"Kenapa bengong? Apa kata suamimu?" Aku menggeleng pelan saat Santika bertanya. Keinginan makan yang tadi menggebu, kini terkikis oleh rasa khawatir akan perkataan suamiku. Aku sangat mengenal Aldi. Dan aku tahu, nada bicaranya tadi menandakan ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Bukan khawatir padaku, tapi lebih tepatnya seperti marah. "Makan dulu, Run, keburu suamimu datang. Dia akan ke sini untuk menjemput, bukan?" Kali ini aku mengangguk, tapi masih tidak mengeluarkan kata. Untuk menghargai Santika yang sudah membelikan makanan untukku, aku pun mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut. Sepanjang makan, pikiranku terus saja tak tenang. Hingga akhirnya, aku menyudahi suapanku, lalu mencuci tangan. "Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Santika lagi. "Sudah kenyang, San. Sebaiknya aku nunggu suamiku di gang saja, dia tidak akan tahu jalan ke sini." "Yasudah, aku antar," ujar Santika. Dia melepaskan mukena yang sedari tadi masih melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia mengambil sweater d
Aku menyanggah fitnah yang ada dalam sebuah foto. Mirisnya, gambar-gambar itu ada di dalam tas milikku. Foto di mana aku yang tidur dengan dipeluk oleh seorang pria yang aku pun tidak tahu siapa dia. Jangankan mengenalnya, melihatnya pun baru sekarang dari sebuah gambar. "Ini fitnah, Bang." Aku berucap dengan mata tak lepas dari foto tersebut. Memang tidak telanjang, tapi tetap saja tidak enak dipandang. Apalagi, tangan si pria berada tepat di bagian dadaku. "Apa kamu akan mengatakan itu editan?" tanya Aldi dengan sorot mata merahnya. "Aku tidak tahu ini editan atau bukan, Bang. Tapi demi Allah aku tidak tahu laki-laki itu siapa. Aku tidak melakukan apa pun dengan dia!" Aku menjerit seraya melempar foto tersebut ke sembarang arah. Aku terduduk di lantai dengan kepala kutundukkan pada sofa. Aku capek, lelah untuk menjelaskan kepada Aldi. Dia tidak percaya dengan kata-kataku. Dia kekeh dengan keyakinannya bahwa aku telah berkhianat. "Itu bukan aku. Aku difitnah, aku dijebak oleh
"Bang Aldi," ucapku lirih. Haikal yang terjatuh, dibantu istrinya yang terlihat panik dengan tubuh gemetar. Keduanya menatap suamiku yang datang dengan wajah memerah. "Sekali lagi kasar pada istriku, membusuk, lu di penjara!" ujar Aldi emosi. "Istrimu yang datang dan marah-marah pada suami saya. Kalian yang tidak punya adab, kalian juga yang mengancam kami? Saya yang akan melaporkan kalian ke polisi!" Mami Siska membela suaminya. "Anda sudah mencari tahu kenapa istri saya bersikap kasar pada suami Anda, Nyonya?" Aldi mengambil foto yang masih ada di tanganku, lalu melemparkannya ke wajah Haikal. "Aku akan mencari tahu siapa laki-laki itu, dan jika kalian lapor polisi, kami pun akan melakukan hal yang sama," pungkas suamiku, lalu pergi dari rumah Haikal dengan menarik tanganku. Sepanjang langkah dari rumah Haikal menuju rumah kami, Aldi tak sedikit pun bicara. Namun, meskipun begitu aku terus mengikuti langkah kakinya, tanpa ingin melepaskan tangan ini. Pembelaan yang Aldi berika
"Kamu tahu, bukan apa yang harus dibicarakan dan yang tidak di sini? Jangan sampai, sikap Mama yang sudah mencair kembali beku akibat tahu masalah kita semalam."Aku mengangguk patuh. Tanpa dia suruh pun, aku sudah paham soal itu. Tidak mungkin aku bunuh diri dengan mengatakan telah dipeluk pria lain. Dan memang kenyataannya, itu fitnah. Jebakan yang dibuat Haikal untuk menghancurkan rumah tanggaku dan Aldi. "Ayo, turun." Aldi memberikan perintah. Aku membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat yang baru saja berhenti di depan rumah Mama. Rencana untuk berangkat bekerja, kami urungkan sebentar demi melihat kondisi Papa yang baru pulang dari rumah sakit. Harusnya kemarin sore kami ke sini, tapi karena ada insiden yang tidak mengenakkan, akhirnya sekarang baru bisa datang. "Pagi, Mah, Pah." Tanpa basa-basi dan permisi, kami langsung masuk ke rumah dan menghampiri kedua mertuaku yang tengah sarapan pagi. Mereka sedikit terkejut dengan kedatangan kami yang tidak member
