Berusaha mengusir rasa takut yang masih mendera, Anaby menghembuskan napas panjang. Saat ini, ia masih sehat, belum terkena penyakit TBC. Karena itu, ia tidak boleh menyerah dulu. Ia masih punya waktu untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
Tanpa ragu, Anaby melangkah masuk ke rumahnya. Besok, ia berencana pergi ke toko barang antik, tempat Sandra membeli kalung. Ia akan membeli satu yang serupa, untuk memastikan apakah kalung tersebut penyebab dari alerginya.
Dengan tekad yang bulat, Anaby bergegas ke kamar dan menyimpan benda pemberian Sandra. Kemudian, ia berjalan menuju dapur, mencari sosok Bi Padmi, pembantu setia keluarga mereka. Ia menemukan wanita paruh baya itu sedang sibuk memotong sayuran di dapur.
"Apa menu makan malam hari ini, Bi?" tanya Anaby sembari menggulung lengan bajunya.
Bi Padmi menoleh dengan ekspresi terkejut. "Eh? Non Anaby ada di dapur?" katanya heran. "Saya akan memasak sop iga dan ayam lada hitam untuk Tuan Besar."
Anaby mengernyit. "Ganti menu, Bi. Aku ingin makanan sehat yang baik untuk penderita jantung."
Garis-garis kerutan di dahi Bi Padmi semakin terlihat jelas. Baru sekali ini, ia melihat Anaby peduli dengan menu makanan yang ia buat.
"Kenapa mendadak ingin makanan sehat, Non?"
Pertanyaan dari Bi Padmi, membuat Anaby mengingat tragedi yang dulu terjadi. Malam ini, di kehidupan sebelumnya, sang ayah mengalami serangan jantung setelah mengetahui bahwa ia kawin lari dengan Aslan. Dan keesokan harinya, pertunangannya dengan Michael Rajasa dibatalkan.
Kejadian itu tidak boleh berulang. Meskipun ia batal kabur dari rumah, ia harus memastikan kondisi jantung ayahnya tetap sehat. Bagaimanapun, Anaby bertekad untuk menjaga sang ayah sebaik mungkin.
"Papa sudah tidak muda lagi, dan aku harus memperhatikan asupan makanannya mulai dari sekarang," jawab Anaby mantap.
"Bi, aku mau salmon panggang, salad segar, dan kacang almond. Juga siapkan jus delima dan teh hijau."
Bi Padmi masih menatap Anaby dengan bingung, tetapi ia tidak membantah. "Maaf, Non, tapi saya kurang tahu bagaimana cara memasaknya."
“Itu gampang,” pungkas Anaby. “Aku akan membantu Bi Padmi memasak hari ini.”
Kali ini, Bi Padmi benar-benar dibuat terkejut. Semua orang tahu, bahwa hubungan Anaby dan ayahnya buruk, dan dipenuhi ketegangan. Tidak pernah sekalipun Anaby menunjukkan kepedulian terhadap sang ayah.
Akan tetapi, melihat kesungguhan di mata sang Nona Muda, Bi Padmi lantas mengangguk dan membiarkan Anaby membantunya. Selama dua jam penuh, mereka memasak bersama, dengan dipandu video petunjuk dari media sosial. Selesai menyiapkan hidangan, Anaby tak lupa menyiapkan vitamin khusus untuk penderita jantung di meja makan.
Seperti dugaannya, tepat pukul tujuh, suara ban mobil terdengar berhenti di halaman rumah. Tak berselang lama, ayahnya, ibu tirinya, dan Laura memasuki rumah.
Anaby segera melangkah maju, menyambut mereka bertiga dengan senyum hangat.
"Selamat datang, Pa. Aku sudah menyiapkan makan malam spesial untuk kita semua.”
Tuan Carlos mendadak berhenti di ambang pintu, alisnya terangkat tinggi. Ia menatap putrinya dengan ekspresi heran, seolah tidak percaya dengan yang apa yang baru saja ia dengar.
