Begitu keluar dari rumah, tatapan Anaby langsung tertuju pada sosok yang tengah bersandar di pintu taksi.
Aslan.
Lelaki itu tersenyum lembut padanya. Senyuman yang dulu mampu membuat ia lupa segalanya, yang dulu menjeratnya dalam pesona palsu. Namun, sekarang ia hanya melihat kedok manusia licik yang hatinya dipenuhi oleh kebusukan.
Dengan langkah lebar, Aslan berjalan menghampiri Anaby. Tangan lelaki itu terulur, seolah ingin menggenggam erat tangan sang kekasih.
“Sayang, kau sudah siap pergi bersamaku?”
Anaby hanya berdiri diam, menatap Aslan dengan pandangan sinis yang tersembunyi di balik ekspresi datarnya. Ingatan itu muncul sekelebat—saat Aslan dengan sengaja membuang obatnya, menguncinya di dalam rumah, dan membiarkannya mati dalam penderitaan.
Napas Anaby memburu, amarah menggelegak di dadanya. Meski begitu, ia harus menahan diri. Aslan yang sekarang tidak boleh tahu bahwa ia adalah Anaby dari masa depan.
Maka, Anaby berusaha menenangkan diri, memasang senyum manis yang cukup meyakinkan. Ia menggeleng perlahan, lalu melirik ke arah Sandra yang berdiri di belakangnya.
“Aku berubah pikiran Aslan. Aku tidak mau kabur dari rumah,” tolaknya dengan suara lembut, seakan itu adalah keputusan yang baru saja dibuatnya.
Aslan mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut. Rahang lelaki itu menegang, seolah berusaha menahan emosi yang mulai mendidih di dalam dadanya. Matanya yang sehitam jelaga menyorotkan sesuatu yang sulit ditebak.
Ada kilatan kecewa yang sekilas melintas, tetapi dengan cepat lelaki itu menyembunyikannya. Aslan memang selalu pandai mengendalikan ekspresi, sama seperti dulu, sama seperti di kehidupan Anaby sebelumnya.
“Kenapa? Kita sudah sepakat, Ana. Kita harus pergi sekarang sebelum keluargamu kembali.”
Tak ingin Aslan mencurigainya, Anaby melanjutkan dengan nada pelan, penuh keyakinan.
“Maaf, Aslan, tapi aku menyadari satu hal. Menikah tanpa restu orang tua hanya akan membawa malapetaka.”
Anaby menarik napas, seolah butuh keberanian lebih untuk mengatakannya. “Jika kau benar-benar mencintaiku, maka kita harus melakukannya dengan cara yang benar. Kita tunggu ayah dan ibu tiriku pulang, lalu kita temui mereka bersama-sama. Kau bisa melamarku secara resmi di hadapan mereka.”
Setelah berkata demikian, Anaby menunggu reaksi Aslan dengan jantung yang berdebar. Ia menahan napas, bertaruh apakah lelaki itu akan berani menerima tantangannya.
Namun, Aslan tak langsung memberi jawaban. Matanya justru sedikit menyipit, seakan mencoba membaca pikiran Anaby.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan,” kata Aslan akhirnya. “Aku hanya ingin kau bahagia, Ana. Tapi untuk melamarmu hari ini, aku belum siap. Aku harus bekerja lebih keras lagi, dan menunjukkan pada Tuan Carlo bahwa aku layak untukmu.”
Anaby mengangguk, walaupun di dalam hatinya, gadis itu mengejek. Aslan tidak siap? Omong kosong!
Lelaki itu hanya takut kehilangan kesempatan emasnya. Pernikahan mereka bukan tentang cinta, melainkan tentang balas dendam dan harta. Dan sekarang, Anaby telah membalikkan permainan.
Berusaha meredam rasa kecewa, Aslan membayar sejumlah uang kepada sopir taksi sebelum menyuruhnya pergi. Setelah itu, ia kembali ke paviliun di halaman belakang, tempat ia tinggal sebagai anak dari sopir keluarga Anaby. Langkah kaki Aslan terlihat gontai, seakan seluruh semangatnya telah padam.
