2. Hidup Namun Tak Bernyawa.
Mendadak tangisan itu hilang, sepintas ada rasa takut yang menghantui pikiran Tomi melihat Hasna diam terkulai lemas di lantai. Dia takut kalau Hasna meninggal.
"Hei, Hasna?" Tomi panik, lalu mencoba membangunkan istrinya dengan ujung jari kakinya. Namun si wanita itu tetap diam.
"Has, jangan bikin aku —" Tomi semakin di buat panik karena tidak ada jawaban dari Hasna. Ia menjauhi tubuh wanita itu. "Tidak … ini tidak mungkin."
Rasa panik yang amat tinggi membuat Tomi frustasi. Ia takut kalo sang istri meninggal, dia juga takut akan dipenjara dan mengancam nama baik keluarganya.
"Aaaah …!" Ia memekik keras. Menggusar rambutnya sendiri. "Sialan wanita itu! Bisanya bikin susah saja." Tidak ingin membuang waktunya, ia pun berdiri melangkahkan kakinya menuju wanita yang kini entah bagaimana keadaannya.
"Aku harus membawa wanita ini ke suatu tempat dan membuangnya ke...," ucapnya.
"Itu ide yang sangat cemerlang, Tomi. Sekarang bawa wanita itu pergi dari sini sebelum orang mengetahuinya duluan." Entah kemana dia mau membawa istrinya itu. Dan setan apa yang telah merasuki pikirannya sehingga punya niat jahat untuk menyingkirkan istrinya yang kini belum diketahui pastinya. Apakah masih hidup atau ….
"Mas…." Suara itu terdengar sangat pelan.
"Astaghfirullahaladzim!" Ucap Tomi beristighfar karena kaget. Wajahnya seketika berubah pucat. Dia seperti baru saja melihat mayat hidup, karena si wanita bangun dari pembaringan dalam keadaan wajah yang sangat pucat ditambah bekas lebam dibawah matanya semakin terlihat begitu menakutkan.
Padahal itu adalah bekas tonjokan dari si pria itu sendiri. Namun dirinya tak menyadari akan itu karena sangking takutnya.
Hasna keheranan melihat suaminya seperti itu. Sedangkan Tomi masih diam mematung di sudut ruangan. Ia lantas berjalan mendekati istrinya, ingin meyakinkan bahwa yang ia lihat itu adalah istrinya, bukan hantu.
"Brengsek! Ternyata kau masih hidup?"
Hasna tersentak. Matanya menatap tak suka melihat Tomi berkata seperti itu.
"Bun*h aku sekarang, Mas. Biar kamu puas sekalian! Aku ingin pergi dari dunia yang keras ini. Aku tidak sanggup lagi dengan beban yang kupikul, lebih baik aku pergi. Sekarang lakukan apa yang, Mas mau," lirih wanita itu.
"Kamu pikir aku ini bodoh, hah! Mau ngelakuin hal konyol itu, lalu mencoreng nama baik keluargaku? Begitu mau kamu, Hasna? Tidak, aku tidak bodoh. Lebih baik aku pergi dari sini dan meninggalkan, kamu sendiri dalam keadaan sekarat. Ntar kamu juga akan mat* dengan sendirinya. Jadi tidak perlu mengotori tanganku untuk membun*h, kamu."
"Mengapa, Mas? Kenapa kamu tidak bisa melakukannya. Ini juga untuk kebaikan, kamu kok. Biar, kamu bisa bebas setelah aku pergi untuk selamanya."
"Oh, jadi kamu mau nantangin aku? Oke, rasakan, ini wanita sialan!"
Bugh!
Wanita itu ambruk seketika. Ia merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya. Dia menekuk tubuhnya menahan sakit yang tak bisa diungkapkan lagi.
"Perlahan-lahan, kau akan mat* juga, Hasna. Walaupun nantinya kamu masih hidup jangan pernah mencari atau meneleponku. Awas, jangan berani kau mengadu ini pada siapapun, kalau kamu masih mau hidup di dunia ini." Tomi memberikan kecaman pada istrinya yang kini terlihat sungguh memprihatinkan.
Hasna tak menjawabnya karena separuh raganya sudah mat*. Tomi pergi meninggalkan Hasna dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
Wajahnya pucat ditambah dengan lebam-lebam di sekujur tubuhnya. Dia tak ubahnya seperti may*t hidup.
