Share

Bab 7. Hadiah Dari Mas Bagas

Reuni memang masih diselenggarakan satu bulan lagi, mengingat perlu banyak persiapan. Termasuk mengundang guru-guru kami saat masih SMA. Meski sudah menjadi alumni, namun jasa guru tidak pernah terbalaskan.

Ting

Ponselku bergetar, aku lihat sebuah pesan masuk dari nomor baru.

[Ris, sudah tidur?] Sebuah pesan dari Angga. Aku bisa menebaknya melalui foto profilnya.

[Belum, ada apa?] Aku membalas pesannya.

[Ya sudah, cepat tidur karena besok kamu pasti sibuk dengan restoran kamu] Aku tidak lagi menanggapi pesan yang dikirim Angga padaku. Aku meletakkan kembali ponselku di nakas dan bersiap hendak ke peraduan. Pikiranku melayang akan hari esok, tidak lupa harapan aku lantunkan sebelum aku tidur. 

Baru juga hendak memejamkan kedua mataku, ponselku lagi-lagi berdering. Aku melihat dengan jelas foto profilnya. Aku langsung menonaktifkan ponselku supaya tidak lagi berhubungan dengannya.

Dini hari, aku merasa tubuhku diguncang pelan oleh seseorang.

“Ris, Rista. Bangun cepat!” aku sangat mengenal suara khas Ibuku. Aku menggeliat kemudian melirik jam dinding masih menunjukkan pukul 01.00 dini hari. 

“Bu, bukannya shalat tahajud masih dua jam lagi?”

“Coba lihat ke depan. Ada gadis mabuk, dan gadis itu mirip dengan Lala!” Seketika rasa kantukku hilang. Bukannya aku kemarin memenjarakannya, dan kenapa sekarang sudah berkeliaran di luar. Mana pakai acara mabuk lagi. 

Aku terpaksa menyibak tirai dan benar saja, aku melihat Lala tergeletak tidak sadar di halaman rumahku. Entah apa yang dia pikirkan hingga harus kemari. Membuatku kesal saja dengan gadis labil ini.

Tidak banyak yang bisa aku perbuat, saat itu juga aku pergi ke rumah ketua RT untuk mengadukan kejadian di luar rumah termasuk Ibuku yang ikut menceritakan kejadian sebelum Lala tergeletak.

Aku bersama ketua RT dan juga dibantu beberapa warga mengevakuasi Lala ke pos satpam. Disana Lala dibaringkan di sebuah matras yang biasanya digunakan satpam kami beristirahat. Sesekali Lala meracau karena masih dalam pengaruh alkohol. Bisa saja aku menolongnya dan menampung di rumah. Akan tetapi, aku memikirkan kemungkinan buruknya setelah ini. Aku tidak habis pikir jika pergaulan Lala tidak berubah. Menurutku semakin buruk sekali.

“Pak RT, terima kasih sudah membantu saya pagi ini. Saya tadi benar-benar takut, ditambah lagi gadis ini yang kemarin bikin gaduh disini!”

“Iya, saya masih ingat jika kemarin gadis ini membuat gaduh dengan Bu Retno. Tapi tenang saja, besok jika sudah sadar, saya akan memanggil keluarganya!” Ingin aku memberikan nomor ponsel keluarga Lala sekarang juga. Akan tetapi jika aku memberikannya pasti aku akan dianggap sebagai manusia tidak peduli pada keluarga mantan suami.

Aku bersama Ibu kembali ke rumah melanjutkan mimpi kami yang tertunda karena Lala. Ditambah lagi kedua mata kami sudah sangat mengantuk.

Seperti biasa, pagi ini aku sudah bersiap berangkat ke restoran di cabang lain untuk memantau. Sebelum pergi bekerja, aku lebih dulu menyiapkan semua barang yang akan aku bawa untuk mengunjungi Ara di asrama termasuk sepatu yang dibelikan Maya kemarin. Sebelum pergi bekerja, aku menitipkan sarapan kepada satpam untuk Lala jika dia sudah sadar. Meski semalam aku terlihat begitu tega, namun jika membiarkan dia kelaparan juga kasihan.

Hari ini cukup berjalan lancar tanpa ada gangguan sama sekali dari siapapun. Bersyukur sekali bisa menjalankan aktivitas tanpa harus senam jantung setiap hari karena kemunculan mereka.

