Aku mengabaikan sejenak orang yang sedang mengawasiku. Tidak peduli dia siapa yang penting disini aku tidak merasa mengganggunya.
“Tidak terasa kita sudah tua begini!” Sahut Angga. Hampir dua belas tahun tidak saling bertemu, jadi ada rasa rindu akan kebersamaan serta kekompakan kami dulu.“Iya, rasanya kangen banget sama teman-teman sekolah,” Maya menimpali ucapan Angga.“Kalian kompak sekali!” Sahutku begitu saja. Sepertinya menjodohkan mereka yang masih sama-sama lajang adalah rencana yang cukup baik. “Bagaimana kalau aku bikin acara reuni untuk teman sekelas?” Sebetulnya itu ide bagus, tapi pasti nanti aku bertemu dengan Dara. Sahabat yang dulu menjalin hubungan dengan Mas Bagas sebelum kami bercerai. Ah, biarkan saja. Aku juga sudah tidak peduli dengan mereka. “Ide bagus itu, Angga. Nostalgia jaman sekolah!” Aku pun menyetujui ide Angga mengadakan acara reuni. Tidak masalah jika nanti ada yang akan menggangguku. Aku sudah tahu resiko yang nantinya aku hadapi.“Kita catat semua teman-teman kita beserta nomor ponselnya!”Saat itu juga Angga meraih buku kecil di tas kerjanya dan mendata semua teman-teman sekolah kami. Kami bertiga sibuk dengan data dan usulan dari Maya. Maya begitu antusias dengan adanya reuni ini. Aku sedikit merasa aneh dengan sikap Angga padaku. Sesekali dia mencuri pandang padaku. Semoga ini bukan hal yang aneh, tetapi hal yang wajar.Usai mendata nama teman-teman, sekarang Angga membentuk sebuah grup. Grup yang hanya berisi teman sekelas kami. Grup menjadi ramai karena saling bertukar kabar. Rencana reuni akhirnya disetujui penghuni grup. Aku senang, namun ada sedikit yang harus aku khawatirkan. “Aku tidak sabar bertemu Eva, Meri, Rana dan semuanya!” Maya sudah membayangkan bertemu dengan teman-teman yang dia rindukan. Apalagi teman-teman kami sudah banyak yang bekerja di luar kota. Sangat sulit jika harus bertemu setiap hari. Pasti nanti akan menjadi acara yang paling meriah. Ditambah beberapa teman mengajukan sebagai donatur demi berjalannya acara reuni ini. “Wah. Semua antusias sekali. Saat ini ada lima juta uang yang masuk. Dari teman kita yang jadi owner dodol durian!” Angga tidak menyangka, saat ini juga uang sumbangan masuk ke rekeningnya.“Aku juga mau jadi donatur. Mana rekeningmu!” aku meraih ponselku dan mencari aplikasi M banking. Aku mengirim sejumlah uang pada Angga supaya acara bertambah lancar. Maya juga melakukan hal yang sama seperti kami, mendukung acara dengan mengirim dana kepada Angga.“Semoga usaha kalian lancar!” Kami mengaminkan doa baik Angga pada kami.“Enaknya acara ini diselenggarakan dimana ya?” Kami mulai berpikir akan lokasi yang nantinya digunakan sebagai tempat reuni.“Gedung Graha Santika gimana?” Maya memberi usulan reuni diselenggarakan di sebuah gedung.“Ballroomnya terlalu luas, Maya. Kita cuma tiga puluh orang. Apa tidak mubadzir nanti?” Aku merasa ballroomnya kurang cocok untuk peserta yang tidak terlalu banyak.“Ballroom hotel Marion bagaimana? Tidka terlalu luas dan jamuan makanannya enak-enak!” Usul Angga lagi-lagi cukup bagus. Tempat tidak perlu luas, asalkan bisa membaur jadi satu.