Para pelayan kafe mendadak bergerak dengan ketangkasan tinggi, nyaris seperti gerakan koreografi yang telah mereka latih berulang kali. Langkah mereka menjadi lebih sigap, ekspresi wajah mereka berubah menjadi lebih hormat.
Tanpa satu perintah pun, mereka mulai menyatukan beberapa meja yang awalnya terpisah, menyusun ulang kursi, serta meletakkan vas kecil berisi bunga hydrangea segar. Semua dilakukan dengan cekatan, seakan mereka sedang menyambut kedatangan para bangsawan dari kerajaan yang jauh.
Di antara kesibukan itu, Anaby masih duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, wajahnya nyaris tertutup seluruhnya oleh buku menu. Hanya sebagian kecil dari matanya yang berani mengintip ke arah Michael.
Namun, saat Anaby melakukan itu, tatapan mereka bersinggungan. Matanya tak sengaja bertemu dengan sepasang mata biru yang terasa begitu jauh, sekaligus begitu dekat dengan kenangan yang ia simpan.
Dengan tergesa, Anaby kembali menutup wajahnya dengan buku menu. Jantungnya bertalu tak menentu, pipinya memanas, seolah sorotan mata Michael telah menelanjangi jiwanya. Sungguh, ia tak mengira kalau pria itu akan menatap ke arahnya di waktu yang bersamaan.
"Tidak, Ana. Dia tidak mungkin mengenalimu. Pertemuan resmi baru nanti malam," bisik Anaby dalam hati, begitu pelan seperti doa yang dikirimkan ke langit.
Tak lama kemudian, seorang pelayan perempuan datang membawa nampan yang berisi pesanan Anaby.
"Pesanan Anda, Nona," ucap pelayan itu sopan.
Terpaksa, gadis itu menurunkan buku menu dan mengangguk pelan. Bibir Anaby menarik seulas senyuman yang kaku sebagai ucapan terima kasih. Ia tak berani mengangkat kepala terlalu tinggi, agar tidak menarik perhatian para pria di seberang sana.
Tangan Anaby gemetar ringan saat menggulung spaghetti dengan garpu. Meski ia mencoba menenangkan diri, spaghetti itu terasa seperti tali-tali panjang yang ingin melilit tenggorokannya sendiri. Setiap suapan telah menjadi beban, sehingga ia harus menyeruput jus jeruk berulang kali.
Meski begitu, rasa penasaran tetap saja menguasai Anaby. Perlahan, ia mencuri pandang ke arah meja yang kini dipenuhi para eksekutif muda.
Michael tampak berbicara serius dengan dua orang bersetelan jas hitam. Pembawaannya begitu dewasa dengan aura kharismatik yang mendominasi. Suara pria itu tak terdengar tetapi raut wajahnya menunjukkan fokus yang tinggi, sementara jemarinya yang panjang bergerak-gerak seiring ucapannya.
Dugaannya benar — Michael tidak mengenalinya. Terbukti, pria itu terlalu tenggelam dalam percakapan penting, seolah keberadaan Anaby hanyalah angin lalu.
Merasa sedikit lega, Anaby bergegas melanjutkan makannya, memaksakan diri menghabiskan spaghetti dengan cepat. Ia bahkan ingin menuntaskan potongan brownies yang tersisa, hanya demi bisa meninggalkan kafe, sebelum sesuatu yang tak diinginkan terjadi.
Namun, harapan itu musnah saat ponselnya tiba-tiba berdering. Suara getaran di atas meja terdengar nyaring di telinganya yang penuh waspada.
Anaby menatap layar ponselnya. Nama yang tertera di sana membuat darahnya seolah berhenti mengalir sejenak.
Aslan.
Jari-jari Anaby mengepal. Rasanya seluruh kenikmatan makanan barusan sirna dalam sekejap.
Dengan kalut, ia berusaha mengabaikan panggilan tersebut. Tangannya bergetar saat menyentuh tombol untuk membisukan panggilan.
Namun, dering itu tak kunjung berhenti. Aslan menelepon lagi. Dan lagi.