Siang ini, aku bergegas mengunjungi Ara. Meski baru beberapa hari namun rasa rinduku pada anak gadisku tidak bisa ditahan. Kedatanganku disambut ustadzah yang kebetulan berjaga di tempat informasi. 

“Mama!” Ara datang menemuiku di ruang informasi menghamburkan pelukannya padaku.

“Sayang!” tidak lupa aku mencium kedua pipinya. Tiba-tiba tatapan mata Ara terlihat malas ke salah satu arah. Aku menoleh ke sebuah objek yang membuat Ara seperti berubah mood.

“Mas Bagas!” Aku melihat Mas Bagas berdiri tidak jauh dari kami. Di tangan kanannya terdapat sebuah boneka dan sebuah paper bag entah berisi apa di tangan kirinya.

“Ara!” Ara menatap wajahku sejenak, aku memberikan kode anggukan kepala untuk menemui ayahnya, meski dari raut wajahnya sangat terlihat jika Ara tidak ingin bertemu Mas Bagas.

Ara akhirnya menurut padaku kemudian berjalan pelan ke arah Mas Bagas. Ara juga tidak lupa mencium punggung telapak tangan Mas Bagas.

“Ara, bagaimana kabarmu?” Mas Bagas berusaha mendekatkan diri pada Ara. 

“Baik!” Sahut Ara singkat. Mungkin kenangan masa lalu masih membekas di ingatan Ara.

“Ara, ini ayah bawa hadiah untukmu. Ayah tadi menjumpai boneka beruang ini dan ini ada camilan untuk kamu selama di asrama!” Ara menerima pemberian dari Mas Bagas meski dengan senyum dipaksakan.

“Ini juga untuk Ara buat jajan di asrama!” Aku membiarkan Ara menerima uang jajan dari ayahnya. 

“Enak sekali dikasih duit!” Tiba-tiba suara yang paling aku benci berada di samping Mas Bagas. Dara ternyata datang tiba-tiba dan meraih uang yang diberikan Mas Bagas pada Ara. 

Dara terlihat mengibas ibaskan sejumlah uang yang direbutnya dari Ara. 

“Tante Dara butuh duit ya, sampai merebut uang jajan Ara?” Seketika wajah Dara berubah muram karena ucapan Ara. Aku diam sejenak dan melihat apa yang akan dilakukan Dara setelah ini.

“Dara, kamu sudah aku beri uang bulanan. Kenapa masih merebut uang jajan Ara?” Maa Bagas menasehati Dara dengan nada melunak. Sangat berbeda denganku dulu yang selalu dibentak-bentak. Bahkan tidak jarang sambil berteriak.

“Aku tidak rela jika uangmu dinikmati anak kamu, Mas!” Sudah bisa ku pastikan jika akhirnya Mas Bagas pun diam.

“Heh, bocil! Jangan pernah minta uang pada suamiku!” Ara tertawa keras membuatku terkejut. Begitu pula dengan Dara, merasa dipermainkan seorang anak SMP.

“Tante, usaha Mamaku hasilnya melimpah ruah! Ara tidak butuh uang dari ayah. Kalau mau ambil ayah, Ara ijinkan!” Aku tidak menyangka dengan jawaban Ara. Anakku ternyata sudah bisa membela diri jika dihina orang dewasa seperti Dara.

Wajah Ara kini menatap Mas Bagas yang berdiri tidak jauh darinya dengan membawa dua hadiah yang diberikan Mas Bagas tadi.

“Ayah! Ini hadiahnya Ara kembalikan. Ara tidak butuh apapun dari Ayah. Ara sudah cukup bahagia bersama Mama jadi jangan pernah lagi memberikan apapun untuk Ara!” Tatapan Mas Bagas terlihat kecewa ketika Ara mengembalikan dua hadiahnya.

“Sudah, Mas. Kita pergi!” Dara menarik lengan Mas Bagas mengajaknya pergi. Sesekali Maa Bagas menoleh ke belakang melihat kami berdua.

Dara dan Mas Bagas saat itu juga pergi meninggalkan komplek Asrama. Kini tinggal aku dan Ara duduk berdua di bawah pohon menikmati kue yang aku beli di toko kue.

“Ma, Ara sebel sama Ayah dan Tante Dara!” 

“Sudah, Sayang! Biarkan mereka, yang penting kita berdua tetap bersama dan bahagia bersama!” Aku menghibur kekecewaan Ara. Aku paham jika anak beranjak remaja ini sudah bisa memilih mana yang salah dan benar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status