“Baiklah, aku setuju!” Akhirnya tempat sudah ditentukan. Tinggal waktu, yang nanti bisa didiskusikan bersama teman-teman yang lain di grup.Usai pertemuan, kami berpisah dan kembali ke tujuan masing-masing. Aku dan Maya memilih ke sebuah butik yang cukup terkenal. Bukan karena kami suka gaya hidup boros, namun aku membutuhkan baju yang bahannya nyaman. Aku memilih beberapa gamis untukku dan juga untuk Ara. Ada banyak pilihan model dan juga warna sesuai usia. Rencananya aku akan ke asrama mengunjungi anak gadisku.“Wah! Ini pasti cocok untuk Ara.”Maya tertuju pada sebuah sepatu yang cukup cantik. Sepatu untuk gadis remaja dengan warna dan motif yang unik. Selera Maya tetaplah bagus sejak dulu.“Kamu tidak perlu repot-repot membelikan Ara, May!” Aku tidak nyaman jika terlalu merepotkan Maya seperti ini.“Ih! Aku mau beli sepatu ini untuk keponakanku, Ris. Jangan ditolak!” Akhirnya aku menurut saja dengan Maya. Usai membayar, kami berencana langsung pulang ke kediaman masing-masing. Akan tetapi, Maya menarik tanganku hingga kami berada ke tempat yang menurutnya tidak terlihat oleh seseorang yang dihindarinya.“Ada apa, May?”“Lihat disana!” Aku terkejut melihat Dara tengah bersama lelaki yang berbeda. Dia bukanlah Mas Bagas. Dara terlihat begitu mesra dengan bergandengan tangan bersama lelaki itu. Bahkan sesekali terlihat seperti pasangan kekasih.“Ck, wanita apaan itu!” Seru Maya sambil terus memperhatikan Dara. “Sudah biarin aja, itu bukan urusan kita!” Aku tarik tangan Maya mengambil jalan yang lain supaya tidak terlihat oleh Dara. Sebenarnya akan lebih bagus jika berpapasan dengannya, karena bisa membuatnya terkejut.Kami akhirnya berpisah di lokasi parkir. Maya memesan taksi online sedangkan aku mengendarai mobilku sendiri. Melihat Dara dengan lelaki lain membuat ingatanku berputar-putar. Untuk apa dia bermesraan dengan lelaki lain padahal juga sudah punya suami. Tidak mungkin lelaki itu bagian dari keluarganya karena terlihat tadi sesekali mereka mencium pipi.“Ini bukan urusanku!” Gumamku menguatkan diriku sendiri. Aku menyalakan mobil dan kemudian melajukannya.Ponselku kembali berdering dan ternyata dari nomor baru. Aku menyangka jika itu dari Angga hingga aku menerima panggilannya.[Hallo] Aku tetap beranggapan jika nomor tersebut adalah milik Angga.[Rista, apa yang kau lakukan pada Lala?” Nyaris saja jantungku berhenti berdetak ketika tiba-tiba saja Mas Bagas membentakku. Aku menepi sejenak dan bicara baik-baik dengannya.[Kamu tidak terima Lala dipenjara?] Aku kirim bukti rekaman Lala saat di restoranku. Menurutku sikap Lala cukup memalukan jika sampai tersebar kemana-mana.[Rekaman apa ini?] Sepertinya Mas Bagas tidak terima dengan rekaman yang aku kirim padanya.[Simak saja] Balasku kemudian kembali melajukan mobilku menuju ke kediamanku.Berkali-kali ponselku berdering dari Mas Bagas dan aku sama sekali tidak mau menerima panggilannya. Pasti nanti akan ribut lagi, apalagi dia tidak pernah mau mengakui kesalahan keluarganya atau bahkan dirinya sendiri.Sesampai di rumah, aku disambut sang Ibu di teras. Tanpa menunggu Ibu bertanya, aku ceritakan semua yang terjadi seharian ini. Mulai datangnya keluarga benalu yang meminta makanan gratis serta meminta hak ditambah sikap mantan ipar yang berakhir dalam jeruji besi.