"Berhenti… berhenti meneleponku…," gumam Anaby, menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Akhirnya, dengan napas yang tertahan, Anaby menekan tombol merah. Kali ini, ia menolak panggilan dengan tegas.
Belum sempat Anaby menenangkan diri, sebuah notifikasi pesan masuk.
[Aku sudah hampir sampai di kafe Eternity, Sayang. Kamu duduk di meja mana?]
Anaby membacanya dengan mata yang membesar. Panik menguasai tubuhnya.
Ia menatap sekeliling, berusaha mencari jalan keluar darurat walau semuanya terasa jauh dan sempit.
Lalu, seperti kilatan memori yang menampar, Anaby teringat sesuatu.
Aplikasi pelacak lokasi.
Ya, Aslan pernah memasang aplikasi itu diam-diam di ponselnya saat hubungan mereka masih harmonis. Kala itu, Aslan beralasan hanya ingin memastikan keselamatan Anaby, tetapi itu hanyalah dalih untuk mengontrol setiap geraknya. Dan di masa sekarang, ia lupa menghapus aplikasi itu.
Anaby menggertakkan gigi. Akibat kelalaiannya, Aslan sedang menuju tempat yang sama, tempat di mana Michael juga berada.
Dilanda kecemasan, Anaby menatap pintu kafe yang sebentar lagi akan terbuka oleh sosok yang ingin ia hindari.
Tidak! Bila Aslan sampai muncul di hadapan Michael, pria itu bisa menghancurkan semua rencana yang ia susun.
"Aku harus mencegah Aslan masuk," desis Anaby dengan suara tercekat.
Tanpa berpikir dua kali, gadis itu mengetik cepat pada layar ponselnya.
[Aku sudah selesai makan, tunggu saja di luar. Tidak usah masuk ke kafe.]
Anaby berharap pesan itu terkirim lebih dulu daripada langkah Aslan yang mungkin saja sudah tiba di pintu kafe.
Tak menunggu balasan, Anaby segera bangkit dari kursinya, menyambar tas, dan melangkah menuju kasir. Detik-detik yang genting membuat jantungnya berdegup keras, layaknya genderang perang yang dipukul tanpa irama.
Di kasir, seorang wanita muda menyambutnya dengan senyum ramah. Sebelum wanita itu sempat mengucap jumlah tagihan, Anaby telah menyodorkan lima lembar uang kertas di atas meja kasir.
"Saya tidak butuh nota. Ambil saja kembaliannya untuk kalian," tukas Anaby, suaranya terdengar parau.
Kasir itu tampak kebingungan, bibirnya sempat terbuka untuk bertanya. Namun, Anaby telah membalikkan badan dan melangkah terburu-buru, seolah kafe itu akan runtuh dalam sekejap.
Sebelum menuju pintu, Anaby harus melewati meja tempat Michael dan para koleganya duduk bersama. Anaby mencoba menunduk, berharap langkahnya tak bersuara dan keberadaannya tak terdeteksi.
Sayangnya, takdir malah menggiringnya pada insiden kecil yang berubah menjadi bencana.
Tanpa sengaja, bahu Anaby menyenggol seorang pelayan yang sedang membawa nampan berisi lima gelas minuman. Sontak, nampan itu oleng.
Gelas-gelas jatuh menghantam lantai, memercikkan isi minuman ke segala arah. Satu di antaranya—jus anggur—mengenai baju Anaby, meninggalkan noda ungu yang mencolok.
"M-maaf," ucap Anaby spontan.
Pelayan itu mematung sejenak, wajahnya pucat, seperti baru saja melihat penampakan hantu. Lalu, ia berlari mendekati Michael dan membungkuk panik.
"Ma-maafkan saya, Tuan! Minuman untuk Anda dan tamu lainnya tumpah karena tabrakan dengan... Nona itu!" tunjuknya ke arah Anaby, yang kini berdiri di tengah kafe dengan wajah merah padam.
"Kamu?"