Di sisi lain, Nyonya Kemala, ibu tiri Anaby, serta Laura saling bertukar pandang. Keduanya tampak terkejut, tetapi ekspresi mereka jelas menunjukkan ketidaksukaan.
"Ada apa ini?" suara dingin Nyonya Kemala memecah kesunyian. "Kenapa mendadak kau bersikap manis, Ana? Apa kau sedang merayu papamu supaya membatalkan perjodohanmu dengan Michael?"
Anaby tidak menjawab. Ia tetap tersenyum, lalu melepas jas sang ayah dan menggandeng tangannya ke ruang makan. Tuan Carlos membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu, meski wajahnya masih menyimpan tanda tanya besar.
"Silakan duduk, Papa," ujar Anaby lembut sambil menarikkan kursi. “Aku sendiri yang memasak semua hidangan ini bersama Bi Padmi.
Saat itu juga, Tuan Carlos semakin curiga. "Apa yang kau rencanakan, Ana?" tanyanya dengan nada tajam. "Ingat, Papa tidak akan membatalkan perjodohan yang sudah diatur oleh mendiang kakekmu."
Untuk sesaat, Nyonya Kemala dan Laura mengira Anaby akan marah seperti biasanya. Kemudian, terjadilah pertengkaran besar antara ayah dan putrinya di meja makan. Namun, di luar dugaan Anaby justru menatap ayahnya dengan sorot penuh ketulusan. Tidak ada tanda-tanda ia akan melawan atau menolak keinginan sang ayah.
"Aku tidak merencanakan apa-apa. Aku hanya ingin menemani Papa makan."
Tuan Carlos menajamkan penglihatannya. Ia menatap putrinya dalam-dalam, seolah mencari kebohongan dalam sorot mata Anaby. Namun, yang ia lihat hanyalah kesungguhan.
Setelah menghela napas panjang, pria paruh baya itu pun duduk dengan tenang. Namun, ekspresi wajahnya tetap menunjukkan keseriusan.
"Kebetulan, Papa ingin bicara dengamu. Besok sekitar jam lima sore, keluarga Rajasa akan datang ke rumah kita,” ucap Tuan Carlos memulai percakapan.
“Ini adalah perkenalan resmi antara dua keluarga. Bersikaplah baik, Ana. Jangan membuat trik yang bisa mencoreng nama keluarga kita."
Di sudut meja, Laura tersenyum sinis dan menambahkan, "Kak Ana, kalau kau sudah punya kekasih, lebih baik berterus terang saja. Dengan begitu, kau tidak perlu menyakiti hati Kak Michael."
Kata-kata Laura penuh dengan kepuasan terselubung. Ia sudah tahu bahwa Anaby menjalin hubungan dengan Aslan, anak dari sopir mereka. Dan jelas, Laura berharap agar pertunangan itu dibatalkan, sehingga ia bisa menggantikan posisi Anaby.
Namun, yang terjadi justru di luar dugaan. Bukannya menyebut nama Aslan, Anaby justru menyangkal ucapan Laura.
"Laura, kau terlalu sok tahu. Siapa bilang aku punya kekasih?" balas Anaby.
Wajah Laura menegang. "Apa maksudmu, Kak?"
Tanpa menghiraukan adik tirinya, Anaby mengalihkan tatapan penuh kasih kepada sang ayah.
"Aku bersedia menemui Michael, Pa. Aku akan berdandan cantik dan mencoba mengenalnya lebih jauh."
Seketika, Nyonya Kemala dan Laura terperanjat. Mata mereka melebar, seolah tidak percaya dengan keputusan yang diambil oleh Anaby. Sejak kapan, gadis itu jadi penurut? Bukankah, seharusnya Anaby bersikukuh membatalkan perjodohan dengan Micahel?
Tuan Carlos juga tak kalah terkejut. Ia mengira putrinya akan menolak mentah-mentah rencana tersebut. Namun, kini ia justru dengan sukarela menerima Michael?
