Lyan mengernyit melihat seseorang yang berdiri didepan pagar kosannya.
"Ohh, kau si cowok lima detik ya?" gumamnya cuek.
"Cowok lima detik?" gantian cowok itu yang mengernyit bingung. Ia terlihat keren dengan setelan kasualnya berapa celana jeans rebel dan kaus berpotongan V-neck berwarna beige. Dan semakin bertambah keren dengan tunggangan motor gede yang sepertinya keluaran terbaru.
Dialah Dirga Hadinata
'Oh, jadi karena inikah dia terkenal?' batin Lyan. Ia teringat percakapannya dengan Deana semalam.
"Dirga itu terkenal di kampus kita. Dia anak orang kaya, dan jumlah mantannya udah berderet-deret. Tapi denger-denger sih, dia semacam anak yang nggak diakui gitu di keluarganya yang kaya raya itu. Semacam anak haram atau anak gundik ayahnya. Makanya dia tinggal di apartemennya sendiri. Dan sifatnya jadi rebel gitu. Tapi tetep aja banyak yang naksir dan ngantri buat jadi pacarnya. Soalnya kan dia ganteng, banyak duit lagi,"
"Jadi, kenapa kamu nggak tertarik? Kan dia cakep dan berduit,"
"Nggak ah! Soalnya cowok kayak gitu berpotensi nyakitin hati. Habis manis sepah dibuang. Nggak cocok buat jangka panjang,"
Lyan senyum-senyum sendiri mengingatnya hingga sebuah jentikan jari tepat didepan mukanya menyadarkannya.
"Masih pagi udah melamun. Ayo!"
"Apa maksudmu ayo?" tanya Lyan. Cowok memberi kode dengan menunjuk boncengan di belakangnya. Lyan menghela napas. "No, thanks," sahutnya. Ia mulai melangkah pergi meninggalkan cowok itu.
Dirga berdecak kesal. Ia mulai mengikuti langkah Lyan dengan motornya tanpa menyalakan mesinnya.
"Lagi mau nyoba jadi cewek yang beda sendiri, heh? Pake jual mahal segala?" sindir Dirga. Lyan langsung menoleh padanya. " Karena itulah aku benci kebaperanmu! Perlu aku ganti julukanmu jadi Baper Boy?!"
"What??"
Lyan tak menyahut lagi. Ia mulai males meladeni cowok ini dan fokus mekangkah ke depan.
"Hey, aku punya nama yang lebih bagus daripada julukanmu. Aku yakin kau juga tau siapa aku?"
"Ya, akhirnya aku tau siapa pakboi paling terkenal sejagat kampus,"sahut Lyan cuek. Akhirnya ia tiba di halte bus tempat ia biasa menunggu bus yang menuju ke arah kampusnya. Dan Dirga masih setia mengikutinya. Lyan menatapnya heran.
"Pergi aja. Sia-sia berharap aku mau naik motormu. Aku bukan Milea dan kau juga bukan Dilan. Dan kita lagi nggak main drama," tukas Lyan cuek. Ia memberi kode pengusiran melalui tangannya.
"Pfft!" Dirga sedikit tergelak.
"Cewek pintar memang misterius ya. Tapi bukan berarti memang suci. Aku kenal cewek pintar lainnya, yang dari luar keliatan sempurna, nggak ada cela. Tapi nyatanya? Hmmm..." ujar Dirga menyindir.
"Terus kau mau menyama-nyamakan orang? Kasian deh hidupmu ketemu cewek aneh terus. Mungkin udah saatnya bertobat," sahut Lyan sambil melirik sebuah bus di ujung sana yang mulai mendekat.
"Yah, kalian para cewek memang sama aja kan? Selalu suka pakai topeng untuk nutupin jati diri..."
"Diih... ngomong apaan sih? Udah ya, aku duluan. Aku duluan. Ngomong aja sama halte!" Lyan bergegas naik kedalam bus, meninggalkan Dirga yang masih terbengong ketika kata-katanya dipotong. Dan ia terus menatap Lyan, bahkan ketika bus itu mulai melaju.
Didalam bus, Lyan menghembuskan napas lega bisa segera bebas dari gangguan Dirga. Namun kata-kata terakhir Dirga masih terngiang-ngiang dalam kepalanya.
"Yah, kalian para cewek memang sama aja kan? Selalu suka pakai topeng untuk nutupin jati diri..."
Cih!
Lyan mencibir. Memangnya cuma cewek? Bukannya cowok juga sama aja? Suka memakai topeng untuk menutupi jati dirinya?
Ingatan Lyan lagi lagi sekilas melayang ke masa lalu, mengingat sosok Abi yang juga palsu. Yang awalnya terlihat begitu sempurna dengan sikap manis bak pangerannya, membuat Lyan akhirnya menemukan cowok idaman pertamanya. Tapi nyatanya.
Cih!
