📍J&T Entertaiment
- Ruangan Pertemuan -
Seorang polisi, Inspektur Lee, duduk di seberang Jexon, CEO J&T Entertainment. Dan tepat hari ini, akhirnya Jexon berhadapan dengan seorang polisi dari kepolisian yang sedang menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpah Paula.
Dengan membawa sebuah map yang penuh dokumen, Inspektur Lee membuka percakapan. Wajahnya dingin dan penuh konsentrasi.
“Terima kasih, Pak Jexon, sudah meluangkan waktu,” ucapnya tanpa basa-basi. Nada suaranya serius, sesuai dengan raut wajahnya yang tajam. “Saya hanya ingin bertanya beberapa hal mengenai Paula. Anda pasti sudah mendengar kecelakaan yang dialaminya kemarin?”
Jexon menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Iya, Inspektur. Saya sangat terkejut saat mendengar kabar itu.” Nada suaranya tenang, namun ada getaran halus yang sulit disembunyikan. “Saya baru mengenal Paula. Dia baru saja menjadi talent di perusahaan kami. Bahkan baru menandatangani kontrak.”
Inspektur Lee menyipitkan matanya, mencatat sesuatu di buku kecil di tangannya. “Benarkah? Jadi, Paula adalah talent baru di sini?”
“Betul,” Jexon mengangguk. “Dia baru mulai bergabung. Kami bahkan belum banyak berinteraksi. Saya hanya tahu sedikit latar belakangnya dan keterampilannya. Dia datang atas rekomendasi dari presdir perusahaan.”
“Hm…” Inspektur Lee bergumam, mengetuk-ngetukkan pulpen ke buku catatannya. “Dan Anda tahu ke mana tujuan Paula saat kecelakaan itu terjadi?”
“Ya,” Jexon menjawab dengan cepat. “Setahu saya, dia hendak terbang ke Chongqing. Dia dalam perjalanan ke bandara waktu itu. Mobil yang ditumpanginya kabarnya mengalami masalah.”
Inspektur Lee mengangguk perlahan, matanya menatap tajam ke arah Jexon, seolah mencari celah. “Ya, kami juga memeriksa jalanan di kota saat itu. Kondisi jalanan licin, dan ban mobil van yang ditumpangi Bu Paula terlihat menipis.”
“Ah, begitu ternyata,” gumam Jexon sambil mengusap dagunya. “Kalau begitu, apa kecelakaan ini ada unsur kesengajaan?”
“Kami masih menyelidikinya,” jawab Inspektur Lee, nadanya tetap tenang tapi tegas. “Pernyataan Bu Paula menyebutkan bahwa ada mobil dari arah berlawanan yang terlibat.”
Jexon tampak menegang sejenak. “Lalu, apa mobil tersebut sudah ditemukan?” tanyanya, mencoba terdengar santai.
“Sudah,” jawab Lee singkat. Dia membalik halaman catatannya. “Saat ini, kami sedang memeriksa pengemudi mobil tersebut. Menurut pengakuannya, dia sedang mabuk saat kejadian. Kami juga menemukan kadar alkohol yang tinggi di dalam tubuhnya.”
“Begitu ternyata,” ucap Jexon singkat. Ia tampak mencoba mencerna informasi tersebut dengan tenang, meskipun tangannya sedikit mengepal di atas meja.
Inspektur Lee menatapnya tajam sebelum bertanya lagi, “Anda bilang Paula direkomendasikan oleh presdir Anda. Apakah Paula punya hubungan khusus dengan presdir?”
Pertanyaan itu membuat Jexon terdiam sejenak. Matanya berkedip cepat sebelum ia menjawab, mencoba menutupi kegugupannya. “Saya tidak terlalu tahu soal itu, Inspektur. Tapi presdir kami memang sering merekomendasikan talenta baru yang berpotensi. Mungkin Paula memiliki bakat yang menarik perhatian beliau sehingga direkomendasikan untuk masuk ke agensi ini.”