Anaby membiarkan lelaki itu pergi meninggalkannya, tanpa berkata apa-apa. Begitu Aslan menghilang, Sandra langsung berlari dan meraih tangan Anaby.
“Ana, apa kau tidak kasihan pada Aslan?” tanya Sandra, suaranya penuh ketidakpercayaan. “Kau bilang tidak bisa hidup tanpa Aslan, tapi kau membuat dia patah hati. Aslan sudah merencanakan ini selama satu bulan penuh!”
Senyum sinis hampir saja muncul di bibir Anaby. Akan tetapi, ia mengubahnya dalam sekejap menjadi senyum yang penuh makna.
“Kalau kau merasa kasihan pada Aslan, kenapa bukan kau saja yang pergi bersamanya?”
Mata Sandra langsung terbelalak. Wajahnya yang semula penuh emosi mendadak berubah panik, dan ia tergagap.
“A-apa maksudmu?”
Anaby terkekeh kecil, lalu menepuk pundak Sandra dengan gerakan santai.
“Jangan terlalu tegang, aku hanya bercanda. Sepertinya, kau lebih memperhatikan Aslan daripada aku.”
Sandra buru-buru menggeleng. “Jangan salah paham, Ana. Aku hanya tidak tega melihat Aslan.”
“Aku tahu. Ayo, kita masuk, di sini anginnya terlalu kencang," ajak Anaby dengan ekspresi ceria.
Diam-diam, Anaby mengamati gerak-gerik Sandra. Seingatnya, di kehidupan sebelumnya, tepat sebelum ia masuk ke dalam taksi, Sandra memberinya sebuah kalung sebagai tanda keberuntungan. Kalung itu, yang menurut Sandra dibeli dari toko barang antik, justru membawa bencana.
Kulit Anaby mengalami alergi hebat setelah mengenakannya, dan malam pengantinnya bersama Aslan terpaksa harus ditunda. Saat itu, Anaby menganggapnya sebagai suatu kebetulan. Namun sekarang, ia curiga bahwa kalung itu merupakan bagian dari rencana busuk yang disusun oleh Sandra dan Aslan.
Hanya saja, ada yang berbeda pada peristiwa kali ini. Anaby tidak jadi kabur, jadi apakah Sandra masih akan memberinya kalung itu?
Tak disangka, Sandra tidak mau mengikuti langkah Anaby. Gadis itu justru melirik jam tangannya, lalu tersenyum penuh penyesalan.
“Maaf, Ana aku harus pulang sekarang. Papaku butuh bantuan untuk membumbui ayam goreng yang akan dijual malam ini.”
Kepala Anaby mengangguk pelan, tetapi matanya tetap memperhatikan perilaku Sandra. Sahabatnya itu nampak merogoh saku tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu yang terbungkus kain beludru kecil.
“Oh, aku hampir lupa.” Sandra membuka kain itu, memperlihatkan sebuah kalung dengan liontin kecil berbentuk bulan sabit, terbuat dari perak dengan ukiran halus di tengahnya.
“Aku menabung selama tiga bulan untuk membelinya, Ana. Aku ingin memberikan padamu sebagai hadiah pernikahan, karena kalung ini membawa keberuntungan.”
Anaby menatap kalung itu tanpa menyentuhnya. Jantungnya mendadak berdegup lebih cepat. Jikalau Sandra tetap memberinya sebuah kalung, apakah ini berarti nasibnya tidak bisa diubah?
Apakah ia akan tetap menikah dengan Aslan? Dan mungkinkah, akhir kehidupannya yang tragis tidak bisa dihindari?
Tidak. Ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Seberat apa pun risikonya, ia akan berjuang untuk mengubah masa depan sekaligus menghukum Aslan dan Sandra.
“Terima kasih. Aku sangat menghargainya,” ujar Anaby, terpaksa menerima kalung itu.
