เข้าสู่ระบบArya berdiri di samping meja Daisy. Intan melihat dari kejauhan dengan cemas. Percakapan mereka tidak bisa tersembunyi dari telinga-telinga lain, tetapi hal itu tidak lagi penting bagi mereka. Dunia serasa lenyap, hanya menyisakan mereka berdua.
"Ke mana aja, Daisy? Kenapa tiba-tiba menghilang?" tanya Arya, suaranya bergetar. Kerinduan yang selama ini ia pendam kini bercampur dengan rasa sakit dan kelegaan Daisy menunduk, matanya memancarkan kesedihan yang mendalam, namun tidak ada air mata yang jatuh. "Maaf, Ar. Aku pergi karena harus rawat ibu yang sakit. Selama ini, aku nggak bisa kasih kabar ke kamu karena... aku fokus sama ibu." Arya terdiam, mencerna setiap kata. Selama ini, ia berpikir Daisy meninggalkannya begitu saja, tanpa alasan. Namun, kenyataan ini jauh lebih menyakitkan dan memilukan. "Aku... aku ngerti," ucapnya, suaranya kini lebih lembut. Daisy mengangkat wajahnya. Matanya penuh dengan kesedihan. "Ibu sekarang sudah enggak ada, Ar. Aku harus kerja buat adikku di kampung, makanya aku jadi pramugari sekarang." Mereka terdiam sejenak, membiarkan emosi mengalir. Ini bukan lagi tentang kemarahan, tetapi tentang pemahaman dan rasa kehilangan yang mereka berdua rasakan. Daisy pun meminta maaf karena tidak bisa memberikan kabar sama sekali. Arya ingin mengatakan betapa ia merindukan Daisy, namun suaranya tercekat. Ia takut, setelah semua yang terjadi, kata-kata itu tidak akan berarti apa-apa. "Aku minta maaf sudah menghilang dari kamu," ucap Daisy, suaranya bergetar. Ia menatap Arya. "Tapi... aku rindu, Ar. Aku rindu banget sama kamu." Kata-kata itu bagaikan sihir bagi Arya. Semua beban di pundaknya seolah terangkat. Ia tercengang, tak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulut Daisy. Ia ingin memeluknya, tetapi ia tidak berani. Arya dan Daisy hanya saling menatap, menyampaikan semua yang tidak bisa mereka katakan melalui mata. Setelah sekian lama terpisah, mereka akhirnya menemukan jawaban atas semua pertanyaan mereka Setelah pengakuan itu, waktu terasa berhenti. Namun, Daisy melihat jam di tangannya dan kembali ke kenyataan. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang kini dipenuhi makna baru. "Aku harus pergi, Ar," katanya, suaranya lembut. "Ada penerbangan pagi-pagi sekali, aku harus siap-siap." Hati Arya terasa sedikit sesak. Setelah sekian lama mencari, akhirnya ia menemukan Daisy, namun pertemuan mereka lagi-lagi harus berakhir. Tapi kali ini berbeda. Ada harapan di antara mereka. Arya mengangguk, ia memahami pekerjaan Daisy. "Kita... kita akan ketemu lagi kan?" tanyanya, suaranya penuh harap. Daisy tersenyum lebih lebar. Ia menatap mata Arya, sebuah janji tersirat terukir di sana. "Iya, itu pasti." Arya melihat Daisy berjalan menjauh hingga menghilang dari pandangannya. Ia tidak merasa sedih atau putus asa. Sebaliknya, ia merasa ringan, seperti semua beban yang ia pikul selama berbulan-bulan telah terangkat. Pertemuan singkat ini telah memberikan jawaban dan harapan yang tak terhingga baginya. Setelah Daisy pergi, Arya kembali ke meja tempat Intan menunggunya. Intan, yang melihat seluruh adegan dari jauh, menghampiri Arya dengan tatapan penasaran. "Itu... Daisy?" tanya Intan pelan, mencoba menyembunyikan kecemburuannya. Arya mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. "Iya, itu Daisy." Meskipun Intan merasakan sakit di hatinya, ia tetap