"Keterlaluan, si Haikal!" Aldi berucap geram. Begitu pun dengan Adikara yang tadi terlihat emosi seraya mengelus kepala Saffa. Gadis kecil itu kini menangis melihat kepergian ayahnya yang tanpa pamit. Dia memeluk kaki ayah sambungnya yang selalu berada di sisinya. "Aruna, Pak Aldi dan semuanya, saya mohon maaf karena tidak bisa menghentikan Mas Haikal. Dia benar-benar harus pergi, ada urusan yang sangat mendesak." Mami Siska terpogoh-pogoh menghampiri kami seraya menangkupkan kedua tangan di dada. Dia meminta maaf atas nama suaminya yang pengecut itu. Jika saja ini bukan rumah Mami Siska, ingin kuhancurkan rasanya. "Urusan apa, sih, sampai dia tidak mau duduk sebentar menemani anaknya?" tanya Adikara dengan wajah merah karena marah. "Dengar, ya Bu, katakan pada suami Anda, jangan lagi menemui Saffa. Mulai saat ini, mulai detik ini, saya memutuskan tali darah antara Saffa dengan dia! Saffa hanya putri saya, Saffa bukan anak Haikal!" Begitu geramnya Adi hingga dia mengucapkan kata
"Nai, kamu kenapa?" tanyaku panik saat hanya suara isak lirih yang terdengar oleh telingaku. Tidak ada jawaban dari wanita itu, hingga rasa khawatir membuatku ingin pergi menemuinya. Ada apa dengan Naima? Dia sakit, terluka, atau dia celaka?Pertanyaan demi pertanyaan datang di benakku dan membuat hatiku semakin tak karuan. "Naima, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanyaku lagi, berharap mendapatkan jawaban. "Ekhem, Run." "Iya, ini aku. Kamu kenapa menangis?" Pertanyaanku masih sama. Kenapa dan ada apa. "Aku sedang nonton drama Korea, Run. Sedih, dia harus pisah dengan pasangannya.""Oh, ya ampun ...." Aku mengembuskan napas lega. "Apa status WhatsApp kamu juga mengenai drama itu?" tanyaku lagi. "Status? Oh, he'em. Emang itu juga ada hubungannya dengan drama yang sedang aku tonton sekarang. Aduh, aku jadi malu, bicara denganmu dengan suara yang seperti ini," ujar Naima dengan diselangi suara ingus yang ditarik ke dalam hidung. Aku sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Tidakkah dia
"Satu minggu lagi aja, Al. Biar waktu persiapan kalian, enggak mepet," tutur Papa saat Aldi menanyakan kapan baiknya kami mengadakan acara syukuran. Aku dan suamiku mengangguk, menerima usulan yang diberikan ayah mertua. Sebagai anak yang sudah tidak punya orang tua selain ayah dan ibunya Aldi, aku hanya bisa menuruti apa yang mereka sarankan. Meskipun, inginku disegerakan. "Baik, Pah. Mungkin kami akan melakukan persiapan dari sekarang. Untung acara pengajian, juga acara santunannya. Sekaligus, mencari bingkisan yang pantas untuk kami berikan kepada yang datang," ujar suamiku kemudian. Tidak lama kami berada di rumah Mama dan Papa. Aku dan Aldi pamit, mengatakan kepada mereka untuk mencari keperluan syukuran. Mama sempat menawarkan diri untuk membantu, tapi ditolak Aldi. Karena tujuan kami sebenarnya, adalah rumah Naima. Setelah itu, baru mencari apa yang kami butuhkan. "Kamu kenapa, sih diam saja?" tanya Aldi setelah kami sudah berada di dalam mobil. Jalanan begitu lengang, ka
"Kenapa selalu pertanyaan itu yang kamu berikan, Run? Apa karena kamu sedang bahagia, hingga menganggap orang lain menderita? Aku baik-baik saja, kok.""Eh, bukan seperti itu, Nai," kataku tidak enak. "Maaf, jika pertanyaanku menyinggung perasaanmu. Aku hanya merindukan kamu, Naima."Aku tidak menyangka jika pertanyaanku akan membuat dia sakit hati. Sungguh, aku tidak percaya Naima akan melontarkan kata yang tidak aku sangkakan keluar dari bibir yang selalu berucap lembut itu. Senyum kembali hadir dari wajah Naima dengan tangan mengusap lenganku. "Aku hanya becanda, Aruna. Ya ampun ... wajahnya sampai tegang gitu."Aku tersenyum sumbang tidak paham dengan Naima. Tadi dia marah, sekarang kembali ramah. Apa tadi dia bilang? Becanda? Menurutku tidak. Tadi seperti ungkapan hatinya yang benar-benar emosi karena ucapanku. Aku menggelengkan kepala pelan menepis pikiran burukku yang selalu sok tahu. Benar kata Naima. Aku tidak boleh menilai orang lain menderita, karena hidupku sekarang te