Sandra tersenyum puas. “Aku senang kau suka. Pakailah selalu, Ana. Besok pagi, aku akan meneleponmu."
Setelah Sandra beranjak pergi, Anaby menyimpan kalung itu di saku celananya. Pikirannya dipenuhi berbagai spekulasi.
Jika di kehidupan sebelumnya kalung ini menyebabkan alergi hebat, mungkinkah ada zat berbahaya atau racun yang terkandung di dalamnya? Ya, bisa jadi Sandra telah melumuri liontin kalung itu dengan ramuan tertentu. Benar atau tidaknya, ia harus segera melakukan penyelidikan sendiri.
Anaby meletakkan garpu perlahan, kemudian menatap gelas di hadapannya dengan penuh tanda tanga. Hanya seperempat sari buah itu yang sempat diteguknya, dan sisanya masih tersisa dalam semburat merah muda.Ada rasa getir yang tertinggal di lidah, halus tetapi menusuk. Ia tak yakin apa yang membuat sari buah itu terasa berbeda, tetapi sesuatu di tenggorokannya terasa tak nyaman—kering dan sedikit menggelitik seperti habis tertelan debu halus.Merasa haus, Anaby berjalan menuju sudut buffet yang memajang aneka pilihan minuman. Gelas-gelas bening berisi air mineral berkilauan di bawah lampu gantung, berdampingan dengan pitcher berisi infused water, teh lemon, serta jus semangka segar yang menggoda.Anaby mengambil satu gelas jus semangka dan meneguknya dalam sekali hentakan. Dingin menyentuh kerongkongannya, menyapu kering yang mendera sejak tadi. Namun, belum sempat Anaby menghela napas, sebuah tangan halus menyentuh lengan kirinya. "Ada apa, Ana?" tanya Sandra dengan nada khawatir. Gadi
Tak lama setelah itu, Sandra kembali dengan membawa dua gelas minuman. Wajahnya menyimpan senyum manis, tetapi gerakan matanya mengintai waktu yang tepat.Gadis itu melangkah ke arah meja kehormatan dan mengangkat satu gelas, bersiap menyerahkannya kepada Anaby.Namun, pada saat yang bersamaan, Nyonya Ayudya muncul dari arah depan. Langkahnya mantap dan elegan, menyusup di antara para pelayan yang berlalu-lalang membawa nampan perak.Alhasil, sebelum Anaby sempat menerima gelas itu, Sandra menarik kembali tangannya, cepat dan nyaris tidak kentara.“Anaby, kau sungguh mirip ibumu,” ucap Nyonya Ayudya, dengan sorot mata penuh kenangan. “Tiana adalah teman dekatku semasa kuliah. Kami banyak melewati waktu bersama, tapi aku kemudian harus pindah ke luar negeri. Ketika aku pulang...kabar duka itu datang lebih dulu. Aku sangat sedih.”Anaby tersenyum tipis, meski matanya menunjukkan cahaya redup yang menandakan luka di hatinya belum sirna. “Terima kasih, Nyonya Ayudya. Mama saya tidak ban
Antrian di hadapan Anaby menyusut perlahan. Kini hanya tersisa empat tamu lagi sebelum gilirannya menyampaikan ucapan selamat. Kilauan lampu di langit-langit ballroom menyelimuti wajah-wajah yang berlalu-lalang, sementara denting gelas dan irama biola mengalun tenang mengiringi percakapan para tamu.Tepat ketika Anaby mengalihkan pandangan dari keramaian, langkah ringan menghampiri dari samping.“Maaf, aku agak lama,” kata Sandra, dengan senyum yang dibuat manis.Anaby menoleh, bibirnya melengkung kecil. “Tidak masalah, aku juga masih menunggu giliran."Mereka pun berdiri bersebelahan dan tak lama kemudian, giliran Anaby tiba. Ia maju dengan langkah anggun ke hadapan Tuan Dewangga dan Nyonya Ayudya.Wajah pasangan paruh baya itu memancarkan keteduhan sekaligus keteguhan. Rambut perak mereka disisir rapi, dan sorot mata keduanya menyimpan ribuan cerita yang telah dilewati bersama.Anaby membungkukkan tubuh sedikit sebagai tanda penghormatan, sebelum mengulurkan tangannya.“Tuan Dewang