Lyan mencibir sekali lagi. Ditambah lagi entah takdir macam apa ini. Kenapa si Abi itu juga harus berada disini. Ada sekian banyak kampus, kenapa harus menjadi dosen di kampusnya? Memikirkan ia harus menyaksikan lagi sikap palsunya sudah membuatnya muak. Entah akan ada berapa Lyan-Lyan lagi nantinya yang akan jadi korban cinta yang mengenaskan hanya karena sikap palsunya.
Menjijikkan. Semua cowok sama saja. Entah itu Abi atau si cowok lima detik itu. Bahkan mungkin si 'lima detik' masih lebih baik karena ia terang-terangan menunjukkan sikap aslinya. Cewek-cewek itu saja yang bodoh, sudah tahu dia brengsek, masih saja mau terjebak.
Setibanya di kampus, Lyan terkejut dengan begitu banyaknya tidak senang yang ditujukan padanya. Terutama dari kalangan mahasiswi.
"Apa lihat-lihat? Nggak senang?" hardik Lyan langsung. Namun ia terus berjalan dan mencoba mengabaikan.
"Apaan sih kok malah cewek judes kayak gitu yang dipilih Dirga? Cuma menang pinter doang, cantik mah kagak. Boro-boro seksi. Bener-bener nggak pantes!"
Langkah Lyan pun terhenti seketika mendengar sindiran itu yang jelas-jelas ditujukan padanya. Ia pun segera berbalik menghadap si pembicara. Mahasiswi yang jelas sekali salah satu yang ikut mengantri untuk jadi pacar Dirga selanjutnya. Pakaian mininya juga dandanan noraknya sudah cukup untuk menjelaskannya.
"Hey, itu tadi maksudnya ngomongin aku ya?" tanya Lyan langsung.
Penggemar Dirga itu langsung menatapnya angkuh sembari berkacak pinggang. "Akhirnya ngerasa juga. Udah deh jangan bangga dulu mentang-mentang baru resmi jadi pacarnya Dirga. Sebaiknya sadar aja duluan, situ benar-benar nggak pantas!"
"Ap...apa? Pacarnya Dirga?" Lyan speechless. Apa maksudnya ini?
"Diihh...masih pura-pura nggak tahu. Lantas ini apa?" cewek itu lantas menunjukkan foto dari grup chat di ponselnya. Yaitu foto ia dan Dirga didepan kosnya tadi pagi. Yang mengesankan seolah-olah Dirga sedang menjemputnya.
"Guys, Dirga juga udah confirm kalau si Lyan ini bener pacar barunya!" ungkap salah satu chat, dan segera saja hal ini membuat Lyan merasa panas.
"Pinjam sebentar! Ntar kubalikin!" Ia cepat mengambil ponsel cewek itu dan segera pergi menemui Dirga. Ia tau cowok itu akan sedang beradaptasi dimana sekarang.
"Eh, brengsek! Balikin HP aku!" teriak cewek itu dibelakang. Lyan menoleh sebentar.
"Butuh konfirmasi langsung, kan? Ikut aja!"
***
Benar saja. Dirga memang ada disana. Di kantin. Dan ia masih duduk ditempat biasa. Ia tersenyum menyambut kedatangan Lyan.
"Hai manis..."
"Maksud ini apa?!" Lyan tak menggubris sapaan Dirga yang hanya membuatnya mual dan langsung ke inti pembicaraan dengan menunjukkan foto mereka di grup chat.
Dirga tersenyum. "Salahmu nggak mau mendengar kata-kataku sampai selesai. Jadi sebaiknya aku bertindak cepat. Tapi baiklah. Ayo kita buat resmi sekarang, mumpung lagi ada banyak orang,"
Lyan mengernyit. Si 'lima detik' ini ngomong apa sih?
"Mau jadi pacarku?"