Dengan kondisi yang memprihatinkan, Hasna menyeret tubuhnya menuju ke arah meja. Dia ingin meraih sebuah benda pipih yang ada di nakas. Ia kesulitan meraih benda pipih tersebut dikarenakan sudah tidak ada tenaga lagi.
Beberapa kali dia berusaha untuk meraih benda pipih tersebut akhirnya dia berhasil juga, walaupun dengan susah payahnya.
Benda pipih tersebut sudah berada di tangan. Namun ia kesulitan untuk mencari nomor seseorang untuk meminta bantuan agar dia bisa keluar dari rumah ini.
"Halo ... kenapa, Has. Saya lagi ada diluar nanti saja, kamu telpon lagi"
Tuuutt ….
Sambungan terputus. Wanita yang telah membuat hidupnya menderita itu mengakhiri panggilannya secara sepihak.
Tidak ada lagi tempat untuk mengadu. Hidup di dunia hanya sebatang kara setelah ditinggal pergi orang tuanya untuk selama-lamanya.
Menikah dengan Tomi bukanlah keinginan dirinya. Satu tahun yang lalu dia adalah seorang gadis cantik yang pendiam.
Di hari itu dimana satu tahun yang lalu telah merubah statusnya menjadi istri dari seorang pria berdarah dingin yaitu Tomi Ardiansyah. Terpaksa menikah karena paksaan dari Siska – ibu tiri dari wanita tersebut.
Setelah memenuhi keinginan Siska untuk menikahi lelaki tersebut. Siska tidak bisa dihubungi lagi. Dia lenyap bak ditelan bumi.
Tadinya Hasna sempat berpikir, bahwa menikah dengan Tomi akan merubah nasibnya yang malang melintang karena sering disiksa oleh Siska.
Namun itu hanya sebuah keinginan saja dan pada akhirnya bukan kebahagiaan yang ia dapatkan. Melainkan siksaan yang bertubi-tubi melebihi Siska.
*****
Lima hari telah berlalu, setelah kejadian yang menimpanya di hari itu, dia tidak pernah keluar rumah, bahkan nyaris tidak makan.
Untung wanita itu memiliki kebun ubi jalar di belakang rumahnya sudah bisa mengganjal perutnya yang lapar. Ia bisa keluar dari rumah setelah luka-luka di wajahnya mulai memudar.
Lama wanita itu tertegun, ketika melihat penampakan depan rumahnya. Terasnya begitu kotor dan berdebu halaman sudah di penuhi daun-daun dari pohon yang berguguran, di tambah lagi dengan sampah-sampah yang dibawa oleh binatang peliharaan tetangga menjadikan halamannya itu terlihat kotor dan berantakan
Melihatnya pun membuat Hasna mual dan ingin muntah, ketika sampah bekas popok bayi berserakan di mana-mana.
Baru lima hari tidak keluar rumah, penampakan halamannya sungguh memprihatinkan. Bunga-bunga yang ia tanam dengan sepenuh hati kini kering dan gugur. Menyisihkan batang daun yang sudah layu seperti yang dirasakan olehnya. Hidup namun tidak bernyawa.
Wanita itu berinisiatif untuk membersihkan halaman depan rumahnya. Orang yang berlalu lalang menatap aneh kepadanya. Ia terpaksa menutupi wajahnya dengan jilbab yang ia kenakan.
****
Subuh-subuh, Hasna bangun untuk menunaikan sholat, jam di dinding kamar yang bernuansa pink itu, menunjuk pukul tiga pagi. Hasna bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud untuk mencurahkan keluh kesahnya.
Setelah selesai sholat , Hasna berdoa sambil menengadahkan tangannya ke atas, ia berdoa dengan khusyuk untuk memohon ketabahan dan keikhlasan atas ujian yang sedang dialaminya, kepada Allah yang maha kuasa atas segala rahmat-Nya. Selesai dengan doanya, tak terasa setitik bening menetes dari pelupuk matanya.
Tidak mau berlarut-larut dalam kesedihan, wanita berumur dua puluh tahun itu melanjutkan membaca yasin, untuk mendinginkan pikirannya.
****
Pagi harinya, Hasna sedang meracik jamu yang akan dijajakan nya nanti.
Sebelum berangkat untuk menjajakan dagangannya. Ia menyempatkan diri untuk sarapan pagi dengan ala kadarnya. Singkong yang ia rebus sudah mengganjal perutnya sampai siang.
