Se connecterKembali ke Jakarta, kehidupan Arya kembali seperti semula. Namun, kini ia memiliki harapan. Arya memeriksa I*******m Daisy, dan benar saja, akunnya kembali aktif. Ia segera mengirim pesan, "Daisy, ini aku Arya." Setelah beberapa jam, Daisy membalas, meminta maaf karena baru melihat pesan. Sejak itu, komunikasi mereka semakin intens. Mereka saling bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari.
Pada suatu hari, Arya memberanikan diri untuk mengajak Daisy bertemu. "Ada waktu luang untuk jalan atau makan?" tanyanya. "Lusa aku ada waktu luang," jawab Daisy. Arya menjemput Daisy di mess pramugari di Tangerang. Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang pria bernama Rian yang terobsesi pada Daisy, melihat mereka pergi berdua. Rian sangat cemburu, dan kecemburuannya memuncak. Ia adalah pria yang nekat dan gila, yang rela melakukan apapun untuk mendapatkan Daisy. Ketika Arya tiba di mess pramugari di Tangerang, Daisy sudah menunggunya di gerbang. Dia terlihat sangat cantik dengan pakaian kasual, jauh berbeda dari seragam pramugarinya. Arya tersenyum. "Udah siap?" tanyanya. Daisy mengangguk. Arya pun mengajak Daisy berkeliling kota menggunakan sepeda motornya. Mereka menikmati suasana malam yang ramai, berbincang ringan tentang kehidupan sehari-hari. Namun, tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengawasi dari kejauhan. Rian, yang terobsesi pada Daisy, melihat mereka berboncengan di atas motor Arya. Cemburu dan amarahnya memuncak. Rian, yang nekat dan gila, tidak akan membiarkan Arya begitu saja. Tiba-tiba, hujan deras turun. Arya dan Daisy segera mencari tempat berteduh dan menemukan sebuah minimarket. Mereka berdua berteduh di teras minimarket, berbagi kehangatan dan keheningan. Arya dan Daisy kembali mengenang masa lalu mereka, khususnya momen saat mereka mendaki gunung. "Kamu ingat, Ar? Waktu kita di Gunung Prau, kata Daisy sambil tersenyum aku senang banget kamu ajak aku ke sana. Makasih ya, Ar." "Sama-sama," balas Arya. Momen ini adalah puncak dari kencan mereka, di mana mereka kembali terhubung secara emosional. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat Arya mengantar Daisy kembali ke mess pramugari, Rian sudah menunggu di gerbang. Setelah Arya pergi, Rian menghampiri Daisy dan bertanya siapa Arya. Daisy yang risih, langsung masuk ke dalam mess, meninggalkan Rian dengan kemarahan yang meluap. Beberapa hari setelah pertemuan Arya dengan Daisy, Intan melihat perubahan besar pada sahabatnya itu. Arya yang biasanya murung dan sering melamun, kini terlihat ceria, sering tersenyum, dan bahkan bersiul saat berjalan di kampus. Intan, yang selama ini menyimpan perasaannya, merasa bingung. Ia tahu kebahagiaan ini bukan berasal dari dirinya. Suatu sore, ia menghampiri Arya yang sedang duduk di bangku taman. "Kamu kelihatan sangat bahagia, Arya," ucap Intan. "Ada apa?" Arya menoleh, senyum lebarnya tak bisa ia tahan. "Intan. Aku... aku baru saja kencan dengan Daisy." Mendengar nama itu, jantung Intan terasa berhenti berdetak. Ia sudah menduga, tapi mendengar langsung dari Arya terasa sangat menyakitkan. Ia mencoba tersenyum, menyembunyikan rasa sakitnya. "Benarkah? Kamu akhirnya bertemu dengannya lagi?" tanya Intan, mencoba bersikap normal. Arya mengangguk, matanya berbinar-binar. Ia mulai menceritakan semuanya: tentang bagaimana ia