Inspektur Lee mencatat pernyataan itu tanpa menunjukkan ekspresi. “Terima kasih atas penjelasannya, Pak Jexon. Kami masih menyelidiki lebih dalam tentang kecelakaan ini, termasuk latar belakang Paula.”
“Baik,” jawab Jexon sambil mengangguk pelan. “Saya akan berusaha membantu semampu saya. Semoga penyelidikan berjalan lancar, Inspektur.”
Inspektur Lee berdiri, memasukkan bukunya ke saku jas seragamnya. “Terima kasih atas waktunya. Kami akan segera menghubungi Anda jika ada perkembangan lebih lanjut.”
Dengan langkah tegas, Inspektur Lee meninggalkan ruangan. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Jexon sendirian. Ia bersandar di kursinya, menarik napas panjang sambil mengusap pelipisnya. Tatapannya kosong, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Tapi saat itu, dia memutuskan untuk beranjak dan kembali ke dalam ruangan kerjanya.
Dimana di dalam ruangan itu, dia memastikan kalau pintu ruangan tertutup dengan rapat.
Pandangannya terlihat serius, dia berjalan ke arah meja kerja dan mengambil ponsel di dalam brankas rahasia di dalam ruangan itu.
Dengan ponsel itu pula, Jexon menghubungi seseorang yang jauh disana.
- In Calling -
“Halo, Pak Jexon. Ada yang bisa saya bantu?” Suara Ar, seseorang kepercayaannya, terdengar di ujung telepon, tenang tapi penuh perhatian.
Jexon meletakkan gelasnya di meja dengan suara pelan. Rahangnya mengeras saat ia berbicara. “Ar, urus masalah ini dengan cepat. Saya tidak mau berurusan dengan polisi berlarut-larut, terutama soal kecelakaan Paula. Kau mengerti?”
“Tentu, Pak,” jawab Ar dengan cepat. Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, “Saya sudah dengar soal investigasi polisi. Apa yang harus saya lakukan tepatnya?”
Jexon berdiri dari kursinya, berjalan ke jendela besar sambil mengusap dagunya. “Bereskan semuanya. Jangan sampai mereka mencurigai saya atau menimbulkan kegaduhan yang lebih besar. Nama perusahaan sudah cukup dikenal, dan saya tidak mau reputasi itu hancur.”
“Baik, Pak,” Ar menjawab, suaranya semakin serius. “Saya akan coba alihkan perhatian mereka dari kasus ini. Apakah ada hal tertentu yang perlu saya perhatikan?”
Jexon berhenti sejenak, matanya menatap jauh ke luar jendela. “Saham perusahaan, Ar. Kau tahu betapa pentingnya itu. Sedikit saja skandal, bisa jatuh nilainya. Saya tidak bisa membiarkan semua kerja keras ini hancur hanya karena satu insiden.”
“Mengerti, Pak,” Ar menjawab dengan nada meyakinkan. “Saya akan pastikan semuanya tetap aman. Saya akan berkoordinasi dengan tim hukum untuk melihat apa yang bisa kami lakukan.”
“Bagus,” Jexon berkata dengan nada rendah. Dia berbalik dan bersandar di jendela, menatap gelas anggurnya yang berembun. “Dan pastikan Paula atau orang-orang terdekatnya tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memperkeruh keadaan.”
“Saya akan urus itu, Pak,” balas Ar tanpa ragu. “Apakah ada instruksi lain?”
“Ya,” Jexon mengangguk meskipun tahu Ar tidak bisa melihatnya. Suaranya menjadi lebih tajam. “Saya tidak mau polisi datang mencari saya lagi. Kalau perlu, cari cara agar mereka kehilangan minat pada kasus ini. Buat mereka berpikir bahwa kecelakaan itu hanya kecelakaan biasa, tidak ada yang lebih.”
“Saya akan lakukan yang terbaik, Pak,” kata Ar. Ada ketegasan dalam suaranya, seolah-olah dia sudah merancang rencana dalam pikirannya. “Segera saya berikan laporan perkembangan.”
