Bagian 24
PoV Lestari
“Ayo, cepat! Jangan cengeng, Tari! Hidup kita ini sudah susah, jangan ditambah susah lagi dengan laki-laki seperti pacarmu itu!” Rizka benar-benar menarik tanganku. Dia bahkan tidak mempedulikan tangisku yang semakin membanjir. Helm yang kukenakan bahkan dia yang melepaskannya.
Sambil berurai air mata, langkahku terus dipimpin oleh Rizka masuk ke ruang IGD. Rasanya aku sangat malu. Terlebih ketika berpasang-pasang mata tertuju padaku.
Di dalam ruangan yang berisi tiga buah bilik bersekat korden warna hijau yang tak ada pasiennya sama sekali, kami berjalan terus ke arah pojok kanan ruangan, tepatnya pada meja yang ditempati oleh tim medis maupun paramedis yang berjaga.
&n
Bagian 25PoV dr. Vadi Dua tahun bekerja sama dengan seorang suster tua bernama Bu Maria, membuat karierku sebagai dokter umum yang melayani poli rawat jalan di sebuah RS swasta bernama Citra Medika ini, ya ... dapat dikatakan tanpa warna. Bagaimana tidak. Selain kaku dan terlalu formal, beliau juga cerewet. Tak bisa leluasa untuk kusuruh-suruh. Kadang aku merasa tertekan sendiri. Merasa kalau aku ini yang sebenarnya bawahan Bu Maria. “Dok, kalau periksa pasien itu jangan lama-lama! Buang waktu! Kan saya maunya kita pulang cepat.” “Dok, kalau ngomong sama pasien itu jangan bertele-tele. To the point!” “Besok saya izin ya, Dok. Anak saya mau tunangan. Pengg
Bagian 26PoV dr. Vadi Pagi-pagi sekali aku sampai di rumah sakit. Tepat pukul 06.30 kakiku sudah melangkah menuju ruang paling depan yang berfungsi sebagai loket plus ruang tunggu para pasien berobat jalan. Loket sudah dibuka, para petugas yang melayani pun standby di meja masing-masing. Antrean mulai panjang. Orang-orang dengan berbagai keluhan sudah duduk di bangku-bangku tunggu. Dr. Clara, seniorku di kampus yang kini menjabat sebagai kepala promosi kesehatan rumah sakit (PKRS), telah menanti kedatanganku. Perempuan berkulit gelap dengan wajah cantik khas Indonesia Timur tersebut tampak tengah meletakkan proyektor di atas meja yang berada tepat menghadap ke arah bangku-bangku para pasien dan pengantar yang menunggu. Aku mempercepat langkah. Mend
Bagian 27PoV dr. Vadi “Jadi, bukan kecelakaan?” Kutekankan sekali lagi buat meyakinkan bahwa yang kudengar darinya barusan tadi adalah benar. “Ini lebi dari kecelakaan, Dok.” Suara Risa penuh penderitaan. Namun, bukannya ikut bersedih, semangatku seolah termantik. Vadi, apakah kamu masih waras? “Tas besar di belakang itu? Punya siapa?” Saat mencuci tangan tadi, aku melihat di bilik tempat kami menyimpan tas, ada sebuah tas travel kulit yang teronggok. Jangan-jangan .... “Aku kabur dari rumah, Dok. Mungkin ingin cari kost di sekitar sini. Atau kontrakan. Ya, lihat nanti.”