Laura tampak gelisah, lalu mencoba tersenyum kecil. "Kak, kau tidak bercanda, kan?"
"Kenapa aku harus bercanda?” balas Anaby dengan nada santai.
“Sebagai pewaris keluarga Buana, aku harus menjaga nama baik keluarga kita. Lagi pula, Michael adalah calon suami yang tepat untukku.”
Tatapan Tuan Carlos melunak sejenak, tetapi ia tetap mengamati putrinya dengan waspada.
Anaby tetap tersenyum hangat. Kesempatan kedua ini harus dia manfaatkan sebaik-baiknya. Terlebih, Michael berusaha menolongnya di masa depan…..
Sementara itu, Nyonya Kemala dan Laura geram. Mereka tidak menyangka gadis yang biasanya impulsif dan kekanak-kanakan, mampu mengambil keputusan sebesar ini?!
Mobil yang dinaiki Anaby berhenti tepat di depan lobi utama Nova Education Center. Cahaya matahari memantul di kaca-kaca tinggi, yang menghiasi gedung bergengsi tempat berkumpulnya para pemikir dan pendidik di kota Grenada. Begitu mobil benar-benar berhenti, Anaby melirik jam di ponsel sebelum membuka pintu.“Pak Darto, jemput saya saat jam makan siang, pukul dua belas tepat,” titah Anaby, dengan lembut.Pak Darto menoleh dan mengangguk penuh hormat. “Siap, Nona.”Setelah memberikan instruksi, Anaby mengeluarkan ponselnya dan menelepon Darwin—tangan kanan sang ayah yang selalu andal dan tepat waktu. Nada panggil hanya berbunyi dua kali sebelum disambut oleh suara tenang pria itu.“Saya sudah tiba di kantor,” ujar Anaby, sambil memindahkan tas tangan dan tas laptop ke pangkuannya.“Masuk saja Nona, saya menunggu di lobi,” balas Darwin, dengan nada ramah yang khas.“Baik. Saya segera masuk.”Anaby pun merapikan tasnya, lalu mendorong pintu mobil dan melangkah keluar. Angin pagi berembu
Tepat pukul enam, denting alarm ponsel membuat Anaby membuka matanya. Dengan penuh kesadaran, gadis itu bangkit dari ranjang. Meski semalam ia baru memejamkan mata menjelang pukul satu dini hari—pikiran Anaby telah lebih dulu terbang pada agenda yang menanti. Hari ini bukan sembarang hari. Ini adalah titik mula dari sebuah langkah besar yang telah ia siapkan dengan segenap keberanian. Dia akan berdiri sendiri, bukan sebagai putri seorang pengusaha besar, melainkan sebagai wanita yang layak diperhitungkan.Jari-jari Anaby yang ramping lantas menyapu layar untuk mematikan alarm.Namun, pandangannya terhenti saat melihat satu pesan masuk. Hanya satu baris—singkat, tetapi cukup membuat bibirnya melengkung membentuk senyum. Dari Michael.[Aku berangkat. Lakukan janjimu, dan aku akan menepati janjiku, Ana.]Seketika itu juga, garis lembut di bibir Anaby semakin lebar. Ia bisa membayangkan tatapan dingin Michael, tutur tajamnya yang menuntut, tetapi di baliknya ada perhatian dan perlindunga