“Bagus,” Jexon menekan kata itu dengan pelan, lalu mengembuskan napas. “Jangan sampai ada kesalahan, Ar. Nama baik perusahaan ini bergantung pada apa yang kau lakukan sekarang.”
“Ya, Pak. Anda bisa percaya pada saya. Semuanya akan selesai tanpa masalah.”
“Baik,” Jexon mengakhiri panggilannya dengan suara pelan tapi tegas. “Jangan kecewakan saya, Ar.”
Panggilan berakhir. Jexon meletakkan ponselnya di meja, mengembuskan napas berat. Untuk sesaat, dia memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan strategi dan kekhawatiran.
“Hhhh… semua akan baik-baik saja,” gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun jauh di lubuk hatinya, dia tidak sepenuhnya yakin.
Dia mengambil kunci mobil dari mejanya, melangkah keluar dari ruang kerja yang dingin. Dengan langkah cepat, dia memasuki lift, menuju basement untuk mengambil mobilnya.
Di perjalanan menuju rumah sakit…
Hujan semakin deras, menciptakan suara gemericik di atap mobil. Jexon melirik jam di dashboard, menyadari bahwa dia memiliki waktu sebelum mengunjungi Paula. Mendadak, dia membanting setir ke kiri, menepikan mobil di sebuah toko kecil di pinggir jalan.
Dia keluar dari mobil, menggunakan payung untuk melindungi dirinya dari hujan. Dengan langkah cepat, dia memasuki toko itu, wangi bunga tercium pekat diindra penciumannya.
“Selamat sore, Pak. Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang pegawai muda dari balik meja kasir.
Jexon hanya memberikan senyum tipis. “Saya butuh sesuatu yang sederhana… tapi menunjukkan perhatian.” Matanya menyapu rak yang penuh dengan barang-barang kecil, seolah mencari sesuatu yang bisa memberinya solusi untuk situasi ini.
Setelah beberapa saat, dia mengambil sebuah buket bunga dari atas meja kasir.
Saat keluar dari toko, dia berdiri di bawah atap sebentar, menatap hujan yang masih turun deras. Dengan buket bunga di tangan, pikirannya kembali kepada Paula. Kecelakaan itu… polisi… semua ini terasa seperti badai yang siap menghancurkan segalanya.
Dengan langkah tegas, dia kembali ke mobil, menyalakan mesin, dan melanjutkan perjalanan ke rumah sakit.
**
📍Rumah Sakit
-Kamar Pasien-
Ruangan itu hening, hanya terdengar suara detak jam dinding yang mengisi kekosongan. Hingga tiba-tiba langkah seseorang terdengar mendekat. Pintu terbuka perlahan, dan sesosok pria masuk ke dalam ruangan.
“Paula?” panggilnya, terdengar deep voice cukup untuk membuat mata Paula segera tertuju padanya.
Wanita itu terkejut. “P-pak Jexon?” gumamnya, nada suaranya terdengar ragu.
Jexon melangkah lebih dekat, membawa sesuatu di tangannya. “Hai,” sapanya, sambil meletakkan buket bunga berwarna merah muda di pangkuan Paula, yang saat itu duduk bersandar dengan setengah tubuhnya terangkat. “Ini untuk kamu.”
Paula menatap buket bunga itu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Namun, seiring aroma wangi bunga itu menguar, senyum kecil akhirnya menghiasi wajahnya. “O-oh, terima kasih, Pak,” ujarnya pelan, mengelus kelopak bunga dengan jemarinya. Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada Jexon, senyumnya yang lembut kini terlihat lebih tulus.
Jexon menatapnya dengan sorot penuh perhatian. “Bagaimana kondisi kamu?” tanyanya, nada suaranya terdengar penuh kepedulian.
“Sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, Pak Jexon,” jawab Paula sambil mengangguk kecil.
“Begitu ya?” Jexon tersenyum tipis, tampak lega.
“Iya, Pak,” Paula menambahkan, matanya kembali menatap bunga di pangkuannya sejenak.
