Seluruh pasang mata langsung tertuju pada Anaby. Para pria di meja eksekutif memandang dengan tatapan penuh tanya, sementara manajer kafe terburu-buru datang menghampiri Michael dengan peluh membasahi pelipis.
"Mohon maaf sebesar-besarnya, Tuan. Kami akan segera menggantinya dengan minuman yang baru. Kami juga akan mendiskusikan kompensasi atas ketidaknyamanan ini," ujar sang manajer dengan wajah tegang.
Namun, Michael berdiri dengan tenang. Gerakannya penuh kewibawaan, sehingga mampu membungkam seluruh kegaduhan. Para pelayan terdiam, manajer tertegun, dan bahkan suara denting sendok di kafe lenyap.
"Tidak perlu memperpanjang masalah kecil," ucap Michael, suaranya baritonnya seperti simfoni malam yang menggetarkan. "Ambilkan saja minuman baru. Dan minuman yang tumpah, akan tetap saya bayar."
Detik selanjutnya, pria itu menghampiri Anaby hingga membuat orang-orang di sekitarnya menjadi heran.
Napas Anaby tercekat, tubuhnya nyaris tak mampu bergerak saat melihat Michael kini berdiri begitu dekat.
"Ambil ini, Nona. Bajumu basah," kata Michael, mengulurkan saputangan berwarna biru dari saku jasnya. Tatapannya datar, tetapi menyiratkan sopan santun seorang pria berkelas.
Tindakan Michael yang tak terduga itu, membuat Anaby menyambar saputangan pemberiannya dengan tangan gemetar.
"Terima kasih," gumam Anaby lirih, tak berani menatap mata Michael.
Tanpa berlama-lama lagi, ia melangkah cepat menuju pintu keluar, menolak untuk menoleh ke belakang.
Begitu keluar dari kafe, Anaby menghirup udara dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin. Namun belum sempat ia menata napas, sosok yang justru ingin ia hindari muncul di hadapannya.
Anaby memejamkan mata sesaat, merasakan lega yang luar biasa. Meski insiden memalukan di hadapan Michael akan terus menghantui pikirannya, tetapi ia masih sempat keluar tepat waktu. Setidaknya, ia berhasil mencegah kemungkinan terburuk: pertemuan antara dua pria yang seharusnya tidak saling tahu satu sama lain.
Di seberang jalan, Aslan baru saja turun dari mobilnya—sebuah sedan tua berwarna abu-abu metalik, yang catnya mulai pudar di beberapa sisi. Mobil itu adalah kendaraan kesayangan Aslan, hasil dari perjuangan panjang mencicil dengan gajinya. Ia sering membanggakan mobil itu kepada Anaby, menyebutnya sebagai simbol cinta dan kerja keras.
"Ana!" panggil Aslan melambaikan tangan.
Alis lelaki itu berkerut, memperlihatkan gurat tanya yang tak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung jatuh noda ungu kemerahan di bagian depan blouse Anaby. Ia juga menyadari ekspresi sang kekasih yang tidak nyaman, seolah baru saja mengalami kejadian tak menyenangkan.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Aslan, sarat dengan kekhawatiran dan nada interogatif. “Kenapa bajumu kotor seperti itu?”
"Ah, ini hanya kecerobohanku. Tadi aku tidak sengaja menyenggol pelayan yang membawa minuman," jawab Anaby sambil memaksakan senyum ringan, meski hatinya masih berdebar tak menentu.
Anaby buru-buru menunduk, berusaha menyeka sisa noda dengan saputangan biru muda di tangannya. Saputangan halus dari bahan katun berkualitas, dengan motif garis-garis sederhana yang sangat maskulin.
Tatapan Aslan berpindah dari wajah Anaby ke saputangan yang digenggam gadis itu. Saat melihatnya, mata Aslan semakin mengecil.
“Itu saputangan siapa?” tanyanya pelan, tetapi mengandung tekanan. “Seingatku, kamu tidak punya saputangan seperti itu.”
"Oh, ini dipinjamkan oleh manajer kafe,” jawab Anaby setenang mungkin. “Dia berbaik hati menolongku.”
Aslan masih belum terlihat puas dengan jawaban itu. Akan tetapi, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Anaby sudah berkata cepat.
“Kita bicara saja di rumah. Jangan di sini.”
Tanpa membuang waktu, Anaby melangkah menuju mobil pribadinya yang telah menunggu di depan kafe. Namun sebelum sempat membuka pintu, Aslan menarik pergelangan tangan Anaby untuk menghentikan pergerakannya.