"Chloe, kalau Sandra sudah datang, bilang saja aku belum selesai dirias dan tidak bisa ditemui,” pungkas Anaby.Chloe yang berdiri tak jauh darinya mengangkat alis, sedikit terkejut dengan permintaan Anaby. Namun, ia tidak berkomentar sama sekali."Dan, bawa Sandra ke ruang rias biasa. Jangan ke ruang eksklusif.”Chloe mengangguk mengerti. "Kalau begitu, tunggu saja di sini, Ana. Nanti, salah satu karyawanku akan mengantar teh chamomile untukmu.”"Terima kasih," balas Anaby pelan.Setelah Chloe berlalu, Anaby duduk di sofa empuk berwarna hijau. Tangannya meraih ponsel dari dalam clutch mungilnya. Anaby teringat pesan dari Michael semalam, agar dirinya memberitahu jika hendak berangkat ke pesta.Tanpa banyak ragu, ia mengangkat ponsel dan mengarahkan kamera ke wajahnya. Anaby mengambil sejumlah foto dari berbagai sudut—depan, tiga perempat kanan, lalu dari samping kiri. Setelah menyeleksi dua yang terbaik, gadis itu mengirimkan ke nomor Michael sembari mengetikkan pesan singkat.[Seki
Usai bicara dengan sang ayah, Anaby kembali ke kamarnya dan meraih salah satu gaun malam dari bahan sutra biru tua. Ia membawa gaun itu dengan hati-hati menuju ke halaman rumah.Tangannya terulur pada Pak Darto yang sigap membukakan pintu mobil.“Pak, tolong antar saya ke kantor.”“Baik, Nona,” jawab sang sopir sambil membuka pintu belakang untuk Anaby.Perjalanan menuju kantor berlangsung lancar.Setibanya di gedung Nova Education, Anaby bergegas menuju lift eksekutif. Di depan pintu, ia bertemu Tuan Indra, salah satu anggota dewan direksi yang memancarkan kewibawaan khas petinggi korporat.“Selamat pagi, Ana,” sapa Tuan Indra seraya melangkah bersamanya ke dalam lift.“Pagi, Paman Indra,” balas Anaby ramah.Lift melaju naik dengan keheningan yang hanya diisi oleh suara mekanis halus. Tuan Indra menoleh kepadanya.“Bagaimana kondisi papamu?”“Masih harus banyak beristirahat. Kami belum tahu kapan Papa bisa kembali ke kantor,” ujar Anaby.Tuan Indra mengangguk pelan, tatapannya tak le
Pukul tujuh pagi, Anaby sudah tampil rapi dalam balutan blus merah berkerah tinggi dan rok pensil. Wajahnya hanya dipoles tipis—tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia bersiap menjalani hari yang panjang. Kantor menantinya, lalu salon, dan malamnya pesta mewah di hotel Aurora.Anaby melangkah menyusuri lorong rumah yang sepi, sebelum tiba di ruang makan. Namun, harapan akan sarapan tenang segera pupus, saat tatapannya bertaut pada dua wanita yang duduk di meja.Nyonya Kemala dan Laura telah lebih dulu mengambil alih ruangan, dengan obrolan yang memerahkan telinga. Lembar-lembar sketsa tergelar di atas meja. Laura tengah membanggakan sesuatu.“Lihat ini, Mama,” katanya ceria sambil menunjukkan kertas desain bergambar gaun mewah.“Tante Safira bilang desainku sangat elegan dan berkarakter. Hari ini mulai dijahit oleh Almaretta, penjahit terbaik di Grenada.”Nyonya Kemala mengangguk dengan wajah sumringah, matanya menelusuri gambar gaun itu seolah sedang menilai mahakarya.“Ah, kau meman