“Astaghfirullah! Kenapa mereka tidak hentinya berbuat jahat padamu, Nak!” Ibuku mengusap dadanya, aku paham jika Ibu tidak rela jika anaknya diganggu terus menerus meski sudah bercerai. Diajak rujuk setelah kubuktikan kesuksesanku setelah mereka puas menghinaku, namun sekarang seakan tidak ada hentinya mereka menggangguku.“Sudah, Bu. Rista pasti bisa melawan mereka semua! Buktinya, aku bisa melawan mereka hingga salah satu anaknya masuk penjara!” Aku paling tidak menyukai jika sampai ibuku turut memikirkan nasib rumah tanggaku. Tidak lain alasanku hanya demi menjaga kesehatan sang Ibu. Ibuku akhirnya bisa kembali tersenyum. Ini sangat membahagiakan jika sudah melihat Ibu tenang dan tersenyum. Meski receh tapi sudah membuatku senang.Teringat acara reuni tadi, sebenarnya aku juga sudah tidak sabar. Aku sangat merindukan semua temanku! Kecuali Dara. Sahabat yang pernah berselingkuh dengan suamiku dulu.Singkat cerita, setelah kepergian Mas Bagas pergi merantau, kami pun memberi tahu kabar ini kepada Ara termasuk bebasnya Mas Bagas. “Terima kasih, Ma. Terima kasih ayah! Ara bangga sama kalian!” Aku memeluk Ara dengan suka cita. Kabar baik ini telah memberikan semangat untuknya.“Sama-sama, Ara. Ayah dan Mama sudah janji padamu!” Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa setelah melihat semua kembali baik-baik saja. Ara yang mulai menerima sang ayah, ditambah Mas Bagas yang sudah kembali ke jalan yang benar.Sejak menikah dengan Angga, hidupku dipenuhi kebahagiaan. Usaha yang kami jalankan berdua berjalan lancar, usaha toko agen sembako miliknya juga berjalan lancar. Semua tidak lepas dari dukungan serta doa Ibu dan Ibu mertuaku.Untuk masalah mantan Ibu mertuaku, aku tidak tahu kabarnya sampai saat ini. Dimanapun keberadaannya semoga diberikan kesehatan dan kembali ke jalan yang benar. Angga menggandeng tanganku berjalan di tepi pantai menikmati senja. Sepulang dari asrama, Angga menga
Aku melihat gadis mirip Dara itu bersikap layaknya Dara yang aku kenal. Hanya saja Dara sesekali mengarahkan rambutnya di sekitar wajahnya. Mungkin saja dirinya tidak mau dikenali. “Lihat apa, Sayang?” Angga menggenggam tanganku yang tengah asik mengamati sosok Dara.“Tidak lihat apa-apa!” Sahutku kemudian melanjutkan menikmati es krim terkenal ini. Sementara aku buang dulu pikiran soal kemunculan wanita yang mirip sekali dengan Dara. “Haruskan aku meminta Mas Bagas menceritakan kronologinya? Tapi kapan bisa kesana?” Aku berbicara pada diriku sendiri. Jika aku bicara pada Angga, aku tidak enak. Karena dia sekarang sudah resmi menjadi suamiku.Aku melihat wanita mirip Dara itu pergi dengan seorang pria paruh baya atau jauh lebih tua dari usia Dara. Aku menghubungi salah satu temanku yang turut hadir saat takziah.[Kami datang, hanya saja peti jenazah tidak dibuka karena alasan wasiat dari jenazah] Sahut Rosma, yang saat itu dia hadir takziah.Tidak hanya Rosma, aku juga mencari jawab