Seluruh pasang mata langsung tertuju pada Anaby. Para pria di meja eksekutif memandang dengan tatapan penuh tanya, sementara manajer kafe terburu-buru datang menghampiri Michael dengan peluh membasahi pelipis."Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan. Kami akan segera menggantinya dengan minuman yang baru. Kami juga akan mendiskusikan kompensasi atas ketidaknyamanan ini," ujar sang manajer dengan wajah tegang.Namun, Michael berdiri dengan tenang. Gerakannya penuh kewibawaan, sehingga mampu membungkam seluruh kegaduhan. Para pelayan terdiam, manajer tertegun, dan bahkan suara denting sendok di kafe lenyap."Tidak perlu memperpanjang masalah kecil," ucap Michael, suaranya baritonnya seperti simfoni malam yang menggetarkan. "Ambilkan saja minuman baru. Dan minuman yang tumpah, akan tetap saya bayar."Detik selanjutnya, pria itu menghampiri Anaby hingga membuat orang-orang di sekitarnya menjadi heran.Napas Anaby tercekat, tubuhnya nyaris tak mampu bergerak saat melihat Michael kini berdiri be
Dari balik spion, pandangan Aslan menangkap gerak-gerik Anaby dengan seksama. Nampaknya, Aslan mulai mencurigai sikap Anaby yang tidak seperti biasanya. Menyadari hal itu, Anaby buru-buru memasukkan saputangan yang dipinjamkan Michael ke dalam tas tangan, lalu mengeluarkan tisu sebagai gantinya. Gadis itu mengusap keningnya yang lembap oleh ketegangan, sementara matanya melirik sesekali ke arah kaca spion."Maaf, Sayang, mobilku tidak senyaman mobil yang biasa kau pakai,” ucap Aslan tersenyum hambar“Untuk sekarang, aku hanya mampu membeli mobil bekas. Tapi, suatu hari nanti, kalau kita menikah... aku berjanji akan membeli mobil baru yang lebih bagus, supaya kau bisa jalan-jalan dengan nyaman."Anaby menarik napas dalam-dalam, dadanya bergemuruh dengan perasaan yang sulit diuraikan. Bibirnya melengkungkan senyum tipis, walau dalam hatinya ia berdecih getir. Kenangan tentang masa lalu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Anaby teringat akan sepuluh tahun yang telah ia jalani bersama Asla
Anaby mengalihkan pandangannya ke danau kecil di depan mereka. Menolak permohonan Aslan secara terang-terangan dalam kondisi seperti sekarang, tidaklah memungkinkan. Terutama, ketika pria itu memandangnya dengan tatapan penuh harap.“Ana,” lirih Aslan, suaranya serak menahan rasa, “Aku tidak akan menyerah. Suatu hari, aku pasti bisa berdiri sejajar denganmu, tapi aku butuh bantuanmu, Sayang.”Demi meluluhkan hati Anaby, Aslan menggeser posisi duduknya hingga tubuh mereka hampir menempel. “Kau satu-satunya orang yang paling memahami caraku berpikir. Tolong, lihat lagi metodeku. Koreksi, sempurnakan, dan tambahkan apa pun yang kamu anggap perlu. Ini bukan hanya soal program, melainkan penentu dari masa depan kita.”Alih-alih merasa tersentuh, Anaby justru ingin mendorong Aslan supaya terjatuh dari bangku taman. Ia tahu benar bahwa pria itu sedang memainkan kartu lamanya: menjual harapan, membungkusnya dengan kerinduan dan romansa yang memilukan. “Kirimkan saja ke surelku. Aku akan mem