"Ada tamu rupanya?" Seorang wanita turun dari mobil tersebut dengan menenteng tas mahal di tangannya. Ternyata ibu mertua Naima yang datang. Meskipun hanya bertemu satu kali, aku masih mengingat wajah cantik nan segar itu. "Kami hanya mampir, Bu," kataku seraya mengulurkan tangan menyalaminya. Hal yang sama pun dilakukan Aldi, lalu disusul Naima yang mencium punggung tangan mertuanya itu. "Oh, sudah mau pulang?" tanya ibu mertua Naima. "Iya, Bu. Kalau begitu, kami permisi, ya?" Aku mengangguk ramah. "Nai, kami pulang. Jangan lupa untuk minggu depan, ya?" lanjutku seraya mengusap lengan Naima.Wanita yang tak lain ibu dari Ammar itu langsung masuk ke dalam rumah anaknya setelah berbasa-basi denganku sebentar. Melihat itu, perasaanku kembali tidak enak. Begitukah sikap ibu mertua Naima sebenarnya? Dia bahkan masuk sebelum kami benar-benar pergi. Pada Naima pun dia tidak berucap apa-apa.Bukan aku gila hormat hingga orang lain harus memperlakukanku dengan baik dan sopan. Akan tet
Mendengar ada orang yang mencariku, Aldi bergegas membawaku pulang. Kini pikiranku dipenuhi dengan tanda tanya tentang siapa orang yang datang ke rumah, ingin bertemu denganku. Damar? Rasanya tidak mungkin. Dia divonis hukuman seumur hidup, dan tidak akan bebas dari kurungan penjara. Kecuali, Damar ... kabur. Oh, astaga. Benarkah begitu? Dia mencariku untuk balas dendam? Seketika bulu-bulu di tubuhku meremang membayangkan kemungkinan yang sedang kupikirkan. Namun, secepat kilat kutepis, lalu mencoba tenang dengan menarik napas panjang berulang kali. "Kamu ada janjian sama orang, Run?" tanya Aldi memecah keheningan. "Tidak, Bang. Aku juga tidak tahu siapa yang datang mencariku. Apa satpam tadi tidak bertanya namanya?" "Orang itu tidak mengatakan nama dia. Dia hanya bilang ingin bertemu denganmu. Penting."Jalanan mulai ramai kembali, hingga membuat Aldi harus hati-hati mengendarai mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Kami memang sedang buru-buru, tapi keselamatan nomor sat
"Gue sengaja ke sini buat nemuin, lo."Aku melirik Rossa sebentar, lalu mataku beralih ke arah rumah yang di mana suamiku dan dua sales tadi keluar. Wajah penuh tanya Aldi membuatku merasa tak enak. Sedangkan dua pria yang mengantarkan mobil baru untukku, dia pamit dan pergi menggunakan sepeda motor salah satu dari mereka. Aldi berjalan mendekatiku. Dia menanyakan siapa lelaki bertato di depanku yang masih bergeming tidak melakukan apa-apa. "Dia Alex, Bang. Temannya Damar." Rahang suamiku tiba-tiba mengeras dengan mata menatap tak suka. Bukan rahasia lagi, jika Aldi memang sangat membenci Damar. Dari awal masalah dengan Rindu, sampai denganku waktu itu, Damar menjadi orang yang punya pengaruh buruk bagi hidupnya. "Ada apa ke sini?" tanya Aldi dingin. "Mbak Aruna, Pak Aldi, saya pamit dulu, ya? Nanti main lagi." Rossa langsung pulang. Dia mengerti jika aku sedang kedatangan tamu. Aku mengangguk ramah pada Rossa, kemudian kembali melihat Alex yang mengeluarkan sesuatu dari saku
Damar benar-benar memberikan mobilnya padaku seperti yang dia tulis dalam surat tadi. Buktinya, kunci mobil itu sekarang ada pada Aldi, yang langsung diberikan padaku. "Ini dari Alex?" Aku mengulang pertanyaan. "Iya. Sama nomor telepon dia kayaknya. Sebaiknya jangan disimpan."Aku menoleh ke arah Aldi yang terlihat tidak suka dengan pemberian Alex. Bukan kunci mobil milik Damar, melainkan secarik kertas bertuliskan dua belas angka di sana. "Kenapa jangan disimpan?" Lagi-lagi pertanyaan keluar dari bibir ini. "Menurutmu, apa baik menyimpan nomor pria lain yang tidak terikat hubungan apa pun denganmu? Dia bukan rekan bisnis, jadi tidak usah disimpan. Tidak akan menguntungkan.""Eh, Bang!" Aku hanya bisa bengong saat Aldi mengambil kembali kertas tersebut, lalu membuangnya ke luar jendela mobil. Melihat wajah tak suka Aldi, aku tidak berani membantah. Hanya pasrah, lalu mulai melajukan mobil baru untuk mencobanya. Cemburu. Mungkin karena itu Aldi tidak memperbolehkan aku menyimpan