Hari ini acara pernikahan digelar. Tidak banyak tamu undangan karena aku ingin digelar secara sederhana. Hanya beberapa saksi dan teman dekat Ibu saja ditambah pihak keluarga Angga. Gamis berwarna putih ditambah sedikit sentuhan aksesoris membuatku terlihat cantik. Ara pun memakai gamis berwarna senada sepertiku. “Anakku, cantik sekali!” Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangannya.“Ibu, Rista akan menikah. Doakan Rista ya, Bu!” Tangisku kembali pecah di pelukan Ibu saat acara akad sebentar lagi digelar.Terdengar suara Ibu-ibu yang mengatakan jika pengantin lelaki datang. Itu artinya Angga sudah datang bersama Tante Mira. Degup jantung berdetak begitu kencang karena sebentar lagi dia akan mengucapkan janji suci di depan penghulu dan saksi.“Ayo kita keluar, Bu!” Ara dan Ibu mengantarku ke ruang tamu yang dijadikan tempat akad nikah. Semua bernuansa putih, Tante Mira dengan gaya khasnya terlihat sangat cantik. Aku duduk di kursi berada di samping Angga. Sesekali dia mencuri pandan
Dikeluarkannya sebuah kotak kecil berwarna biru beludru terlihat sangat indah sekali. Sebuah cincin bertahtakan berlian di atasnya begitu indah. Berlian itu terlihat berkilau terkena sinar lampu.“Asal kamu tahu, selama berbulan-bulan aku mencari siapakah sosok dirimu yang selalu hadir dalam setiap mimpi. Atas doa yang kulantunkan, akhirnya aku kembali menemukanmu dan sekarang aku melamarmu. Aku tidak ingin lagi jauh darimu!” Bibir bergetar, aku terharu melihat keseriusannya di depanku. “Ris. Kenapa diam?” Aku sempat terdiam sejenak karena aku merasa ini hanya sebuah mimpi. Lelaki pernah lupa ingatan ternyata bisa kembali pulih dengan beberapa bantuan dari Ibunya.“Bismillahirrahmanirrahim. Aku menerima lamaranmu, Angga!” Aku tidak tahu jika Ibu ternyata berdiri tidak jauh dariku, turut menyaksikan Angga melamarku.“Alhamdulillah, terima kasih, Rista. Terima kasih sudah mau menerimaku.” Tante Mira dan Ibu terlihat menitikkan air mata ketika aku menerima lamaran Angga.Angga memakaika
Dua hari kemudian, keadaan Ibu sudah membaik dan diperbolehkan pulang. Melihat Ibuku sehat kembali membuat semangatku kembali muncul. Aku lajukan mobil hitamku menuju ke rumah masa kecil kami. Aku tidak heran dengan kondisi halaman rumah yang penuh dengan dedaunan kering. Ini sangat terlihat kotor sekali dan tidak enak dipandang.Aku membantu Ibu masuk ke dalam rumah, urusan halaman rumah yang kotor biar nanti saja aku urus.“Zainab!” Teriak Bu Fatma, tetangga depan rumah. Wanita paruh baya itu datang bersama bu Yuni menghampiri kami berdua.“Bu Fatma, Bu Yuni. Mari masuk!” Aku mempersilahkan kedua tetangga yang begitu baik pada kami.“Zainab, bagaimana keadaanmu?” kedua teman Ibu menyalami Ibuku yang baru pulang dari rumah sakit.“Alhamdulillah. Saya sudah sehat!” “Ini tadi aku masak soto. Dimakan ya!” Bu Fatma yang sedari kemarin bertanya kapan ibu pulang kini datang membawa rantang berisi soto ayam.“Ini, aku bawakan tumis daun pepaya sama ayam goreng. Dimakan ya, Nab?” Bu Yuni me
Aku berbalik dan dia tepat berada di hadapanku. Detak jantung kembali berdegup begitu kencang. Tidak ada lagi alasan aku menghindar darinya.“Siapa anda dan kenapa kedua mata anda mengingatkanku pada seseorang?” Bibir terasa kelu, suara seakan tidak bisa aku keluarkan.“Nona, kenapa anda hanya diam?” Aku bingung harus menjawab apa padanya.“Sepertinya anda salah orang. Saya tidak kenal dengan anda!” Sahutku padanya. Wajahnya berubah sayu seolah kecewa karena tidak mendapatkan jawaban. Mungkin ini yang dikatakan Tante Mira. Angga tengah merindukanku namun lupa denganku.“Anda berbohong. Tatapan anda terlihat jika anda sedang berbohong!” Dia tidak percaya padaku. Aku harus pergi darinya sebelum Tante Mira menemukan kami.“Saya tidak berbohong, Tuan. Permisi!” Aku berlalu begitu saja meninggalkannya seorang diri. Aku berjalan cepat menuju ke ruang rawat inap Ibuku. Ternyata Tante Mira sudah bersiap untuk pulang. Aku tenang bisa sendirian lagi tanpa ada yang mengganggu saat menjaga Ibu.C