Dengan cepat, Laura menarik tangan Nyonya Kemala, mengajaknya menuju mobil yang telah menunggu di halaman. Mereka melangkah seperti sepasang sekutu dalam perang, yang siap menyusun strategi untuk menyerang musuh. Tanpa membuang waktu, Laura memerintahkan sopirnya untuk menjalankan mobil. Begitu kendaraan beroda empat itu melaju di jalan utama, ia mengeluarkan ponsel dan menekan nama di kontaknya.Aslan. Sesaat, Laura menarik napas panjang. Membiarkan detak jantungnya menyesuaikan dengan skenario yang telah ia susun di dalam benaknya. Nada sambung pun terdengar. Tak lama kemudian, terdengar suara berat khas lelaki muda dari seberang.“Halo, siapa ini?” sapa Aslan, terdengar waspada.Laura membenarkan posisi duduknya. Suaranya dibuat serendah mungkin, layaknya seseorang yang sedang menahan air mata.“Aslan... ini aku, Laura,” ucapnya pelan, “maaf kalau aku menelepon tiba-tiba, tapi aku tergerak untuk menolongmu. Aku hanya ingin memberimu... sebuah kesempatan terakhir.Ada keheningan s
Ingatan pahit datang perlahan di benak Anaby, membawa dirinya pada lorong waktu yang telah lama tertutup.Dulu, di hari yang sama, ayahnya harus dilarikan ke rumah sakit akibat kesalahan yang ia perbuat. Sambil berurai air mata, Anaby menggenggam tangan sang ayah yang terbaring tak berdaya. Rasa penyesalan pun tak henti menerpa dirinya, kala sang ayah menghembuskan nafas terakhir.Tak lama setelah sang ayah meninggal dunia, ia menerima undangan pertunangan baru. Bukan untuk dirinya, melainkan antara Michael dan Laura. Ibu tirinya yang memberikannya dengan senyum setengah mengejek. Anaby menolak datang, dan memilih untuk tetap berada di rumah bersama Aslan. Dan setelah itu, ia mendengar kabar bahwa Michael, Laura, dan Nyonya Kemala pindah ke luar negeri. Anehnya, ia tak pernah mendengar kabar pernikahan mereka. Tak ada undangan. Tak ada foto. Bahkan tidak satu pun berita di media.“Mungkinkah Michael dan Laura tidak pernah menikah? Tapi, kenapa?” guman Anaby penasaran.Pertanyaan itu
Anaby nyaris melangkahkan kaki keluar kamar, tetapi suara deru mobil lain menyusul masuk ke halaman depan rumah. Ia tak perlu menengok untuk tahu siapa yang datang—Nyonya Kemala dan Laura. Kedua perempuan itu seperti bayangan kelam yang terus membayangi hidupnya. Desahan kecil lolos dari bibir Anaby. Gadis itu menarik kembali langkahnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Ada getir yang menyesap di balik dadanya. Tidak, ia terlalu anggun untuk menghabiskan tenaga meladeni sindiran atau lirikan sinis dari ibu dan adik tirinya itu. Malam ini terlalu penting untuk dicemari oleh racun ucapan mereka.Maka, Anaby memilih untuk menunggu. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam ponselnya dengan jari-jari yang bergetar pelan, entah karena gelisah atau sekadar gugup. Tak lama, layar ponselnya menyala. Sebuah pesan dari Sandra muncul—membuat Anaby mendengus lirih.[Ana, kau jadi bertemu dengan keluarga Rajasa? Semoga semuanya berjalan lancar. Tapi, aku harap kau tetap mempertahankan cintamu pa
Tak ingin terlihat gugup di hadapan semua orang, Anaby dengan lembut menarik tangannya dari genggaman hangat Michael. Ia menunduk sedikit, menyembunyikan rona merah yang mulai naik ke pipinya."Senang juga berkenalan denganmu, Tuan Michael," balasnya, dengan suara setenang yang bisa ia upayakan.Anaby menyisipkan jeda napas, agar detak jantungnya yang riuh tak terdengar oleh siapapun.Suasana mendadak menjadi kaku. Keheningan menggantung sesaat, seolah semua orang masih mencerna interaksi kecil antara pasangan muda itu.Namun, Tuan Carlo, dengan ketangkasan naluri seorang ayah, segera mengambil alih kendali dan mencairkan suasana."Selamat datang di rumah kami Tuan Gama, Nyonya Safira, dan Michael. Mari kita ke ruang makan. Semua hidangan telah kami siapkan dengan sebaik mungkin," ujarnya ramah sembari mengangkat satu tangan, mengisyaratkan arah yang harus mereka tuju.Nyonya Kemala yang sejak awal menahan diri untuk tidak bersuara, ikut serta menunjukkan keramahan. Dengan senyum kaku
