerja. Bahwa sewaktu-waktu Ia harus siap berada di lapangan menemani Pak Lurah yang kadang membuat kunjungan kerja ke luar daerah, seperti kunjungan ke sebuah desa atau dusun terpencil. Tentunya bukan hanya dirinya, tapi nemb

  • Melati di Kubangan   bab 16

    Penunjukan Ratih yang secara tiba-tiba diangkat menjadi semacam asisten pribadi Pak lurah tentu saja mengejutkan pegawai lain. Meski tidak ada yang berani mengajukan protes, hal ini sudah lantas menjadi bahan gunjingan di kantor. Beberapa tidak puas karena menganggap sebagai tenaga honorer Ratih belum pantas menerima posisi itu. Meski dikatakan bahwa posisi yang tidak resmi itu hanya bertujuan meringankan tugas-tugas sekertaris, namun diam-diam para pegawai itu punya dugaannya sendiri, dan itu terkait dengan reputasi buruk Pak Bahar dalam hal perempuan, soal kegemarannya pada wanita-wanita muda berparas ayu. Dan amat kebetulan, Ratih adalah gadis tercantik bukan saja di kantor itu, tetapi mungkin di seluruh kampung. Maka tak pelak lagi, keadaan yang amat klop ini sudah lantas menimbulkan bisik-bisik miring mengenai diri mereka berdua, terutama tertuju ke arah Ratih. Mereka menyimpulkan bahwa gadis muda itu akhirnya menggunakan kecantikannya untuk merebut posisi. Meski demikian, pa

  • Melati di Kubangan   bab 15

    Mendengar lurah itu menyinggung soal keluarganya, perasaan Ratih tiba-tba dihinggapi rasa kurang nyaman. Tetapi ia menjawab terus terang. "Benar, Pak. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa, sementara Pamanku belum lama berdiam di kampung, jadi ... belum berhasil memperoleh pekerjaan yang layak," Pak Bahar tampak manggut-manggut dan tercenung agak lama. Setelah menarik nafas, Ia kembali berkata dengan nada agak sungkan."Maaf, Rat, kalau Bapak terlalu ingin tahu. Penghasilanmu yang...ya, katakanlah tidak seberapa di tempat ini, apakah cukup kau pakai membiayai hidup keluargamu? Madsud Bapak, mungkin kau punya penghasilan tambahan di luar, seperti jualan kecil-kecilan atau.. semacamnya?" Perasaan Ratih makin tidak enak. Kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja saling remas tanpa sadar. Kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, sudah tentu akan langsung dia tanggapi dengan kerutan alis tajam, bahkan bisa jadi akan didampratnya habis - habisan. Tapi perta

  • Melati di Kubangan   bab 14

    Sepuluh menit berikutnya, gadis itu nampak sibuk di meja kerjanya, sebelum bangkit berdiri dan menuju ke ruangan Pak Bahar. Ia mengetuk daun pintunya perlahan. "Masuk, " Begitu berada di dalam, hidung Ratih segera disambar wewangian tajam yang menyebar di ruangan 4x4 itu. Didapatinya Lurah itu sedang membaca surat kabar di meja kerjanya. Pak Bahar mengangkat wajahnya. Mulutnya mengembang senyum sambil perlahan melipat korannya. "Pintunya ditutup kembali, Rat," Ratih menurut meski sedikit heran. Tidak biasanya Ia diminta menutup pintu saat menyerahkan tugas. Apakah Lurah itu ingin berbicara dengannya? Pak Bahar menerima berkas dari si gadis dan meletakkannya di pinggir meja bersama surat kabar. "Duduklah dulu, Rat. Bapak hendak membicarakan sesuatu," Dada Ratih berdebar karena dugaannya ternyata benar. Lurah itu ingin bicara dengannya. Soal apa gerangan? Pikirnya was-was seraya mengambil tempat duduk di depan sang penguasa kantor itu. Dalam hati berdoa semoga tidak mendapat

  • Melati di Kubangan   bab 13

    Suasana kamar tak seterang sebelumnya karena pintu dan jendelanya ditutup rapat. Keadaan yang menciptakan udara panas sehingga membuat tubuh mulus yang menggeliat di atas pembaringan itu berkilau dibasahi oleh peluh, melengketkan rambut panjangnya yang tergerai di atas pundak putih halusnya. Peluh yang memberi tanda bahwa kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama dan si gadis tampaknya belum juga menuntas gairahnya. Suatu ketika, gadis itu tiba-tiba menyelipkan sebelah tangan di antara tubuhnya dan bantal dan disusupkan ke bawah sana. Lalu aktifitas pinggul molek yang dari tadi menggelosor dan berayun naik-turun itu tiba-tiba menyurut, hanya tampak membuat sentakan kecil sesekali. Namun wajah molek itu menjadi lebih merah dari sebelumnya, juga makin sering menggigit bibir dibarengi desisan lirih. Tidak jelas apa yang diperbuat jemarinya di bawah sana dan apa pula yang hadir dalam bayangannya, yang jelas kegiatan itu membuatnya makin dilena birahi. Hingga beberapa saat berlalu dal

  • Melati di Kubangan   bab 12

    Pendapat orang gila! Ya, benar. Saat itu, Ia memang menganggap temannya itu tidak waras. Hanya orang sinting yang bisa mengusulkan hal sekotor itu kepada teman baiknya sendiri! Mulai saat itu Ia langsung menjauhi Ratna dan tidak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ia sungguh salah menilai pribadi gadis itu. Rupanya sikapnya yang terkesan dewasa dan tanpa malu-malu itu disebabkan karena Ia memang sudah biasa bergaul dengan orang dewasa (Om-Om). Meski Ia amat memandang hina perempuan-perempuan seperti Ratna, bukan berarti bahwa Ia menganggap dirinya sendiri sesuci dan semurni berlian, seorang alim yang antipati terhadap hubungan antar lawan jenis. Bukan. Ia bukanlah tipe perempuan seangkuh dan sekolot itu. Ia pun menikmati kebersamaannya dengan lawan jenisnya, yang dalam hal ini tentu saja kekasihnya. Ia hanya tidak bisa menerima hubungan yang dilakukan tanpa ikatan emosi, apa lagi yang bertujuan menyenangkan laki-laki demi imbalan materi. Ia tidak bisa menghormati wanita-wanita yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status