menemukan Daisy di mes pramugari di Tangerang, tentang kencan motor mereka, dan tentang momen indah di bawah hujan syahdu di minimarket. "Kami berbicara banyak hal, Intan," kata Arya. "Kami mengenang masa lalu, saat kami mendaki Gunung Prau dan melihat bunga daisy. Rasanya seperti kami tidak pernah terpisah." Intan mendengarkan dengan seksama, hatinya tercabik-cabik. Ia tahu ia harus bahagia untuk Arya. Tapi melihat sahabatnya begitu antusias berbicara tentang wanita lain, rasa cemburu itu sulit ia bendung. Ia hanya bisa mengangguk dan tersenyum, membiarkan kebahagiaan Arya menjadi pemicu kesedihannya sendiri.Hari ini begitu cerah, sempurna untuk sebuah pembukaan. Di lantai utama Jakarta Convention Center (JCC), area pameran seni tampak hidup. Pameran The Lingering Bloom, resmi dibuka.Daisy berdiri di samping Aditya dekat pintu masuk ruang pamerannya. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang kontras dengan dinding-dinding galeri yang didominasi warna gelap. Lukisan-lukisan itu kini tergantung dengan megah, masing-masing disinari cahaya yang tepat, membuat bunga daisy yang menjadi ciri khasnya seolah bersinar dari dalam kanvas.Sejak pagi, pengunjung terus berdatangan. Mereka adalah para kritikus seni, kolektor, dan pencinta seni, mereka datang untuk melihat lihat.Daisy mendengarkan komentar mereka:"Emosinya nyata... ada duka, tapi juga harapan yang tak tertahankan.""Kontrasnya luar biasa. Biru yang dalam, lalu kuning yang membakar."Daisy merasa puas. Mereka melihat seninya, bukan dramanya.Tiba-tiba, mata Daisy menangkap sosok yang familiar. Di ambang pintu, tampak Anggara. Ia mengenak
Keesokan harinya, kontras antara Basecamp Gunung Prau dan Jakarta Convention Center (JCC) terasa menusuk. Hanya sehari yang lalu, Daisy dikelilingi oleh bunga daisy dan heningnya kabut kini, ia dikelilingi oleh hiruk pikuk pekerja konstruksi pameran, suara bor, dan aroma karpet baru. Daisy berdiri di depan pintu ruang pameran yang masih kosong. Ia mengenakan pakaian kasual, namun matanya memancarkan ketenangan yang baru ia temukan di puncak gunung. "Daisy! Kamu datang!” Aditya menghampirinya, mengenakan kemeja rapi dan membawa clipboard tebal. Senyum Aditya hangat, namun ia terlihat tertekan oleh kesibukan. "Bagaimana solo hiking-nya? Kamu terlihat... berbeda," tanya Aditya, menatap Daisy dengan cermat. "Lebih ringan," jawab Daisy, tersenyum tulus. "Aku siap, Aditya. Aku siap untuk pameran ini.” Mereka segera membahas penataan lukisan. Selama berjam-jam, mereka bekerja dengan tim instalasi, menentukan di mana setiap lukisan akan digantung. Daisy terkesan dengan ketelitian Aditya
Semua lukisan telah dikirim. Studio kini kosong, dan penantian untuk bertemu Aditya serta menghadapi deadline terasa mencekik. Daisy membutuhkan udara gunung, ketenangan, dan terutama, harus kembali ke tempat di mana janji abadi antara dirinya dan Arya pernah diucapkan.Ini adalah solo hiking-nya yang pertama, dan ia melakukannya bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk sebuah ritual perpisahan yang sesungguhnya. Ia membawa tas carrier ringan, berisi peralatan dasar dan sebuah bunga daisy kering yang ia simpan rapi.Pendakian terasa jauh lebih berat tanpa Arya di sisinya. Setiap langkah adalah memori: tawa Arya, pegangan tangannya, dan bisikan janji di bawah bintang-bintang. Saat ia tiba di pos perkemahan terakhir menjelang puncak, ia bertemu dengan seorang pendaki pria yang sedang memasak air. Pria itu tinggi, dengan jaket outdoor, dan wajahnya dipenuhi uap dari masakannya."Pagi, Mbak. Solo hiking juga?" sapa pria itu ramah."Ya, pagi," jawab Daisy, tersenyum tipis. "Saya Dais