Di ruang makan yang semarak dengan kilau lampu kristal, percakapan para orangtua masih berputar di sekitar satu topik yang sama: penetapan tanggal pertunangan.Di ujung meja, Tuan Gama mengusap jenggotnya sambil menyunggingkan senyum puas, sementara Nyonya Safira mencoba memberikan pendapatnya.“Menurut saya, akan lebih baik bila pertunangan dilakukan dua minggu lagi. Dengan begitu, kita memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan segalanya dengan sempurna — daftar tamu undangan, cincin pertunangan, dan hadiah perhiasan untuk Anaby.”Tuan Carlo mengangguk pelan, menimbang-nimbang usul tersebut. Keheningan sesaat tercipta, hanya diisi suara halus dari denting peralatan makan.Namun, di tengah ketenangan itu, suara berat nan dalam milik Michael tiba-tiba terdengar, membuat semua kepala menoleh padanya. “Saya ingin pertunangan dilaksanakan Sabtu depan, Tuan Carlo,” ucapnya, mengandung nada ketegasan yang tak dapat dibantah, “dua minggu lagi saya akan sibuk dengan acara peluncuran aplikasi
Usai ciuman pertama mereka sebagai pasangan suami istri, ruangan gereja kembali dipenuhi keheningan. Pastor Benediktus mundur selangkah dan memberi isyarat kepada dua orang petugas—seorang dari gereja, satunya lagi dari kantor urusan sipil. Mereka membawa map cokelat dan buku besar dengan sampul berukir lambang negara di sudutnya.“Tuan dan Nyonya Rajasa,” ujar petugas urusan sipil dengan nada penuh penghormatan, “silakan menandatangani dokumen pernikahan, sebagai bagian akhir dari prosesi pemberkatan.”Michael mengangguk, lalu meraih pulpen yang disodorkan tanpa jeda. Ia menorehkan tanda tangannya dengan goresan mantap, penuh kepastian. Tiada satu helai pun keraguan yang terpancar dari caranya menggenggam pulpen, seolah segala keputusan telah menuju babak final.Anaby menyusul perlahan. Jemarinya sempat bergetar ketika ia meraih pena logam itu. Ia melirik Michael sekilas, lalu menatap namanya sendiri yang tercetak di atas baris kosong. Suatu perasaan yang tak mampu ia lukiskan menye
Mobil melambat, sebelum berhenti perlahan di halaman sebuah gereja kecil di pinggir kota Grenada. Gereja itu dikelilingi oleh pohon-pohon cemara yang melambai pelan diterpa angin. Bangunannya tidak megah, tetapi memancarkan pesona klasik yang mengundang kedamaian. Dinding gereja Saint Anna terbuat dari batu alam berwarna kelabu pucat, dengan jendela-jendela lengkung berhias kaca patri. Menara loncengnya menjulang sederhana, seperti penjaga setia yang mencatat setiap janji suci yang pernah terucap.Pintu kayu besar terbuka, dan di sana berdiri seorang pria muda bersetelan hitam elegan. Pembawaannya memancarkan ketenangan profesional.“Selamat datang, Nona Anaby,” sapanya sambil membungkuk hormat. “Saya Samuel, asisten pribadi Tuan Michael. Beliau sudah menanti di altar.” Samuel menyerahkan buket bunga yang terdiri dari rangkaian ‘forget-me-nots’ berwarna biru pucat, dipadu dengan gardenia putih yang mekar sempurna—lambang cinta sejati dan kesetiaan abadi.Anaby menerima buket itu den