berusaha menjadi sahabat yang baik. "Oh, Daisy," ucapnya, nadanya datar. Ia melihat ada cahaya yang kembali di mata Arya, cahaya yang sudah lama hilang. "Dia... dia kelihatannya bahagia dengan pekerjaannya sekarang?" Arya tidak menyadari makna di balik pertanyaan Intan. Ia hanya fokus pada perasaannya sendiri. "Iya, kayaknya. Dia juga bilang dia rindu sama aku, Tan." Intan hanya mengangguk, memaksakan senyum di wajahnya. Obrolan mereka pun terasa canggung setelah itu. Perasaan Arya yang meluap-luap berbanding terbalik dengan perasaan Intan yang hancur. Mereka kembali ke hotel, dan keesokan harinya, liburan mereka di Lombok berakhir.Hari ini begitu cerah, sempurna untuk sebuah pembukaan. Di lantai utama Jakarta Convention Center (JCC), area pameran seni tampak hidup. Pameran The Lingering Bloom, resmi dibuka.Daisy berdiri di samping Aditya dekat pintu masuk ruang pamerannya. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang kontras dengan dinding-dinding galeri yang didominasi warna gelap. Lukisan-lukisan itu kini tergantung dengan megah, masing-masing disinari cahaya yang tepat, membuat bunga daisy yang menjadi ciri khasnya seolah bersinar dari dalam kanvas.Sejak pagi, pengunjung terus berdatangan. Mereka adalah para kritikus seni, kolektor, dan pencinta seni, mereka datang untuk melihat lihat.Daisy mendengarkan komentar mereka:"Emosinya nyata... ada duka, tapi juga harapan yang tak tertahankan.""Kontrasnya luar biasa. Biru yang dalam, lalu kuning yang membakar."Daisy merasa puas. Mereka melihat seninya, bukan dramanya.Tiba-tiba, mata Daisy menangkap sosok yang familiar. Di ambang pintu, tampak Anggara. Ia mengenak
Keesokan harinya, kontras antara Basecamp Gunung Prau dan Jakarta Convention Center (JCC) terasa menusuk. Hanya sehari yang lalu, Daisy dikelilingi oleh bunga daisy dan heningnya kabut kini, ia dikelilingi oleh hiruk pikuk pekerja konstruksi pameran, suara bor, dan aroma karpet baru. Daisy berdiri di depan pintu ruang pameran yang masih kosong. Ia mengenakan pakaian kasual, namun matanya memancarkan ketenangan yang baru ia temukan di puncak gunung. "Daisy! Kamu datang!” Aditya menghampirinya, mengenakan kemeja rapi dan membawa clipboard tebal. Senyum Aditya hangat, namun ia terlihat tertekan oleh kesibukan. "Bagaimana solo hiking-nya? Kamu terlihat... berbeda," tanya Aditya, menatap Daisy dengan cermat. "Lebih ringan," jawab Daisy, tersenyum tulus. "Aku siap, Aditya. Aku siap untuk pameran ini.” Mereka segera membahas penataan lukisan. Selama berjam-jam, mereka bekerja dengan tim instalasi, menentukan di mana setiap lukisan akan digantung. Daisy terkesan dengan ketelitian Aditya
Semua lukisan telah dikirim. Studio kini kosong, dan penantian untuk bertemu Aditya serta menghadapi deadline terasa mencekik. Daisy membutuhkan udara gunung, ketenangan, dan terutama, harus kembali ke tempat di mana janji abadi antara dirinya dan Arya pernah diucapkan.Ini adalah solo hiking-nya yang pertama, dan ia melakukannya bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk sebuah ritual perpisahan yang sesungguhnya. Ia membawa tas carrier ringan, berisi peralatan dasar dan sebuah bunga daisy kering yang ia simpan rapi.Pendakian terasa jauh lebih berat tanpa Arya di sisinya. Setiap langkah adalah memori: tawa Arya, pegangan tangannya, dan bisikan janji di bawah bintang-bintang. Saat ia tiba di pos perkemahan terakhir menjelang puncak, ia bertemu dengan seorang pendaki pria yang sedang memasak air. Pria itu tinggi, dengan jaket outdoor, dan wajahnya dipenuhi uap dari masakannya."Pagi, Mbak. Solo hiking juga?" sapa pria itu ramah."Ya, pagi," jawab Daisy, tersenyum tipis. "Saya Dais