Bagian 28PoV Risa Usai makan malam yang sangat menyenangkan, aku dan dr. Vadi kemudian memutuskan untuk pulang karena mal sebentar lagi akan tutup. Sebelum keluar dari restoran, dr. Vadi menyuruhku untuk menukar wedges yang dia bilang norak itu dengan sepasang sandal berwarna peach yang tadi kupilih.“Nah, begini sangat pas.” Pujian dr. Vadi begitu manis terdengar di telingaku. Namun, jangan lihat ekspresinya yang datar. Cukup dengar dan tutup telinga. Saat harus melihat sosok itu kala sedang berbicara, yang ada terkadang cuma rasa jengkel. Bagaimana tidak? Mukanya itu, lho. Datar. Mau muji, mau ngomong serius, wajahnya sama saja. Sama-sama bikin sebal. Coba kamu itu senyum, Mas Vadi. Kan, enak juga dipandang jadinya.Sandal sudah terpasang dan kami pun berjalan menuju basement. Sepanjang perjalanan, jangan ditanya lagi siapa yang membawakan barang-barang belanjaanku. Su
Bagian 29PoV Risa Pagi ini terasa sungguh sangat menyenangkan. Tidurku lumayan nyenyak di kamar yang sejuk dan beraroma harum, sungguh sangat berbeda suasana di sini dengan di rumah Mama. Ya, tentu saja. Tidur tinggal tidur, tanpa harus memikirkan besoknya harus mengerjakan seabrek pekerjaan rumah tangga yang tiada usai. Bangun juga tinggal mandi dan siap-siap berangkat. Tak perlu repot masak segala. Betapa indahnya!Aku bangun lumayan awal, tepatnya pukul 05.00. Kegiatanku tak banyak, hanya salat, beres-beres kamar yang memang sudah rapi, lalu mandi. Usai mandi dan berpakaian, kuputuskan untuk segera keluar kamar sebab sudah berjanji untuk sarapan bersama dr. Vadi. Baru saja membuka pintu, aku begitu kaget luar biasa sebab tepat di depanku telah berdiri sosok dr. Vadi dalam kondisi yang rapi plus wangi semerbak. Lelaki itu terlihat menawan dalam balutan kemeja warna kuning kentang yang se
Bagian 30PoV dr. Vadi Sedetik setelah pintu kamar Risa tutup, ada yang aneh dengan jantung. Detaknya makin cepat. Irama tak beraturan. Aneh. Huhft. Sudah macam ABG saja kelakuanku. Dasar bodoh! Kelamaan jomblo ternyata membuatku jadi tak bisa mengontrol diri begini kala jatuh cinta. Oops! Ya, aku sekarang sudah tidak betah lagi untuk menyembunyikannya, bahkan pada diriku sendiri. Aku jatuh cinta pada Risa. Benar-benar jatuh yang sejatuh-jatuhnya. Cepatlah menjanda, Ris. Biar kau bisa setidaknya mengobati kekakuanku yang kadang aku sendiri pun sangat membencinya. Sembari mengawang-awang, aku berjalan. Saat hendak menaiki anak tangga, Ela memanggilku dari arah ruang tamu. Aku langsung menoleh ke belakang. Melihat anak itu masih duduk di atas sofa sembari melambaikan tangannya. Sedang di sampingnya ada fino. 
Bagian 31Pov Risa Usai menenangkan diri sesaat dari tangis serta amuk badai emosi yang tak stabil, akhirnya perasaanku dapat sedikit diajak kompromi. Semula lemas, sekarang sudah lumayan bersemangat. Terlebih ... kala memandang sekilas ke arah dr. Vadi yang sempat melempar senyumnya. Lelaki itu. Tumben sekali dia rajin menarik garis lengkung di bibir. Syukurlah, moodku soalnya langsung naik hingga hampir menyentuh titik full. Mas Sadikin, petugas rekam medis, datang membawa tumpukkan map berwarna kuning kentang dan meletakkannya ke atas mejaku tanpa senyum atau pun kata-kata. Lelaki ceking dengan seragam batik berwarna hijau lumut dan celana panjang hitam itu kembali keluar serta tak lupa untuk menutup pintu kembali. Heran. Apa susahnya berbasa basi? Sombong boleh, tapi coba lihat-lihat dulu sikonnya. Menyebalkan!&n
Bagian 32PoV Risa “Ayo kita ke atas. Bawa tasmu. Sekalian pulang habis ini.” Dr. Vadi menyambar jasnya dari atas sandaran kursi dan bergerak ke bilik belakang untuk mengambil tas. Aku mengikuti langkahnya dan ternyata dia juga mengambilkan tasku. “Jangan tegang mukamu. Kita bukan mau dihukum pancung,” katanya sambil memasukkan jas ke dalam ransel hitam. “M-mas ... apa berita tentang aku yang tinggal di kostmu ....” “Kenapa? Orang mau marah? Pak Bolon mau pecat kita? Ya, sudah! Pecat saja. Kamu ikut aku ke Kalimantan, kita bikin rumah sakit sendiri. Puas?” Aku terke