"Alhamdulillah…," ucapnya mengucapkan hamdalah setelah selesai sarapan.
Hasna bersiap-siap berangkat menjajakan dagangannya tak lupa juga ia berdoa agar dagangannya hari ini habis terjual.
"Aminn …." Hasna menangkupkan kedua telapak tangannya yang menyentuh sebagian wajahnya sebagai ungkapan harapan yang tak kalah besarnya.
Hasna mengayunkan langkahnya keluar dari rumah menyusuri jalanan di seputaran rumah untuk menjajakan dagangannya.
Dia tetap tersenyum pada orang-orang yang berlalu lalang untuk menjalani aktivitas mereka di pagi hari.
Sebesar apapun masalah yang dihadapinya, ia tetap tabah dan ikhlas menjalani biduk rumah tangganya yang kini sudah di ujung tanduk.
Tiba-tiba Hasna menghentikan laju jalannya ketika ia berpapasan dengan seorang wanita yang tak lain adalah...
Seorang pria yang sudah tidak lagi muda namun kelihatan gaga dan sangat kuat itu baru saja turun dari mobil dan melangkahkan kakinya melewati halaman rumah yang cukup luas.Lelaki tua itu memang jarang sekali menempati rumah ini, bahkan bisa dibilang sudah sangat jarang setelah terjadinya perseteruan antara dirinya dengan anak dan juga menantunya. Beberapa tahun ini pria tua itu banyak menghabiskan waktunya di luar kota sekedar mencari ketenangan jiwanya yang separuh telah hilang, akibat kematian putri semata wayangnya.Sejak kejadian beberapa tahun lalu pria tua ini tidak pernah lagi mendengar kabar tentang cucu satu-satunya, sebab sang menantu selalu mengawasi dan melarang dirinya untuk bertemu dengan cucunya, apalagi saat mendengar kabar jika menantunya pindah dari rumah sebelumnya.Itulah kenapa ia enggan untuk menempati rumah ini, sebab banyak sekali kenang-kenangan yang tidak dapat ia lupakan walau kejadian itu sudah berlangsung sejak beberapa tahun lalu.Bahkan mungkin sang cu
"Amira.""Iya, Sam ada apa?""A-aku mencintaimu, Amira" ungkap Sam pelan membuat Amira tersentak kaget, setelahnya ia tersenyum manis."Kamu lucu ya, Sam kalo lagi seperti ini. Gemes, deh." Sam kaget kala Amira mencubit kedua pipinya."Ja-jadi gimana? Kamu mau?""Hmm …."Lama Sam menunggu kepastian dariku, dan aku emang sengaja nggak mau untuk menjawab pertanyaannya itu."Amira? Gimana? Mau?""Hmmm.""Kok, hm, terus, sih.""Nungguin, ya?""Ah, kamu nggak asyik!""Udah, yuk pulang," sahutku membuat Sam tertunduk lemas. Bukan apa-apa kenapa aku enggan menjawab pertanyaan tersebut, karena diriku saat ini hanya fokus pada tujuan, dan belum membuka hatinya untuk siapapun termasuk teman semasa kecilku ini."Kenapa? Kamu baper, ya?" goda Sam."Mana ada!" jawabku yang dibalas dengan kekehan Sam."Udahlah, Sam. Jangan ganggu aku!"Aku dan Sam sama-sama tersenyum, lalu Sam melajukan roda empatnya meninggalkan tempat ini.Aku gak berani natap mata Sam, aku ngerasa tatapannya aneh. Malah sekaran
"Lalu bagaimana denganku? Nggak nanyain balik gimana aku bahagia atau enggaknya?"~ "Aku mencintaimu, Amira. Aku ingin menikah denganmu. Kamu mau kan menikah denganku?" Dengan cepat Amira menganggukkan kepalanya. Sam tersenyum bahagia, lalu ia membentangkan tangannya seraya mendekatkan dirinya kepada Amira dengan bibir memuncungkan ke depan "Sam! Apa-apaan sih, kamu?" tanya Amira seraya mendorong pelan wajah Sam.Sam tersentak. "Astaghfirullah!" Sam terlihat sedikit linglung apa yang terjadi, sementara Amira menatapnya dengan tatapan bingung."Hei, kamu kenapa, sih?" Sam tak langsung memandanginya melainkan merenung sejenak ia terlihat linglung. "Apa itu tadi hanya khayalanku saja … astaga!" Ia menggerutu pada dirinya sendiri dalam hati, karena itu hanya khayalannya saja yang mungkin tak pernah akan terjadi untuk menyatakan cinta, ia pun memijat pelan pelipisnya sembari menghela napas panjang."Ada apa, Sam? Apa, kamu baik-baik saja?" tanya Amira cemas, lalu ia membuka jaket yang