Kuas-kuas halus menari di permukaan wajah Anaby, menyapukan rona cerah yang membuat kulit Anaby lebih segar. Seorang perias memulas kelopak matanya dengan gradasi warna netral, lalu membingkai bulu mata Anaby yang lentik dengan eyeliner tipis dan maskara. Bibirnya disentuh oleh warna mawar lembut, menyempurnakan tampilan yang alami sekaligus memesona.Di belakangnya, penata rambut menata helaian rambut panjang Anaby dengan cermat. Melilitkannya ke atas membentuk sanggul anggun, dan membiarkan beberapa helai tergerai menyentuh bahu.Di antara lilitan itu, terselip rangkaian bunga kecil berwarna putih. Mengingatkan pada potret para dewi dalam relief-relief Yunani kuno—megah, murni, dan memukau.Anaby menatap pantulan dirinya pada cermin besar. Penampilannya kini tak ubahnya seperti seorang calon permaisuri yang akan melangkah ke pelaminan. Namun, kilau matanya menyimpan kisah yang terlalu perih untuk diceritakan ulang.“Anda cantik sekali, Nona,” puji salah satu perias dengan kagum, sam
Anaby menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa getir yang tiba-tiba menjalar. Ia teringat akan ciuman semalam yang begitu intens, menghangatkan hatinya hingga seolah meleleh dalam dekapan pria itu. Bahkan, mereka sempat terbenam dalam gairah yang tak terbendung.Namun, semua kenangan itu terasa seperti kilasan ilusi yang diberikan hanya untuk dipatahkan keesokan harinya. Barangkali, Michael sengaja melakukannya sebagai bagian dari permainan hati. Sebuah balas dendam yang dibungkus kepura-puraan.Akhirnya, dengan sisa keberanian yang ada, Anaby mengangkat wajahnya dan menatap Michael. “Baiklah, kita akan menikah sesuai keinginanmu,” katanya pelan, hampir bergetar, “Setelah itu, aku harus ke rumah sakit untuk menemani Papa.”Michael memandang Anaby beberapa detik, seakan ingin memastikan tidak ada keraguan dalam ucapannya. Lalu, perlahan, ia menunduk dan mengucapkan satu kalimat lagi di telinga gadis itu. Bisikannya seperti embusan panas yang menggoda dan menyesatkan di saat yang
Dalam lelapnya, Anaby merasa ada yang menyentuhnya. Sebuah genggaman hangat yang menyelusup hingga ke lapisan sanubarinya yang terdalam.Jari-jemari itu menyatu dengan miliknya, mengirimkan kehangatan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Genggaman itu terasa seperti benteng lembut yang menahan segala ketakutan dan kegelisahanIa tidak tahu siapa, tetapi ia tidak ingin melepaskannya.Anaby pun terbuai dalam kenyamanan yang membuatnya tenggelam dalam tidur panjang. Ia tidak bermimpi. Ia hanya terlarut oleh perasaan damai, yang diberikan oleh sosok tak terlihat di balik gelap matanya. Dalam imajinasi indah itu, Anaby tak tahu berapa lama ia terlelap, tetapi sensasi itu begitu nyata—dan menenangkan.Kemudian, bunyi air yang menyentuh lantai memecah ketenangan pagi. Gema gemericiknya menyusup ke telinga Anaby, dan perlahan membangunkannya dari alam mimpi. Anaby mengerjap, kelopak matanya terbuka dengan lambat, menyesuaikan pandangan dengan cahaya lembut yang masuk dari jendela. Ia menata
Dengan menggenggam harapan terakhir yang ia punya, Anaby menatap lekat paras tampan di hadapannya. Sorot matanya meredup, membawa serta keputusasaan yang membekas begitu dalam. Tanpa mengucap sepatah kata pun sebagai jawaban, Anaby perlahan memajukan wajahnya, menghapus jarak yang tersisa. Gerakannya begitu ringan dan nyaris gemetar, saat bibirnya menyentuh bibir Michael—tanpa jeda, tanpa ragu.Seperti digerakkan naluri, tangan Anaby terangkat pelan lalu menempel pada bahu Michael yang terasa kokoh di balik piyama yang membungkus tubuhnya. Gadis itu bisa merasakan kontras yang mencolok antara kehangatan bibir Michael dan bibirnya sendiri. Bibir Michael penuh dengan gairah kehidupan, berbeda jauh dengan bibirnya yang beku, seperti tak bernyawa. Dalam beberapa detik, Anaby memejamkan mata, memusatkan seluruh pikirannya untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah ia kuasai.Ya, berciuman bukanlah sesuatu yang familiar bagi Anaby. Ia tidak pandai melakukannya.Beberapa kali Aslan pe
