Lili memesan makanan di restoran bersama Ridwan. Begitu banyak menu yang dipesan, namun itu bukannya membuat Ridwan kesal, melainkan merasa gemas kepada Lili.
“Ih, banyak amat? Kamu yakin? Nanti otot binaragamu meleleh loh sama lemak?”
ucap Lili.“Hahaha.. Bisa saja. Ini akan kita makan sama-sama. Kamu bisa cicip dulu. Kalau ga suka ya ga akan aku habiskan,”
ucap Ridwan sambil tertawa kecil.“Baik, minumannya Tuan?”
ucap pelayan itu.“Aku mau ini,”
ucap Lili.“Kalau aku ini saja. Oh iya, plus air mineral ya?”
ucap Lili.Pelayan itu lalu berlalu.
“Eh, ngomong-ngomong, gimana dengan survey kamu dan Ronco kemarin?”
ucap Lili memulai perbincangan.“Asik! Serius asik banget di sana! Untuk penikmat alam seperti kamu Pulau Pahawang adalah destinasi wisata laut yang gini banget,”
ucap Ridwan mengacungkan dua jempol.“Oh iya? Ih, jadi penasaran deh,”
ucap Lili sambil menopang dagunya dengan keduaLili melakukan apa yang dilakukan Ridwan terhadap makanan yang baru datang itu. Lili menghirup aromanya sambil memejamkan matanya. Di dalam pikiran Lili, tiba-tiba melintas ingatannya saat Wandi menghirup aroma kopi susu di suatu pagi saat mereka bertemu sebelumnya. “Ekpresi itu.. Sebegitu nikmat kah menikmati aroma itu? Aku belum bisa merasakannya. Alih-alih ingin menikmati aroma makanan, aku malah menikmati ekspresi laki-laki itu menghirup kopi susu pagi itu,”ucap Lili di dalam hati sambil memejamkan matanya. Ridwan lalu menawarkan menu-menu makanan di atas mejanya. Lili diajarkan cara menikmati makanan itu. Ia menyisihkan sendok dan garpunya. Ia hanya menggunakan kedua tangannya saja. Lili menyedot kerang. Suara sedotan itu membuat Ridwan tergelitik. Ridwan lalu mencoba menyedot kerang dengan tekanan yang lebih besar. Maka, suara sedotan itu terdengar lebih nyaring daripada suara sedotan Lili. Mereka pun tertawa bersama oleh suara yang sali
Lili berjalan berdua di sebuah areal parkir restoran bersama Ridwan. “Seru banget. Aku sampe ngekek-ngekek ngelihatin kamu narik kaki-kaki guritanya tadi. Plop! Terus mulutmu belepotan semuanya kena saus. Hahaha...”ucap Lili membahas makan malamnya dengan Ridwan. “Memangnya gitu ya bunyinya? ‘Plop’ gitu? Tapi beneran alot banget sih. Kaya makan ban mobil. Mobilnya mobil tronton lagi. Gede-gede,”ucap Ridwan. “Ih? Emang udah pernah makan ban mobil?”protes Lili. “Ya kan perumpamaan.. Gitu loh!”ucap Ridwan. “Ngomong-ngomong, sudah malam. Aku mau pamit duluan ya?”ucap Lili. “Aku antar deh? Ya? Please..”ucap Ridwan. “Ga usah. Aku pulang sendiri aja. Lagipula kita kan bawa kendaraan masing-masing. Memangnya mau jalan beriringan gitu? Kaya karnaval aja,”ucap Lili. “Aku yang bonceng kamu pakai motormu. Ntar aku balik lagi ke sini pakai angkot,”ucap Ridwan. “Ga! Gausah! Ga usah! Rempong tah
Suatu hal yang aneh terlihat oleh Lili dan teman-teman saat baru saja hendak membahas persiapan KKN. Wandi dan Riris berjalan beriringan dengan wajah Wandi yang sumringah. “Ciyeee... Kalian datang berdua gitu..”goda Ridwan. “Kelihatannya udah akrab banget ya?”tambah Ronco. Emmy dan Rianti hanya memandangi mereka tanpa berkomentar. Mereka melayangkan sedikit senyuman ramah. “Apaan woy! Kebetulan aja tadi kami dari tempat parkiran yang sama,”protes Wandi. Riris pun memandangi Wandi sebentar dengan rona merah di pipinya. Ia terlihat senang apabila dirinya digosipkan sedang bersama Wandi. Melihat senyuman Wandi yang mempesona, perempuan mana pun pasti akan langsung menyukainya. Wandi pun menaruh kotak yang ia bawaa ke atas meja. Riris dengan cekatan membukanya. “Apaan tuh, Ris?”tanya Emmy. “Ini buat kalian. Kalian aku bawakan bihun goreng spesial. Sesekali aku pikir ga apa-apa kan. Karena di rumah aku su
Tiba hari keberangkatan para mahasiswa KKN ke Pulau Pahawang. Lili, Ronco, Ridwan, Emmy dan Rianti berkumpul di gerbang kampus. Mereka menyewa mobil beserta drivernya untuk mengantar mereka menuju Pelabuhan Merak. “Guys, gua dapat kabar dari Wandi barusan,”ucap Ridwan setelah menutup panggilan teleponnya. “Dia kenapa?”tanya Riris dengan begitu penasaran. “Dia ga bisa ikut kita,”jawab Ridwan. “Jadi dia memundurkan diri dari KKN atau gimana? Bisa-bisanya mengabari mendadak kaya gini,”protes Ronco. “Dia ga memundurkan diri dari KKN. Dia bilang nanti dia nyusul, dia mau berangkat sendiri karena ada keperluan,”ucap Ridwan. “Terus elu ijinin?”tanya Emmy. “Yah, mau gimana lagi. Mau gua protes kaya gimana pun kalau dia ga bisa dateng ke sini sekarang ya percuma,”jelas Ridwan. “Biarin aja dia berangkat sendiri. Orang kaya mah bebas,”ucap Lili sambil berjalan meninggalkan mereka menuju mobil.