Setahun telah berlalu sejak hari yang menghancurkan itu. Musim telah berganti, kampus telah meluluskan angkatan baru, dan bekas-bekas luka perlahan-lahan mulai mengering, meskipun tidak sepenuhnya hilang.Daisy tidak lagi bekerja sebagai pramugari. Ia mengambil cuti panjang dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Kenangan tentang bandara, seragam, dan penerbangan terlalu menyakitkan, selalu mengingatkannya pada Arya dan Rian. Ia kembali ke dunia seni rupa, membuka studio kecil di rumahnya. Ia melukis. Bukan lagi pemandangan ceria seperti dulu, tetapi lukisan-lukisan abstrak yang dipenuhi warna-warna emosi yang gelap dan terang sebuah proses terapi untuk melepaskan duka. Bunga daisy selalu hadir dalam setiap karyanya, sebagai penghormatan abadi untuk Arya.Intan telah lulus kuliah. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan besar. Sebaliknya, ia menjadi relawan di sebuah yayasan konseling remaja. Ia menyalurkan perasaannya yang rumit cinta yang tak terbalas, rasa bersalah, dan duka ata
Pagi itu, Daisy bangun dengan perasaan ringan. Ia mengingat kembali pertemuan manisnya dengan Arya semalam, dan senyumnya merekah. Ia mengambil ponselnya, yang sudah ia isi dayanya, untuk menghubungi Arya. Namun, sebelum ia sempat mengetik pesan, sebuah panggilan masuk. Nomor yang tidak dikenal."Halo?" ucap Daisy."Daisy... ini aku, Intan," jawab suara di seberang, terdengar serak."Intan? Ada apa? Kamu terdengar tidak baik-baik saja," tanya Daisy, nadanya cemas."Arya... dia... dia mengalami kecelakaan," ucap Intan, suaranya bergetar.Dunia Daisy terasa berputar. "Apa? Kecelakaan apa? Di mana dia sekarang?""Dia ditabrak mobil. Sekarang dia di rumah sakit. Lukanya serius... dia kritis," isak Intan.Ponsel Daisy jatuh dari tangannya. Kata-kata "kecelakaan" dan "kritis" bergaung di kepalanya. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa bernapas.Sesaat yang lalu, ia masih memeluk Arya. Sesaat yang lalu, mereka masih tertawa. Dan sekarang...Tanpa membuang waktu lagi, Daisy mengenakan jaketn
Rian tidak bisa tidur. Malam itu, bayangan Daisy yang tersenyum di atas motor Arya terus menghantuinya. Ia memutar-mutar ponselnya, melihat foto-foto Daisy di media sosial. Ia begitu terobsesi, hingga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang bisa membuat Daisy bahagia.Keesokan harinya, Rian memutuskan ia harus bertindak. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan melihat kebahagiaan itu. Ia merasa Daisy adalah miliknya, dan ia berhak atas perhatian Daisy."Aku akan memberimu pelajaran," gumam Rian, menatap layar ponselnya.Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi ke kantor maskapai. Ia tahu ada cara untuk mendapatkan informasi penerbangan Daisy.Ia menemukan bahwa Daisy akan pulang dari penerbangan subuh. Rian memutuskan untuk menunggunya di depan mes pramugari. dan ia akan memastikan bahwa Daisy tahu siapa yang benar-benar peduli padanya.Setelah berbicara dengan Intan, Arya merasa senang. Ia berjalan menyusuri jalan setapak, langkahnya ringan. Ia masih memikirkan Daisy, memimpi