Di kamarnya, Aslan menuju lemari gantung untuk memilih baju yang akan dia kenakan. Dari deretan gantungan, ia mengambil kemeja katun biru kelam bermotif garis, dipadu celana chino berwarna senada. Ikat pinggang kulit espresso diikat mantap, dan jam tangan perak berlingkar bezel hitam bertengger di pergelangan tangan kirinya. Setelah menyemprotkan parfum, Aslan meneliti wajahnya di cermin oval. Gel rambut tersisir licin, alis tebal yang rapi, dan paras maskulin yang sempurna.Bibirnya membentuk senyum tipis penuh keangkuhan. Andai saja dia berasal dari keluarga terpandang, pasti pesonanya mampu mengalahkan Michael Rajasa. “Suatu hari,” bisiknya, “kau akan menyesal, Ana. Cepat atau lambat, kau pasti kembali.”Sambil membusungkan dada, Aslan menelusuri lorong setapak paviliun menuju garasi. Rumah utama tampak sunyi, hanya diterangi lampu teras yang berpendar lembut. Aslan mendengus kecewa—tak ada sosok Anaby yang ia harapkan mengintip dari tirai jendela, sekadar untuk melihat penampil
Gerbang besi tempa berukir lambang ‘R’ dengan warna keemasan menyambut kedatangan Laura. Di baliknya, jalan setapak granit hitam membelah hamparan taman bergaya Versailles—air mancur, patung nimfa, serta deretan bunga peony yang memanjakan mata.Cahaya lampu taman memantul pada kaca jendela mansion berlantai tiga lantai itu. Kediaman keluarga Rajasa menjulang megah, bagaikan sebuah istana klasik. Laura menelan kagum, kemudian menepikan mobilnya di depan teras bundar. Begitu mesin berhenti, ia menekan nomor Nicole.“Nicole, aku sudah di depan gerbang,” bisiknya gugup—antara takjub dan gelisah.“Masuk saja,” sahut Nicole ringan. “Security sudah tahu kalau kau akan datang.”“Tetap jemput aku, ya? Aku… canggung.”Tawa lembut terdengar di ujung sana, sebelum sambungan terputus. Tak lama, pintu gerbang pun terbuka. Nicole Rajasa—gadis berambut cokelat kemerahan itu muncul, mengenakan gaun linen selutut. Ia berbicara singkat pada petugas keamanan, lalu melambaikan tangan kepada Laura.Begi
Di kamarnya yang hening, Anaby melepaskan gaunnya dan menuju kamar mandi. Ia menuangkan sabun aromaterapi ke dalam bathtub, membiarkan busa halus memenuhi permukaan air hangat. Begitu tubuhnya tenggelam di dalam air, rasa penat mulai terangkat sedikit demi sedikit.Namun, satu bayangan malah menyusup pelan. Wajah Laura, senyum licik gadis itu dan tatapan genitnya yang tertuju pada Michael. Entah mengapa ia malah memikirkan adegan Laura yang sedang merayu Michael, ketimbang persaingannya melawan Aslan.Anaby membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit kamar mandi. Air di sekelilingnya sudah mulai mendingin. Malam ini ia tidak boleh memikirkan hal lain selain bekerja. Metode Sigma yang ia susun membutuhkan fokus tinggi, dan ia masih harus mempelajari seluruh catatan rapat.Dengan uap lembut yang masih mengambang di kulitnya, Anaby akhirnya meninggalkan kamar mandi. Bathrobe berwarna ivory membungkus tubuhnya, mengungkung aroma ylang-ylang yang menempel sesudah berendam cukup lama.