Setahun telah berlalu sejak hari yang menghancurkan itu. Musim telah berganti, kampus telah meluluskan angkatan baru, dan bekas-bekas luka perlahan-lahan mulai mengering, meskipun tidak sepenuhnya hilang.Daisy tidak lagi bekerja sebagai pramugari. Ia mengambil cuti panjang dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Kenangan tentang bandara, seragam, dan penerbangan terlalu menyakitkan, selalu mengingatkannya pada Arya dan Rian. Ia kembali ke dunia seni rupa, membuka studio kecil di rumahnya. Ia melukis. Bukan lagi pemandangan ceria seperti dulu, tetapi lukisan-lukisan abstrak yang dipenuhi warna-warna emosi yang gelap dan terang sebuah proses terapi untuk melepaskan duka. Bunga daisy selalu hadir dalam setiap karyanya, sebagai penghormatan abadi untuk Arya.Intan telah lulus kuliah. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan besar. Sebaliknya, ia menjadi relawan di sebuah yayasan konseling remaja. Ia menyalurkan perasaannya yang rumit cinta yang tak terbalas, rasa bersalah, dan duka ata
Pagi itu, Daisy bangun dengan perasaan ringan. Ia mengingat kembali pertemuan manisnya dengan Arya semalam, dan senyumnya merekah. Ia mengambil ponselnya, yang sudah ia isi dayanya, untuk menghubungi Arya. Namun, sebelum ia sempat mengetik pesan, sebuah panggilan masuk. Nomor yang tidak dikenal."Halo?" ucap Daisy."Daisy... ini aku, Intan," jawab suara di seberang, terdengar serak."Intan? Ada apa? Kamu terdengar tidak baik-baik saja," tanya Daisy, nadanya cemas."Arya... dia... dia mengalami kecelakaan," ucap Intan, suaranya bergetar.Dunia Daisy terasa berputar. "Apa? Kecelakaan apa? Di mana dia sekarang?""Dia ditabrak mobil. Sekarang dia di rumah sakit. Lukanya serius... dia kritis," isak Intan.Ponsel Daisy jatuh dari tangannya. Kata-kata "kecelakaan" dan "kritis" bergaung di kepalanya. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa bernapas.Sesaat yang lalu, ia masih memeluk Arya. Sesaat yang lalu, mereka masih tertawa. Dan sekarang...Tanpa membuang waktu lagi, Daisy mengenakan jaketn
Rian tidak bisa tidur. Malam itu, bayangan Daisy yang tersenyum di atas motor Arya terus menghantuinya. Ia memutar-mutar ponselnya, melihat foto-foto Daisy di media sosial. Ia begitu terobsesi, hingga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang bisa membuat Daisy bahagia.Keesokan harinya, Rian memutuskan ia harus bertindak. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan melihat kebahagiaan itu. Ia merasa Daisy adalah miliknya, dan ia berhak atas perhatian Daisy."Aku akan memberimu pelajaran," gumam Rian, menatap layar ponselnya.Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi ke kantor maskapai. Ia tahu ada cara untuk mendapatkan informasi penerbangan Daisy.Ia menemukan bahwa Daisy akan pulang dari penerbangan subuh. Rian memutuskan untuk menunggunya di depan mes pramugari. dan ia akan memastikan bahwa Daisy tahu siapa yang benar-benar peduli padanya.Setelah berbicara dengan Intan, Arya merasa senang. Ia berjalan menyusuri jalan setapak, langkahnya ringan. Ia masih memikirkan Daisy, memimpi