“Syukurlah,” ucap Jexon sambil melirik Paula sejenak sebelum tampak mengingat sesuatu. “Ah! Paula?”
Paula mengangkat wajahnya. “Iya, Pak?”
“Polisi menemui saya tadi,” ujar Jexon, nadanya sedikit serius.
Paula mengerutkan keningnya. “Polisi?”
“Hm.” Jexon mengangguk pelan. “Mereka bertanya beberapa hal tentang kamu di perusahaan.”
Paula terdiam, tampak berpikir. “Ah, soal itu…” gumamnya pelan, nadanya terdengar sedikit gugup.
Jexon buru-buru, menenangkan Paula. “Gak usah terlalu dipikirkan,” katanya, menatap lekat Paula dengan lembut. “Semoga saja ada penjelasan lagi dari polisi.”
Paula menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Pak,” jawabnya singkat, namun dari caranya bicara, terlihat jelas bahwa dia mempercayai ucapan Jexon sepenuhnya.
Paula duduk bersandar di tempat tidurnya, sesekali memandang ke arah buket bunga yang masih tergeletak di pangkuannya. Wajahnya tenang, namun jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dia akhirnya memberanikan diri berbicara.
“Pak Jexon?” panggilnya pelan, matanya melirik pria yang berdiri di dekat jendela.
“Hm?” Jexon menoleh, alisnya sedikit terangkat.
“Boleh saya bertanya sesuatu… yang random?” Paula mencoba tersenyum, meski terdengar ragu.
“Prihal apa?” tanya Jexon santai, menyilangkan tangannya di dada.
Paula menatapnya sejenak sebelum berkata, “Kalau boleh tahu, yang akan menikah itu siapa?”
Jexon mengernyit, lalu tersenyum tipis. “Rach. Meimei saya,” jawabnya.
“Ah, saya pikir Bapak yang akan menikah,” ujar Paula, sedikit terkekeh, mencoba menghangatkan suasana.
“Saya?” Jexon mendengus pelan, gelengannya tegas. “Enggak mungkin.”
“Gak mungkin? Kenapa, Pak?” Paula menatapnya penasaran, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum menggoda.
“Hanya saja…” Jexon mengangkat bahu, lalu menatap Paula sejenak. “Saya belum tertarik untuk pernikahan.”
“Begitu ya?” Paula mengangguk kecil, tampak menerima jawaban itu.
“He’em,” gumam Jexon, menambahkan dengan nada ringan.
Namun, percakapan mereka terhenti ketika pintu kamar terbuka perlahan. Seseorang melangkah masuk dengan ragu. Itu Dante.
“Ada tamu…” Dante berhenti di ambang pintu, terlihat sedikit canggung.
“Masuk aja, Ge,” jawab Paula dengan senyum tipis di wajahnya yang polos tanpa riasan.
Dante melangkah masuk, membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan di tangannya. Dia meletakkannya di meja samping tempat tidur Paula, namun pandangannya segera tertuju pada buket bunga di pangkuan Paula. Dia meliriknya sekilas, cukup untuk menyadari siapa pemberinya. Perlahan, Dante mengeluarkan bunga lain yang dia bawa, namun tidak langsung memberikannya.
“Saya hanya mampir sebentar,” kata Dante sambil memasukkan kembali bunganya ke keranjang. “Setelah ini saya harus menjemput Dk.”
“Maaf sudah merepotkan Gege untuk mengurus Dk di saat aku di sini,” ujar Paula dengan nada tulus.
“Jangan sungkan. Saya senang melakukan ini,” balas Dante dengan senyum kecil. Namun, matanya masih sekali-kali melirik bunga di pangkuan Paula.
Jexon yang sejak tadi diam, tiba-tiba melirik jam tangannya. “Paula, saya harus pergi,” ujarnya menyela.
“Ah, maaf, Pak,” sahut Paula cepat.
“Gak apa-apa. Saya juga masih ada kerjaan,” jawab Jexon sambil mengambil jaketnya.