Meski enggan, Anaby terpaksa menerima setangkai mawar merah yang telah disiapkan Aslan sejak awal. Jemarinya menyentuh batang bunga itu dengan dingin, tanpa getaran rasa. Ia tidak ingin memilikinya, tidak ingin menandai pertemuan ini sebagai sesuatu yang manis. Hanya saja, menolak pemberian Aslan secara terang-terangan hanya akan memperkeruh keadaan.Aslan tersenyum samar. “Kumohon, jangan marah padaku lagi, Sayang.”"Aku tidak marah, Aslan," tukas Anaby, mencoba meredam kejengkelan yang perlahan naik ke permukaan. "Kalau aku marah, aku tidak akan bicara denganmu saat ini."“Tapi, kau selalu menjauh dariku. Menghindari semua kesempatan yang bisa membuat kita berduaan," lanjut Aslan, dengan suara lembut.Anaby menghembuskan napas kasar. Mungkin ini saatnya ia bicara dangan tegas. Tidak dengan kemarahan, melainkan dengan kejelasan. Ia tidak boleh terus menunda dan membiarkan harapan Aslan tumbuh dari akar-akar pahit yang sudah patah.“Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita seperti du
Anaby menunduk, menatap ponsel yang masih berada di genggaman. Pikirannya belum lepas dari nama “Matrix” dan segala kemungkinan yang bisa muncul darinya. “Nanti saja aku memikirkannya, setelah metode Sigma selesai,” bisiknya dalam hati. Ada yang lebih mendesak saat ini. Rancangan metode Sigma yang ia kembangkan untuk menandingi Aslan belum rampung, dan esok pagi ia harus menghadiri rapat penting bersama dewan direksi. Fokusnya harus tetap terarah. Tentang Angelo dan Prof. Hansel—itu bisa ia pikirkan setelah rapat selesai.Mobil pun terus melaju hingga memasuki halaman rumah. Ketika roda berhenti dan Pak Darto membuka pintu, sosok Laura sudah lebih dulu berdiri dari kursi rotan di teras. Dengan dandanan yang berlebihan untuk ukuran sore hari, adik tirinya itu melangkah dengan gaya terburu-buru, seolah hendak membantu.“Aku baru akan ke rumah sakit menjenguk Papa. Ternyata Papa sudah pulang,” tutur Laura dengan senyum manis. ““Kenapa tidak ada yang mengabari kami?”Pandangan mata ga
“Maaf, saya sendiri tidak tahu siapa yang membayarnya,” jawab sang perawat.“Pihak keuangan hanya memberi tahu bahwa semua tagihan telah dibayar lunas. Bila ingin menanyakan lebih lanjut, bisa langsung ke bagian administrasi.”Lekas saja Anaby mengangkat tangan sedikit, menolak dengan halus.“Tidak perlu. Terima kasih banyak atas bantuannya.”Perawat itu tersenyum hangat, lalu melangkah mendekati sisi ranjang Tuan Carlo. Dengan gerakan terampil, ia mulai melepas selang infus yang masih menancap di tangan pria paruh baya itu. Sensor nadi di jari, selang oksigen di hidung, serta elektroda pemantau di dada Tuan Carlo juga dicabut satu per satu. Terakhir, sang perawat membersihkan bekas perekat dengan kapas alkohol dan menutup bekas tusukan dengan plester kecil.“Sudah selesai, Tuan,” ujar sang perawat sambil menata alat-alat medis itu ke dalam nampan kecil.”Jangan lupa minum obat sesuai jadwal. Sebentar lagi kursi roda akan diantar.”Pak Damian yang sejak tadi hanya mengamati dari sisi
Sambil duduk di kursi di samping tempat tidur ayahnya, Anaby menggenggam ponsel dengan kedua tangan. Tubuhnya bersandar, tetapi pikirannya melayang ke detail rencana yang harus ia wujudkan dalam waktu yang sempit.Anaby menatap layar beberapa lama. Ia tahu benar betapa padatnya jadwal Bu Julia, dosen pembimbing semasa kuliahnya yang kini menjadi Kepala Departemen Matematika. Menelepon secara langsung mungkin bukan keputusan bijak. Maka, ia memilih untuk mengetikkan pesan saja.Kalimat demi kalimat disusun oleh Anaby dengan ketelitian, seperti ia sedang menulis surat penting di halaman pertama hidupnya.[Selamat sore, Bu Julia, saya Anaby Buana. Semoga Ibu dalam keadaan sehat dan bahagia. Maaf mengganggu waktunya][Saat ini perusahaan saya, Nova Education, akan meluncurkan program pembelajaran matematika terbaru untuk siswa SMU. Saya ingin sekali melibatkan Prof. Hansel dalam penyempurnaan metode ini. Jika Ibu mengetahui kontak atau keberadaan Beliau, saya akan sangat berterima kasih b