MasukSetelah Arya menceritakan semuanya, Intan mencoba memberikan senyum terbaiknya. Ia mendengarkan Arya dengan saksama, mengangguk, dan bahkan sesekali tertawa saat Arya menceritakan kenangan manisnya dengan Daisy di minimarket. Namun, di dalam hatinya, sebuah badai sedang mengamuk.
"Aku senang kamu akhirnya bisa sebahagia ini, Arya," ucap Intan. "Kamu pantas mendapatkannya. Kamu sudah menunggu begitu lama." Arya menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Intan. Kamu satu-satunya orang yang mengerti perasaanku." Hati Intan terasa sakit mendengar kata-kata itu. Ia memang mengerti, bahkan lebih dari yang Arya tahu. Ia mengerti betapa besarnya cinta Arya pada Daisy, karena ia merasakan cinta yang sama besar pada Arya. "Apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Intan, mencoba mengalihkan pembicaraan dari perasaannya. "Aku akan menunggu Daisy menghubungiku lagi. Aku ingin kami bertemu lagi. Aku tidak akan membiarkan dia menghilang lagi," jawab Arya, tekadnya kuat. "Bagus," kata Intan, mengangguk. "Aku akan mendukungmu. Selalu." Ketika Arya pergi, senyum di wajah Intan perlahan memudar. Ia duduk sendirian di bangku taman, air matanya mulai mengalir. Ia merasa egois karena cemburu, tapi ia tidak bisa menghentikan perasaannya. Ia telah mencintai Arya begitu lama, dan kini, ia harus melihat Arya mengejar wanita lain, dan berpura-pura bahagia untuknya. Sejak pertemuan di bawah hujan syahdu, hubungan Arya dan Daisy semakin intens. Mereka terus berkomunikasi, berbagi cerita tentang kehidupan mereka. Arya merasa seperti ia telah mendapatkan kembali semua yang hilang. Mereka sering bertukar pesan, dan setiap kali ponsel Arya bergetar, ia tersenyum, yakin itu adalah Daisy. Suatu malam, setelah seharian kuliah, Arya berbaring di tempat tidur sambil menelusuri media sosial. Ia melihat foto-foto Daisy, senyumnya yang cerah di bandara dan di dalam pesawat. Hatinya dipenuhi rasa bangga. Tiba-tiba, sebuah notifikasi berita muncul di layarnya. Sebuah breaking news yang mengguncang. 'Kecelakaan Pesawat Diduga Terjadi di Wilayah Perairan Utara Jawa...' Jantung Arya langsung berdebar kencang. Ia mengabaikan berita itu. Tapi kemudian, notifikasi lain muncul, lebih spesifik. 'Pesawat Maskapai Lokal Hilang Kontak...' Arya langsung duduk. Matanya membelalak. Daisy. Daisy bekerja di maskapai lokal itu. Ia membuka artikel itu, tangannya bergetar. Ia mencoba menghubungi Daisy, namun panggilannya tidak terhubung. Ia mencoba mengirim pesan, tetapi tidak ada jawaban. Kepanikan menguasai dirinya. Ia hanya bisa menatap layar ponselnya, dipenuhi ketakutan yang tak terhingga. Ponsel Arya terasa seperti bongkahan es di tangannya. Ia terus mencoba menghubungi Daisy, tetapi yang ia dapatkan hanyalah suara putus-putus. Ia mengirim pesan, tetapi tidak ada tanda-tanda pesan itu terkirim. Pikiran Arya kacau. Ia membaca kembali berita itu, mencari detail, mencari nama-nama. Namun, tidak ada informasi yang cukup. Tubuhnya gemetar. Ia tidak bisa hanya duduk diam. Ia harus melakukan sesuatu. Ia mengenakan jaketnya dengan tergesa-gesa, meraih kunci motornya, dan berlari keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Ke bandara? Ke kantor maskapai? Ia tidak tahu. Namun, ia harus bergerak. Pikirannya melayang, teringat pada satu orang yang mungkin bisa ia andalkan. Intan. Intan selalu ada untuknya, dan Intanlah satu-satunya orang yang tahu betapa pentingnya Daisy baginya. Ia melaju kencang di jalanan yang sepi. Angin malam menerpa wajahnya, namun tidak bisa mendinginkan kepanikan di hatinya. Setelah beberapa menit, ia tiba di depan rumah Intan. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, berharap Intan ada di rumah dan bisa membantunya melewati mimpi buruk ini. ternyata intan sedang tidak dirumahnya Nomor Daisy masih tidak aktif. Setiap kali Arya mencoba menelepon, ia hanya mendengar nada sambung yang putus. Pikiran Arya kacau. Ia tidak bisa hanya duduk diam. Ia harus memastikan sendiri bahwa Daisy baik-baik saja. Ia meraih kunci motornya, tidak peduli dengan waktu yang sudah larut malam. Jantungnya berdebar kencang, memacu darahnya. Satu-satunya tujuan yang ada di kepalanya adalah mes pramugari di Tangerang. Ia melaju kencang, melawan angin malam yang dingin, namun tidak bisa mendinginkan api ketakutan di hatinya. Setelah berjam-jam, ia tiba di depan gedung mes. Namun, pemandangan di depannya membuat darahnya seolah membeku. Ada beberapa mobil polisi dan banyak wartawan dengan kamera menyala, berkerumun di depan gerbang. Arya segera memarkir motornya. Ia berlari ke arah kerumunan, mencoba menerobos masuk. Seorang petugas keamanan menghadangnya. "Maaf, Mas, ini area terbatas," ucap petugas itu. "Saya... saya teman salah satu penghuni di sini. Apa yang terjadi?" tanya Arya, suaranya bergetar. Petugas itu menatapnya dengan tatapan penuh kasihan. "Ada beberapa awak kabin yang seharusnya berada di penerbangan pagi ini. Pesawatnya jatuh. Kami sedang menunggu konfirmasi." Dunia Arya terasa runtuh. Ia hanya bisa terdiam, berusaha mencerna informasi itu. Ia menatap ke arah kerumunan, berharap melihat Daisy. Namun, tidak ada Daisy di sana.Hari ini begitu cerah, sempurna untuk sebuah pembukaan. Di lantai utama Jakarta Convention Center (JCC), area pameran seni tampak hidup. Pameran The Lingering Bloom, resmi dibuka.Daisy berdiri di samping Aditya dekat pintu masuk ruang pamerannya. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang kontras dengan dinding-dinding galeri yang didominasi warna gelap. Lukisan-lukisan itu kini tergantung dengan megah, masing-masing disinari cahaya yang tepat, membuat bunga daisy yang menjadi ciri khasnya seolah bersinar dari dalam kanvas.Sejak pagi, pengunjung terus berdatangan. Mereka adalah para kritikus seni, kolektor, dan pencinta seni, mereka datang untuk melihat lihat.Daisy mendengarkan komentar mereka:"Emosinya nyata... ada duka, tapi juga harapan yang tak tertahankan.""Kontrasnya luar biasa. Biru yang dalam, lalu kuning yang membakar."Daisy merasa puas. Mereka melihat seninya, bukan dramanya.Tiba-tiba, mata Daisy menangkap sosok yang familiar. Di ambang pintu, tampak Anggara. Ia mengenak
Keesokan harinya, kontras antara Basecamp Gunung Prau dan Jakarta Convention Center (JCC) terasa menusuk. Hanya sehari yang lalu, Daisy dikelilingi oleh bunga daisy dan heningnya kabut kini, ia dikelilingi oleh hiruk pikuk pekerja konstruksi pameran, suara bor, dan aroma karpet baru. Daisy berdiri di depan pintu ruang pameran yang masih kosong. Ia mengenakan pakaian kasual, namun matanya memancarkan ketenangan yang baru ia temukan di puncak gunung. "Daisy! Kamu datang!” Aditya menghampirinya, mengenakan kemeja rapi dan membawa clipboard tebal. Senyum Aditya hangat, namun ia terlihat tertekan oleh kesibukan. "Bagaimana solo hiking-nya? Kamu terlihat... berbeda," tanya Aditya, menatap Daisy dengan cermat. "Lebih ringan," jawab Daisy, tersenyum tulus. "Aku siap, Aditya. Aku siap untuk pameran ini.” Mereka segera membahas penataan lukisan. Selama berjam-jam, mereka bekerja dengan tim instalasi, menentukan di mana setiap lukisan akan digantung. Daisy terkesan dengan ketelitian Aditya