“Terima kasih sudah berkunjung, Pak Jexon,” ujar Paula dengan tulus.
“Iya. Kamu cepat sembuh,” balas Jexon sebelum melangkah keluar dari kamar.
Setelah pintu tertutup, Dante akhirnya membuka suara. “Dia…?”
“CEO dari agensi baru aku,” jawab Paula santai sambil melirik Dante.
“Jexon Wang?” tanya Dante, memastikan. Matanya sedikit menyipit.
“Kamu tahu dia?” Paula menatap Dante heran.
“Tahu,” jawab Dante singkat. “Hanya memastikan saja… kenapa dia bisa ada di sini?”
Paula tersenyum tipis sambil kembali menatap buket bunga di pangkuannya. “Memberikan aku bunga dan menanyakan kabarku,” ucapnya ringan.
Dante memandang bunga itu dengan tatapan tajam. “Sepertinya, kamu cukup akrab dengannya, Paula.”
“Aku?” Paula tertawa kecil, lalu menggeleng. “
Apa terlihat seperti itu? Aku justru merasa tidak dekat dengannya dan sangat canggung.”
Dante tidak menjawab. Dia hanya memandangi Paula, yang kini tersenyum kecil sambil menyentuh kelopak bunga dari Jexon, seolah ingin menyimpan kehangatan momen itu.
**
📍 Restaurant
Hanes memasuki restoran dengan langkah tenang, matanya langsung mencari sosok yang telah menunggunya. Ia melihat Rach, duduk dengan tatapan kosong di meja dekat jendela. Setelah beberapa detik, ia tersenyum dan berjalan mendekat.
Sambil tersenyum lembut,“ maaf membuatmu menunggu, Rach. Sudah lama?”
Rachquela justru menghela napas dan mengatakan, “tidak, hanya lima menit. Aku datang lebih awal.”
“Maaf ya, tadi jalanan sedikit macet.” Ucap Hanes yang kemudian menarik kursi dan duduk di hadapan Rach.
“Tidak masalah.” Sahut Rach dengan dingin.
Mereka berdua terdiam sejenak. Hanes merasa suasana agak canggung dan memutuskan untuk memecah kebekuan.
“Bagaimana kalau kita mulai dengan pesan makanan dulu? saya dengar pasta di sini enak.” Tawarnya, melirik Rach dengan senyum tipisnya.
“Boleh. Aku sebenarnya tidak terlalu lapar, tapi… baiklah.” Jawab Rach yang kemudian, menatap ke arah menu tanpa melihat Hanes.
Hanes melihat Rach masih tampak dingin. Dia mencoba berbicara dengan nada lembut.
Diperhatikannya terus raut wajah Rach. Sejenak, Hanes menghela napas sampai akhirnya, dia kembali berbicara. “Rach, saya tahu ini situasi yang sulit untukmu. Saya sendiri tidak ingin memaksakan apapun. Kita di sini hanya untuk mengenal satu sama lain. Tidak ada tekanan, oke?”
Dan sekilas, Rach melirik. “Mungkin mudah bagimu mengatakan itu, tapi aku belum pernah membayangkan perjodohan seperti ini.”
Mendengarkan ucapan itu Hanes tersenyum tipis. “Jujur, saya juga. Tapi mungkin ini kesempatan untuk kita… mengenal sisi baru dalam hidup. Siapa tahu, kita bisa jadi teman yang baik?”
Ucapan Hanes membuat Rach diam sejenak, lalu menghela napas. “Aku tidak tahu… hanya saja rasanya terlalu cepat.”
“Saya mengerti. Kita bisa jalani ini perlahan. Tidak perlu terburu-buru.” Ucap Hanes dengan lembut dan begitu sabar.
“Iya.” Sahut Rach singkat.
Kembali Hanes tersenyum, berusaha menerima keadaan yang membuatnya berpikir, harus lebih banyak bersabar untuk menghadapi calon istrinya. “Kalau begitu, kita mulai dengan memesan makanan dan ngobrol santai seperti, apa makanan favoritemu, Rach?”