Keesokan harinya, aku dikejutkan dengan keadaan ibu yang mendadak demam. Tidak ada kata lain selain membawa Ibu ke klinik terdekat. Aku harap hanya demam biasa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sebuah klinik yang tidak terlalu besar. Klinik sebagai andalan warga untuk berobat selain puskesmas.Sesampai disana, perawat dengan sigap membawakan kursi roda untuk Ibu. Wajah Ibu bahkan terlihat pucat sekali. Melihat keadaan seperti ini membuatku takut. Takut kehilangan seseorang yang harusnya mendampingiku merawat Ara. Ibu dibawa ke IGD. Sedari tadi Ibu merintih menahan sakit di bagian perutnya. Bibir tidak bisa berhenti melafalkan istighfar melihat Ibu yang tengah merintih. Seorang Ibu yang tidak pernah mengeluh sakit, kini harus terbaring lemas di ranjang.Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Ibu harus opname karena setelah diperiksa, ternyata asam lambung Ibu sedang naik. Rencana melanjutkan berkebun pun aku batalkan demi menjaga Ibuku.Jarum infus pun mulai dipasang di
Aku benar-benar tidak mau ambil pusing lagi dengan semua orang di kota. Aku tetap pada pendirianku, menghilang sejenak dari hiruk pikuknya kota.[Bilang saja, urusan saya sedang tidak bisa diganggu] Aku tambahkan pesan untuk karyawanku. Sebenarnya aku ingin bertemu Tante Mira, hanya saja aku tidak ingin mendapat luka dari Angga. Sudah cukup semua yang aku rasakan, kini aku ingin membuka lembaran baru di kampung.[Baiklah, orangnya sudah kembali setelah memesan kue kering] Cukup lega setelah mendapat kabar dari karyawanku. Bersyukur sekali memiliki rekan kerja yang bisa dipercaya serta bisa diandalkan.Terlihat sosok lelaki berjalan cepat ke arahku yang tengah menikmati bakwan sayur di belakang rumah.“Mbak Rista, ini ada pisang goreng dari Ibu. Semoga suka ya!” Belum juga habis gorengan buatan Ibu, kini ustadz Fahri datang membawa sepiring pisang goreng.“Terima kasih, Ustadz. Sepertinya enak sekali!” Aku memuji penampilan pisang goreng yang diberikan padaku.“Alhamdulillah jika suka.
Pagi ini aku sudah disibukkan dengan proses pindah ke rumah lama. Rumah penuh kenangan di masa lalu. Ara juga sudah tahu semua alasanku untuk pindah. Rumah belum lama aku tinggali telah menorehkan banyak kenangan buruk.Sebuah truk sudah bersiap melaju ke rumah lama dengan jarak lebih lama. Hati terasa tenang, menjauh dari semua yang pernah mengenalku. Mungkin aku akan dianggap seperti anak kecil yang akan pergi ketika ada masalah. Tapi ini pilihan, aku ingin lepas dari belenggu luka yang pernah mereka torehkan.Untuk pekerjaan hari ini, aku menyerahkan semuanya pada karyawanku. Aku hanya ingin fokus pindah rumah dan menikmati masa berjayanya usahaku saat ini. Usaha kue kering berjalan lancar seperti usaha restoran.Bibirku tersenyum ketika mobil yang aku kendarai sudah memasuki halaman rumah. Hatiku begitu gembira ketika melihat pohon mangga yang ada di depan rumah berbuah lebat. Dulu, Ayah akan mencari buah mangga yang sudah tua kemudian memeramnya di dalam beras. Hanya dalam waktu