Di tengah perjalanan kelompok KKN menuju lokasi tujuan, mereka sedang asik bernyanyi bersama lalu tiba-tiba... “Pak! Pak! Pak! Stop Pak!”ucap Ronco tiba-tiba. Driver lalu melambatkan mobilnya dan sedikit menepi.“Kenapa Bang?”tanya Lili. “Mual!”ucap Ronco. Semua orang di sana lalu panik. Suasana tiba-tiba riuh dengan keluhan-keluhan agar Ronco tidak muntah di dalam mobil. “Periksa kantung di samping kursi belakang Den!”ucap driver. Lili lalu menemukan sebuah kantung plastik dan memberikannya kepada Ronco. Mobil masih terus melaju, karena mereka sedang melintas di banyak tikungan yang tidak memungkinkan untuk berhenti di sana. “Wuooog.. wuoooog..”Ronco muntah di dalam plastik. Lili dengan cekatan membuka jendela belakang dan tidak ingin melihat ke arah Ronco. Ia hanya melihat ke luar jendela sambil mengenyitkan dahi. “Aaaa!!! Roncoooo!!!”keluh ketiga wanita yang duduk di deretan
Empat setengah jam sudah berlalu sejak keberangkatan kelompok KKN itu dari Jakarta. Riris, Emmy, Ronco dan Ridwan sedang tertidur di sofa di dalam ruangan kapal ferry. Sementara, Lili dan Rianti terlebih dahulu terbangun dan mereka asik bersandar pada pagar dek kapal. Mereka memandangi laut. Dari kejauhan sudah mulai nampak deretan bukit-bukit hijau, daratan Lampung. Semilir angin laut menerbangkan ujung rambut Lili yang tergerai. Sementara Rianti, tangannya sambil memegangi topi lebar yang melindungi wajah hingga tengkuknya dari sengatan matahari. Rianti lalu mengeluarkan ponselnya dan berfoto selfie dengan Lili. Sementara, di dalam kamar hotel Novotel Lampung. Wandi sedang tengkurap di atas kasur yang begitu lembut dan empuk. Dia baru saja hendak beristirahat, karena baru sampai di sana. Sambil tengkurap, Wandi menekan-nekan ponselnya. Ia sedang memilih-milih menu makanan. Ia berencana akan melakukan pemesanan di aplikasi pesan-antar makanan. Perjal
Wandi berkomunikasi dengan teman-temannya. Ternyata mereka sudah tiba di Lampung.“Oh, kalian di mana sekarang?”tanya Wandi.“Yeee elu, malah nanya balik. Kami baru aja nyebrang, sekarang di Bakauhuni,”ucap Ridwan.“Oh, Bakauhuni. Masih jauh tuh. Nanti kalau sudah di Pelabuhan Ketapang bilang ya? Saya sekarang ga jauh dari Ketapang,”ucap Wandi.“What? Elu? Owh elu naik pesawat ya?”ucap Ridwan.“Iya. Gua lagi ga sehat Wan. Gua ga bisa kalau nyebrang naik ferry,”jelas Wandi.“Elu sakit apa Dih?”tanya Ridwan.“Gua.. gua..”ucap Wandi ragu-ragu. Ia lalu kembali teringat kejadian setengah jam yang lalu saat ia meronta-ronta kesakitan.“Akh...”ronta Wandi sambil menjambak rambutnya sendiri dan memejamkan mata kuat-kuat.“Oh, oke oke. Lu istirahat aja Dih, biar kesehatan lu pulih l
Empat jam kemudian. Rianti, Riris, Lili, Emmy, Ridwan dan Ronco akhirnya sampai di Pelabuhan Ketapang. Sebuah pelabuhan kecil, tempat bersandar kapal-kapal kecil seperti perahu nelayan, ketingting atau perahu penumpang berkapasitas hanya 20-an orang, serta speedboot milih Polair yang selalu digunakan untuk berpatroli.Jam sudah menunjukkan pukul 16.09. Mereka turun dari mobil sewaan mereka dan masuk ke dalam sebuah warung makan sederhana. Ronco kali ini tidak ada di warung bersama rombongannya. Ia sedang mencari penyedia jasa perahu sebagaimana janji yang sudah dibuat sebelumnya dengan pemilik perahu itu.“Pak Ketua, boleh gua aja yang nelpon Wandi ga? Gua penasaran soalnya. Gua pingin dengar suaranya yang katanya lagi sakit itu. Beneran sakit ga do’i?”ucap Riris yang sedang duduk sembari memain-mainkan pipet sedotan di dalam gelas berisi sirupnya.“Oh, iya. Telpon gih buru. Suruh dia cepat-cepat datang,”ucap Ridwa