Setelah daun pintu tertutup rapat, Michael melangkah ke arah dinding dan menyalakan lampu utama. Cahaya hangat segera menyapu seluruh ruangan, menghapus kesan remang yang sempat tercipta. Kilau lampu memantul di permukaan marmer dan kaca, memunculkan siluet kemewahan apartemen lantai delapan itu. Mata biru milik Michael bergerak tenang dan tajam, seperti bilah es yang bening. Pandangannya menelusuri tubuh kurus Anaby yang berdiri kikuk di ambang ruang. Mengunci langkah gadis itu, hingga membuat Anaby nyaris lupa bagaimana caranya bernapas normal.Tanpa berkata-kata panjang, ia menunjuk ke sofa berlapis kulit di tengah ruangan.“Duduklah,” ucap Michael tanpa nada.Dengan langkah ragu, Anaby menuruti permintaan itu. Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tetapi tak berani bersandar sepenuhnya. Gadis itu bingung harus meletakkan tangan di mana, tidak tahu harus memandang ke arah mana.Di sisi lain, Michael masih berdiri tegak. Kedua lengannya bersedekap di depan da
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Anaby memacu mobilnya menembus malam. Lampu-lampu jalan yang terpantul di kaca depan tampak buram, seperti garis-garis cahaya yang berlari menjauh. Sementara jiwa Anaby telah tertambat pada satu tujuan.Kecepatan mobilnya meningkat, tetapi pikirannya berlari jauh lebih kencang dari laju kendaraan yang ia kemudikan. Ada gemuruh dalam benaknya, campuran antara keyakinan dan keraguan, antara kerinduan dan ketakutan.Langkah ini bisa dianggap sembrono, bahkan barangkali memalukan—datang ke apartemen seorang pria di tengah malam, tanpa kabar, tanpa undangan. Hanya saja, Anaby tidak peduli lagi. Harga dirinya sudah terlalu letih untuk dijaga, dan logika telah lama kalah oleh harapan. Untuk kedua kalinya, ia bersedia jatuh dalam ketidakpastian jikalau itu satu-satunya jalan keluar dari jeratan Aslan. Marigold Residence menjulang dalam bayangan langit kota yang kelam. Bangunan itumegah sekaligus dingin dalam kemewahan yang tak bersuara.Setibanya
Bak seseorang yang baru saja menemukan permata terpendam di tengah reruntuhan, Aslan langsung memegang tangan Tuan Carlo. Tatapan matanya berbinar, dan senyum yang menggantung di bibirnya begitu lebar, seolah ucapan itu adalah kabar paling agung yang pernah ia dengar.“Saya … benar-benar berterima kasih, Tuan Carlo,” ucap Aslan terbata. “Saya berjanji akan segera menikahi Ana setelah Anda pulih. Saya mencintai Ana lebih dari segalanya.”Janji yang diucapkan Aslan membuat tenggorokan Anaby tercekat. Perutnya mual, mendidih dalam keengganan yang tak tertahankan. Rasanya seperti menelan racun pahit yang merayap hingga ke ujung tengkuk. Refleks, Anaby mengangkat tangannya dan menutup mulut yang tersembunyi di balik masker medis. Ia mencoba menahan desakan mual yang merambat dari dalam.Melihat reaksi itu, Aslan menoleh dengan raut wajah mengkerut, penuh kekhawatiran yang tampak meyakinkan. “Sayang, kau kenapa?” tanyanya lembut, melangkah setengah menuju Anaby.Anaby menggeleng kecil. Ta