"Apa semuanya baik-baik saja? Maksud saya ... tidak ada masalah selama saya tidak masuk kerja?"Saat ini aku sudah berada di pabrik. Para staf aku kumpulkan untuk rapat ringan hanya sekedar temu kangen setelah beberapa hari aku libur. "Alhamdulillah, tidak ada kendala apa pun, Bu. Semuanya berjalan lancar.""Syukurlah kalau begitu. Sekarang, kalian boleh kembali bekerja," kataku akhirnya. Mereka kembali ke tempatnya masing-masing sesuai pekerjaan yang mereka jalani. Aku pun mulai bergelut dengan beberapa berkas, juga sampel-sampel yang akan dikerjakan bulan ini. Cukup banyak, dan menyita waktu. Setelah beberapa jam duduk di kursi hingga bokongku mulai terasa panas, aku pun memutuskan untuk melihat bagian produksi. Seperti yang dikatakan staf tadi pagi, di sini aman dan tidak ada satu pun pelanggaran yang terjadi. Mungkin mereka sudah tahu aku akan datang memeriksa, atau memang sudah jera karena hukumanku tak main-main. Langsung pecat. "Ibu, maaf di atas ada tamu yang ingin berte
"Geser ke kanan dikit, Mas," kataku mengarahkan. "Nah, iya di situ. Kan ... jadi kelihatan cantik," lanjutku seraya memandang foto pernikahan aku dan Aldi. Satu minggu telah berlalu. Kesibukan mengurusi pekerjaan sejenak kami tinggalkan. Setelah Aldi menyelesaikan pekerjaannya di pabrik sepatu, dia berinisiatif untuk meliburkan diri dan memanjakanku. Bukan dengan liburan ke luar kota atau luar negeri, tapi dengan menemaniku membeli perabotan rumah. Saat ini, aku dan Aldi kedatangan tamu yang sengaja diundang. Kurir salah satu toko mebel yang tadi pagi kami datangi. "Di sini pas, Bu?" tanya si pria berkaus warna merah itu. "Iya, Mas," jawabku. Mataku puas melihat foto pernikahanku yang dipindahkan ke ruang tengah, tepatnya di atas televisi yang menempel di dinding. Sedangkan di ruang tamu, aku hanya memberikan hiasan dinding dengan beberapa lukisan, juga foto-foto kecil kebersamaanku dan Aldi. "Jika tidak ada yang mau dibenahi lagi, kami pamit pulang sekarang, Bu, Pak." Si pri
Satu jam kemudian, rumah sudah bersih dan rapi. Tidak ada satu sampah pun yang ketinggalan di lantai, juga tidak ada debu yang mengotori tempat tinggalku. Sungguh kerjasama yang luar biasa antara para pria dan satu wanita. Iya, hanya Lasmi wanita yang bekerja. Aku dan Alina jadi penonton saja. "Minum dulu, Las." Alina memanggil asisten rumah tangganya itu. Lasmi mengangguk patuh, lalu menghampiri Alina untuk mengambil dua botol air mineral, lalu membaginya dengan Ari. Mataku terus memperhatikan sepasang suami istri itu dengan lekat. Sudah menikah lama, tapi tidak punya keturunan, sama sekali tidak menyurutkan rasa cinta kasih di antara mereka. Keduanya selalu terlihat kompak, mesra dengan versi mereka. Bagaimana jika aku berada di posisi mereka? Sepertinya tidak akan sanggup. Apalagi dengan ekonomi yang biasa saja. Keberuntungan mereka hanya satu menurutku. Karena memiliki majikan yang sangat baik seperti Alina dan Adikara yang sudah menganggap mereka seperti saudara. "Las, jan
"Papa?" Kami berucap bersamaan. Sedangkan pria yang kami sebut terlihat keheranan seraya memindai wajah kami satu per satu. "Kenapa? Kok, wajah kalian tegang kayak gitu? Gak suka, kami datang? Yasudah, kita pulang lagi.""Eh, jangan!" ujar kami serempak. Aku dan Alina menuntun Mama dan Papa untuk masuk ke rumah, sedangkan Aldi dan Adikara menutup pintu kembali setelah mengajak supir Papa untuk masuk. Akan tetapi, ditolak pria muda yang tak lain anak dari Bi Narsih. Dia bekerja menggantikan ayahnya yang memutuskan berhenti karena usia yang tak lagi muda. "Kalian kenapa, sih? Kok, aneh?" Mama bertanya seraya terus melangkah mengikuti tuntunan kami. "Enggak apa-apa, Mah. Tadi itu, kami kira yang datang ... Haikal. Makanya kami siap-siap untuk menyerang," jawabku jujur. "Dasar kalian ini. Mama kira sengaja menyambut kedatangan kami, eh tahunya sedang pasang kuda-kuda."Aku beserta yang lainnya tertawa setelah Mama berucap. Kedua mertuaku itu langsung aku persilahkan duduk di ruang