***
Sambil menutup mulutnya karena tak menyangka dengan apa yang dia lihat, kaki Retania pun tak mampu bergerak. Dirga di depan sana, sedang tercebur ke dalam kolam renang akibat di pukul ayahnya. Melihat luka yang tergambar jelas di wajah Dirga, hati Retania ikut merasakan sakit. Dia jadi teringat pembicaraan mereka dulu."Kau tahu Reta, ada terlalu banyak hal yang kubenci di dunia ini.""Oh ya? Apa saja?""Aku benci belajar, benci keluargaku, dan terutama, aku benci ayahku."Retania terdiam, lalu akhirnya menyahut, "kenapa?""Karena dia itu pria paling brengsek di dunia. Karena kebrengsekannya, aku harus lahir di dunia ini. Dan dia juga mencampakkan ibuku, sampai akhirnya ibuku meninggalkan dunia ini tanpa ikut membawaku."Retania terdiam lagi. Ia tidak tahu harus merespon bagaimana. Ia tumbuh di tengah-tengah keluarga yang bahagia dan terhormat. Tidak pe
Beberapa saat sebelumnya..."Kau...benar-benar datang?"Lyan menyambut kedatangan Dirga dengan ekspresi tidak percaya. Namun Dirga bisa melihat rasa iba di matanya. Seakan-akan akan ada hal buruk yang akan terjadi padanya setelah ini."Tentu saja. Mana mungkin aku berbohong padamu, kan?" Sahut Dirga santai sambil melepaskan helmnya dan turun dari motornya. "Sekarang bawa aku menemui ibunya Deana." Dirga langsung menarik tangan Lyan sementara Lyan masih terperangah.Lyan segera membawanya menemui Bu Narita dan memperkenalkan Dirga padanya. Bu Narita kemudian menjelaskan secara ringkas mengenai tugas yang harus Dirga lakukan kemudian memberikan seragam pakaian pada Dirga. Dan sama seperti Lyan, Dirga juga terlihat tampan dengan seragam itu."Kalian berdua benar-benar good-looking!" Puji Bu Narita saat melihat Lyan dan Dirga berdiri beriringan.&
Retania menaikkan kembali gaunnya namun tidak ada sedikit pun rasa malu yang tergambar di wajahnya meski aksi kemesraannya dipergoki oleh Anara. Berbeda dengan Abi yang kini tampak gugup, Retania justru merasa murka. Sekalipun dia sangat mengagumi Anara sebelumnya, tapi sikap wanita itu sangat ini benar-benar membuatnya amarahnya sudah berada di puncak kepala.Siapa juga yang bakalan suka kalau diganggu saat sedang mesra-mesranya?"Maaf kalau aku terdengar terlalu ikut campur... ""Anda memang terlalu ikut campur, Nona Anara!!" Potong Retania cepat dengan emosi yang terdengar jelas dari nada suaranya. Anara terdiam. Ia mengepalkan tangannya.Dasar, bocah-bocah zaman sekarang memang banyak tingkah!"Anda seharusnya tahu kalau kami sedang membutuhkan privasi. Kalaupun Anda melihatnya, bukankah sebaiknya Anda diam saja?" Cecar Retania.
"Nak, kita mendadak kekurangan pelayan. Mariani mendadak sakit. Deana bilang ada teman kalian yang mau jadi pelayan, benar begitu?" Tanya Narita dengan kecemasan di wajahnya."E-eh, iya Bu," Sahut Lyan gugup. Teman yang mau jadi pelayan? Dirga kah?"Bisa tolong hubungi temanmu itu? Dari tadi Ibu sudah mencoba menelepon Deana tapi tidak diangkat.""Baiklah, Bu. Sebentar ya."Lyan pamit untuk menelepon Dirga. Sebenarnya dia ragu untuk menawarkan ini pada Dirga. Karena di sini ada ayah beserta ibu tirinya. Dan juga Retania yang malam ini resmi mengumumkan hubungan romantisnya dengan Abi di depan publik."Hai Lyan. Ada apa? Kau butuh bantuan?" Nada ceria Dirga terdengar di seberang sana."Kami... Sedang butuh pelayan tambahan di sini. Salah seorang pelayan ada yang mendadak sakit. Apa kau..bisa datang?""Tentu! Acara k
"Boleh aku tahu ada ada sebenarnya dengan kehidupan puteri kalian yang katanya bahagia bersama jodohnya?"Wisnu dan Jeanita semakin pucat pasi mendengar perkataan Abi dengan nada ejekan di sana. Jeanita meggamit erat lengan suaminya, kode agar sebaiknya mereka pergi saja dari sana. Dan akhirnya, sepasang suami istri itu pun pergi.Abi menghela napas lega. Ia pun kembali memilih kudapannya. Seorang pelayan baru saja meletakkan beberapa jenis kudapan baru di atas meja hidang. Melihat salah satu kudapan tradisional favoritnya tersaji di sana, Abi langsung mengambilnya dengan penuh semangat."Wah, akhirnya ada juga kue tradisional! Ini kesukaanku! Terima kasih... Eh?? Lily?!"Suara Abi berubah menjadi pekikan saat menyadari siapa sosok pelayan yang barusan menghidangkan kudapan di atas meja. Dan ternyata itu adalah Lyan!"Lily? Kenapa bisa ada di sini?"
Lyan menatap dirinya di depan cermin di hadapannya. Ia merapikan penampilannya sekali lagi, memastikan seragam pelayan kombinasi hitam dan putih yang diberikan ibunya Deana ini tidak kusut sama sekali. Ia juga memperhatikan rambutnya yang sudah tertata rapi, disanggul kecil di belakang. Riasannya yang sederhana juga sudah pas. Bagaimanapun, sesuai arahan ibunya Deana, ia tidak perlu berpenampilan berlebihan.Lyan tersenyum sekali lagi sambil menyemangati diri. Jujur sebenarnya ia gugup sekali. Ini pertama kalinya ia bekerja di acara keluarga kelas atas. Reputasi keluarga Hardoyo sebagai pengusaha tambang sungguh tidak main-main. Dan karena ini pesta yang tidak terlalu besar, Lyan justru semakin gugup. Para tamu akan lebih mudah mengenalinya. Dan seperti cerita Dirga sebelumnya, Lyan cukup khawatir akan ada yang coba mempermainkannya."Semangat Lyan! Semangat!" Ia masih berusaha keras memberi sugesti pada dirinya sendiri. Kemudian