"Tunggu, Sayang. Aku datang kemari untuk menjemputmu. Kenapa kamu malah naik mobilmu sendiri?"
"Aku tidak minta dijemput, Aslan," tukas Anaby menatap pria itu. "Aku tahu kamu pasti sedang sibuk di kantor, dan aku tidak ingin merepotkanmu."
Aslan menggeleng, matanya masih memandang Anaby lekat-lekat, seolah ingin menguak rahasia yang tersembunyi di balik kilau mata sang kekasih.
"Aku sedang ada tugas luar, dan tidak terburu-buru kembali ke kantor. Justru aku ke sini karena ingin bicara serius denganmu. Jadi, kamu harus ikut mobilku," pinta Aslan, setengah memaksa.
Melihat Aslan bersikukuh mengajaknya pergi, pandangan Anaby refleks melirik ke balik jendela kaca kafe. Ketakutan itu kembali menyeruak, membayang-bayangi keberaniannya—bagaimana jika Michael tiba-tiba keluar dan melihat mereka bersama?
Dengan berat hati, Anaby akhirnya menoleh pada sopirnya yang masih setia menunggu. Saat ini, ia tak punya pilihan selain menuruti kemauan Aslan.
"Pak Darto, pulang saja dulu, dan tolong bawakan barang belanjaan saya. Saya ikut mobil Aslan."
Setelah menerima perintah dari Anaby, sopir itu menyalakan mesin mobil dan pergi.
Aslan lantas membuka pintu mobilnya dan membiarkan Anaby masuk terlebih dahulu. Mobil itu masih menyimpan aroma vanila yang menghangatkan hati Anaby dengan kenangan masa remaja mereka.
Namun sekarang, aroma itu terasa samar, tertutup oleh kecemasan yang menggumpal dalam dadanya. Kenangan yang dulu terasa manis, kini justru mengikat perasaannya seperti belenggu.
"Kita ke Taman Cahaya, yang biasa kita datangi dulu," ujar Aslan sambil tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. "Aku ingin kita bisa bicara berdua saja, tanpa gangguan."
Terpaksa, Anaby duduk di samping Aslan tanpa membantah. Mobil itu pun melaju dengan kecepatan stabil, membelah jalanan kota yang padat di siang hari.
Di balik jendela kaca yang buram, Anaby sempat menoleh sejenak. Entah mengapa ia melihat bayangan sosok pria bermata biru yang masih duduk tenang di dalam.
Lekas saja, Anaby memalingkan wajahnya dan menggenggam saputangan itu erat-erat, seperti sedang menggenggam masa depan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
Pikiran Anaby tak henti mengulang kemungkinan terburuk. Apakah Sandra sudah memberitahu Aslan bahwa malam ini dirinya akan menghadiri pertemuan dengan keluarga Rajasa? Apakah Aslan tahu tentang rencana pertunangannya dengan Michael?
Dentuman musik orkestra yang merdu memenuhi ruang ballroom. Tepat ketika jarum jam menunjuk pukul tujuh malam, acara perayaan ulang tahun Nyonya Safira resmi dimulai.Seorang pembawa acara melangkah ke panggung dengan percaya diri. Senyum ramah tersungging di bibirnya ketika ia mengucapkan salam hangat, menyambut para kerabat, sahabat, dan tamu kehormatan. “Sebagai pembuka acara malam ini,” suara sang pembawa acara bergema jelas, “kami dengan hormat mempersilakan Tuan Michael Rajasa, CEO Matrix Group sekaligus putra tunggal Nyonya Safira, untuk menyampaikan sambutan.”Semua mata seketika beralih pada Michael. Sebelum beranjak dari kursi, pria itu melirik ke arah Anaby.Senyum tipis terbit di bibir Anaby. Anggukan penuh keyakinan ia berikan kepada Michael, seakan menyalurkan kekuatan lewat tatapan matanya.Michael bangkit. Dengan gerakan tenang, ia merapikan jas putih yang membalut tubuh tegapnya, lalu melangkah menuju panggung.Tepuk tangan membahana, mengiringi setiap langkahnya. Aur