Semua lukisan telah dikirim. Studio kini kosong, dan penantian untuk bertemu Aditya serta menghadapi deadline terasa mencekik. Daisy membutuhkan udara gunung, ketenangan, dan terutama, harus kembali ke tempat di mana janji abadi antara dirinya dan Arya pernah diucapkan.Ini adalah solo hiking-nya yang pertama, dan ia melakukannya bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk sebuah ritual perpisahan yang sesungguhnya. Ia membawa tas carrier ringan, berisi peralatan dasar dan sebuah bunga daisy kering yang ia simpan rapi.Pendakian terasa jauh lebih berat tanpa Arya di sisinya. Setiap langkah adalah memori: tawa Arya, pegangan tangannya, dan bisikan janji di bawah bintang-bintang. Saat ia tiba di pos perkemahan terakhir menjelang puncak, ia bertemu dengan seorang pendaki pria yang sedang memasak air. Pria itu tinggi, dengan jaket outdoor, dan wajahnya dipenuhi uap dari masakannya."Pagi, Mbak. Solo hiking juga?" sapa pria itu ramah."Ya, pagi," jawab Daisy, tersenyum tipis. "Saya Dais
Setahun telah berlalu sejak hari yang menghancurkan itu. Musim telah berganti, kampus telah meluluskan angkatan baru, dan bekas-bekas luka perlahan-lahan mulai mengering, meskipun tidak sepenuhnya hilang.Daisy tidak lagi bekerja sebagai pramugari. Ia mengambil cuti panjang dan akhirnya memutuskan untuk berhenti. Kenangan tentang bandara, seragam, dan penerbangan terlalu menyakitkan, selalu mengingatkannya pada Arya dan Rian. Ia kembali ke dunia seni rupa, membuka studio kecil di rumahnya. Ia melukis. Bukan lagi pemandangan ceria seperti dulu, tetapi lukisan-lukisan abstrak yang dipenuhi warna-warna emosi yang gelap dan terang sebuah proses terapi untuk melepaskan duka. Bunga daisy selalu hadir dalam setiap karyanya, sebagai penghormatan abadi untuk Arya.Intan telah lulus kuliah. Ia menolak tawaran pekerjaan di perusahaan besar. Sebaliknya, ia menjadi relawan di sebuah yayasan konseling remaja. Ia menyalurkan perasaannya yang rumit cinta yang tak terbalas, rasa bersalah, dan duka ata
Pagi itu, Daisy bangun dengan perasaan ringan. Ia mengingat kembali pertemuan manisnya dengan Arya semalam, dan senyumnya merekah. Ia mengambil ponselnya, yang sudah ia isi dayanya, untuk menghubungi Arya. Namun, sebelum ia sempat mengetik pesan, sebuah panggilan masuk. Nomor yang tidak dikenal."Halo?" ucap Daisy."Daisy... ini aku, Intan," jawab suara di seberang, terdengar serak."Intan? Ada apa? Kamu terdengar tidak baik-baik saja," tanya Daisy, nadanya cemas."Arya... dia... dia mengalami kecelakaan," ucap Intan, suaranya bergetar.Dunia Daisy terasa berputar. "Apa? Kecelakaan apa? Di mana dia sekarang?""Dia ditabrak mobil. Sekarang dia di rumah sakit. Lukanya serius... dia kritis," isak Intan.Ponsel Daisy jatuh dari tangannya. Kata-kata "kecelakaan" dan "kritis" bergaung di kepalanya. Ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa bernapas.Sesaat yang lalu, ia masih memeluk Arya. Sesaat yang lalu, mereka masih tertawa. Dan sekarang...Tanpa membuang waktu lagi, Daisy mengenakan jaketn
Rian tidak bisa tidur. Malam itu, bayangan Daisy yang tersenyum di atas motor Arya terus menghantuinya. Ia memutar-mutar ponselnya, melihat foto-foto Daisy di media sosial. Ia begitu terobsesi, hingga tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada orang lain yang bisa membuat Daisy bahagia.Keesokan harinya, Rian memutuskan ia harus bertindak. Ia tidak bisa hanya duduk diam dan melihat kebahagiaan itu. Ia merasa Daisy adalah miliknya, dan ia berhak atas perhatian Daisy."Aku akan memberimu pelajaran," gumam Rian, menatap layar ponselnya.Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi ke kantor maskapai. Ia tahu ada cara untuk mendapatkan informasi penerbangan Daisy.Ia menemukan bahwa Daisy akan pulang dari penerbangan subuh. Rian memutuskan untuk menunggunya di depan mes pramugari. dan ia akan memastikan bahwa Daisy tahu siapa yang benar-benar peduli padanya.Setelah berbicara dengan Intan, Arya merasa senang. Ia berjalan menyusuri jalan setapak, langkahnya ringan. Ia masih memikirkan Daisy, memimpi