"Bukan hanya tak punya apa-apa lagi, tapi orang tuanya pun ikut lenyap dari muka bumi ini," sahut Amira."Ma-maksudnya bagaimana, Nak? Siapa yang lenyap?""Mama. Eh, bukan tapi Santi." Amira menyahutinya lagi."Innalillahi. Apa yang sudah, kamu lakukan untuk mereka, Nak?""Hanya permainan kecil kok, Bu" sahut Amira."Maksudnya?" Lagi-lagi Darmi belum paham dengan perkataan Amira."Maaf, Bu aku nggak bisa ceritakan. Intinya aku pernah bersumpah waktu itu untuk membalaskan dendamku pada pria jahanam itu. Selama aku masih hidup aku tidak akan membiarkan mereka hidup dengan tenang. Itulah sumpahku.""Tapi, Nak apa yang terjadi selama beberapa tahun ini denganmu? Semenjak, kamu meninggalkan rumah, kamu tidak pernah ngasih kabar pada ibu. Lalu hari ini, kamu datang ke rumah ini dengan penampilan, kamu yang sudah banyak perubahan. Ibu sampe nggak ngenalin, kamu tadi, loh. Bisakah, kamu menceritakan sedikit tentang kehidupan, kamu selama ini, Nak. Biar ibu tidak merasa bersalah terus menerus
Dendam itu belum cukup untukku. Aku ingin melihat satu persatu dari mereka lenyap di muka bumi ini. Itu sumpahku!"~"Semenjak pindahnya keluarga, kamu ke rumah baru, Rahmat sering tidak diam di rumah bahkan mereka sering bertengkar dan Rahmat, dia sering keluar rumah untuk bertemu dengan wanita jalang itu. Ibu pernah memergoki mereka sedang berduaan di rumah, kamu dan ….""A-apa? Ja-jadi bapak sering mengajak perempuan laknat itu masuk ke dalam rumahku?""I-iya, Hasna," ucapnya dengan gugup. Rasa bersalah menghinggapi di dadanya yang sudah terlanjur mengatakan yang sebenarnya."Bagaimana bisa? Kenapa kami tidak tahu bapak memasukkan wanita jalang itu ke dalam rumahku?""Kalo nggak salah waktu itu kalian tidak ada di rumah. Oh, ya waktu ibumu masuk rumah sakit kalau nggak salah.""Kurang ajar! Terlalu laknat mereka berdua. Ibuku sedang mempertaruhkan hidup dan matinya, mereka asyik bermain di belakang ibuku." Amira sangat geram mendengar cerita Darmi hingga kedua tangan wanita itu men
"Tidak ada lagi kata-kata terpuruk dalam diriku, jika hati ini sudah berganti dengan batu, batu kerikil yang tajam bahkan sangat tajam. Siapapun yang memulai dia juga yang harus mengakhiri, dan itulah yang akan terjadi selanjutnya."~Entah kenapa Amira tidak bisa mengontrol emosinya jika mengingat kembali kejadian yang menimpa keluarganya.Terbesit di pikiran Amira kalau Darmi tidak berani mengatakan yang sebenarnya karena takut pada Tigor. "Apa, Bu Darmi masih takut dengan Tigor, ya? Apa ini ada sangkut pautnya dengan keluarga jahanam itu?" "Dia sebenarnya temen ibu waktu itu."Amira sedikit mengernyit heran mendengar kalimat itu. "Maksudnya Tigor temen, Bu Darmi?""Iya.""Gimana-gimana? Aku masih nggak ngerti, Bu."Wanita paruh baya itu menghembuskan napasnya secara perlahan untuk menghadapi situasinya saat ini. "Mungkin saat ini adalah waktu yang tepat untukmu mengetahui semuanya, Nak. Ibu juga sudah lelah berlarut-larut menyimpan rahasia antara kedua keluarga ini."Lagi-lagi Ami