Anaby duduk di kursi lobi salon, jemarinya memainkan pita emas pada kantong kado yang tergeletak di pangkuannya. Sekali-kali ia melirik jam tangan tipis di pergelangan, lalu menarik napas panjang. Beberapa menit yang lalu, ia sudah menghubungi Michael. Sang suami berjanji akan menjemputnya sebentar lagi. Meski begitu, degup jantungnya tetap tak mau tenang.Dentuman dari mesin mobil yang berhenti di depan salon, membuat Anaby menoleh cepat. Dari balik kaca besar, ia melihat sosok yang membuat wajahnya seketika berseri. Michael turun dari mobil dengan setelan jas putih elegan, kontras dengan kulitnya yang cerah dan mata biru yang menyala. Posturnya yang tinggi dan tegap membuat langkahnya memancarkan pesona yang tak terelakkan.Para pegawai salon, bahkan beberapa pengunjung yang sedang duduk menunggu, spontan menghentikan aktivitas mereka. Pandangan mereka terikat pada satu titik, pria yang baru saja masuk. Bisik-bisik kecil terdengar di udara. Sebagian tersenyum, sebagian lain hanya
Mobil yang ditumpangi Anaby melaju menyusuri jalan menuju rumah sakit jiwa. Langit berwarna biru cerah, seolah merestui perjalanan Anaby hari ini.Di dalam kabin, Anaby hanya terdiam sambil menggenggam map kunjungan yang telah disiapkan. Begitu tiba di halaman RSJ, ia turun dengan langkah mantap.Anaby masuk ke lobi dan menghampiri meja resepsionis untuk menyerahkan kartu identitas.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas, dengan sopan.“Saya ingin menjenguk pasien atas nama Sandra. Dia baru saja mengalami keguguran,” jawab Anaby tenang.Petugas itu memeriksa buku catatan dan layar komputer, kemudian meminta Anaby mengisi formulir kunjungan. Setelah prosedur administrasi selesai, seorang perawat menghampiri.“Silakan ikut saya, Nona."Sang perawat memimpin Anaby melewati lorong panjang dengan pintu-pintu besi di sisi kiri dan kanan. Lorong itu sunyi, hanya sesekali terdengar teriakan atau tawa aneh dari balik pintu.“Kami menempatkan Nona Sandra di ruang perawatan khusus,” jelas per
Pagi itu, Anaby berdiri di hadapan Michael, membantu merapikan kerah jas yang jatuh sedikit miring. Jemarinya bergerak telaten, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang mengganggu penampilan suaminya. “Sedikit condong ke kiri… ya, begitu,” pungkas Anaby, penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Anaby mengambil dasi yang tergantung di sandaran kursi. Ia melilitkannya dengan gerakan yang telah dihafalkan di luar kepala.Michael menatap sang istri sambil terkekeh kecil. “Kau selalu tahu cara membuatku terlihat seperti direktur di majalah bisnis,” ujarnya, setengah bercanda, setengah tulus.Anaby mengangkat pandangan, menatap wajah lelaki itu sejenak sebelum mengencangkan simpul dasi. “Bukan terlihat, Michael. Kau memang seorang direktur dari Matrix Group,” sahut Anaby. Ada kebanggaan yang nyata dalam nada bicaranya.Michael menunduk sedikit, menyentuh ujung hidung Anaby dengan jemarinya.“Hari ini, aku ingin kau berada di salon saja. Manjakan dirimu. Lakukan semua perawatan yang membu
Anaby dan Michael masih berbaring di ranjang, tubuh mereka saling melekat tanpa jarak. Kehangatan kulit Michael di pelukannya membuat Anaby merasa aman, seakan dunia luar dengan segala ancamannya tak akan pernah mampu menjangkau mereka.Namun, denting nada dering ponsel tiba-tiba memecah keintiman yang mereka nikmati. Anaby membuka mata dan melihat ponsel Michael bergetar di meja samping ranjang. Perlahan, ia melepaskan pelukan, bangkit, lalu meraih ponsel tersebut. “Sayang, telepon masuk,” tuturnya, lembut.Dengan gerakan hati-hati, Anaby membantu Michael setengah duduk. Ia menyelipkan beberapa bantal di belakang punggung pria itu, memastikan sandarannya nyaman.Michael menatap layar sebentar, bibirnya membentuk garis tipis. “Pengacaraku. Pasti tentang proses pengadilan Aslan, Sandra, dan Laura.”Anaby mengangguk, lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan Michael.“Angkat saja. Aku ingin tahu,” pungkas Anaby, meski hatinya dipenuhi rasa tak menentu.Michael menekan tombol jawab dan men
Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu m