Home / Rumah Tangga / Membalas Mertua dan Suamiku / Bab 6: Membalas Mertua dan Suamiku

Share

Bab 6: Membalas Mertua dan Suamiku

Author: Bemine
last update Last Updated: 2024-04-16 11:55:05

Bab 6: Membalas Mertua dan Suamiku

Jam empat sore, aku tiba di rumah mewah itu lagi. Hela napasku mengudara berat, mendorong motor tua yang kubawa sebelum menikahi Bang Agam menuju garasi. 

Sendirian, usai berjuang dengan panas dan jalanan. Ditambah lagi, suamiku baru saja menghina dengan memintaku membuangkan bungkus kretek bekasnya. 

Tidak ingin meninggalkan jejak, aku buru-buru membuka jaket kebesaran tersebut, lalu menyembunyikannya di bawah jok motor terlebih dulu untuk saat ini. Khawatir juga andai Ibu Mertua yang baik budi tersebut muncul dan memergoki apa yang telah kulakukan di luar sana selama ini. 

Setelahnya, aku bergerak menuju pintu masuk. Helaan napas ini memberat, gelisah menyerang membabi-buta. 

Ada sepasang sandal yang sangat kukenal telah terduduk manis di rak. Juga sepatu yang terlihat begitu arogan berada di sebelahnya. 

“Dari mana saja, Nak?” Lembut mendayu, sebuah suara menyapa diriku. 

Bukannya senang, tubuhku merinding luar biasa. Sekujur badan bergetar, seolah ada iblis yang baru saja memanggil. 

“Eh, Mama?” Aku berbalik, perlahan-lahan. Memastikan tidak ada jejak dari apa yang kulakukan hari ini. 

Benar seperti dugaanku, ibu mertua sudah pulang. Aneh … sangat aneh. Tidak biasanya beliau pulang cepat usai membeli emas. Sudah bukan rahasia lagi di rumah ini, kegiatan rutin ibu mertua usai berbelanja adalah menemui teman-temannya untuk memamerkan apa yang baru saja dia beli. 

Tapi … ini?

“Aduh kamu ini, Ima! Mama harus belanja tadi, karena Agam sudah pulang dan kelaparan,” ucapnya. “Kasihan Agam kalau sampai lapar, kan. Dia sudah susah payah cari uang buat kita, ngasih makan kita, membayar kebutuhan kita, Ima.” 

Aku tersenyum kecut mendengar ocehan ibu mertua perihal semua perjuangan Bang Agam. Lihatlah betapa merekahnya bibir Perempuan ini, sebab semua yang diucapkan olehnya barusan hanya dinikmatinya sendirian. 

“Lihat ini, Mama beli ayam setengah, lalu sayur pakcoy, kemudian ….” 

“Setengah, Ma?” Aku menyahut. “Kok Cuma setengah belinya? Kan ada tiga orang di rumah ini,” balasku kembali. 

Jarang-jarang ibu mertua mau mengeluarkan uang untuk belanja, meski aku juga tidak yakin kalau itu dari dompetnya. Pastilah Bang Agam yang sudah mensponsori belanjaan ibu mertua Kembali. 

Jika untuk ibu mertua, maka suamiku rela mengosongkan dompetnya. Kalau untukku, dia lebih rela beradu argument dan marah-marah. 

Sakit? Kini aku sendiri tidak lagi paham apa artinya sakit. Kedua kaki yang menjadi tebal karena memakai sepatu, atau wajah yang selalu terbakas panasnya matahari juga tidak lagi mampu menyakitiku. 

Lantas, mana mungkin hanya karena hal ini aku terluka? 

“Tadi Agam ngasih Mama uang belanja, dua ratus ribu. Mana cukup untuk beli ayam seekor, lagian kan kita bisa makan ….” 

“Ah, maksudnya Mama dan Bang Agam saja yang makan ayam, kan? Aku cukup makan minyak bekas gorengnya,” potongku segera yang membuat ibu mertua terdiam. 

Beliau yang sangat lihai bermain kata dan bersikap langsung berpura-pura tenang. Senyumnya merekah kembali, kemudian memperlihatkan sekali lagi sisa belanjaan. Tidak banyak, hanya beberapa butir bawang, bumbu dapur yang bahkan malu untuk kusebut jumlahnya, dan satu botol santan instan. 

“Mama ngabisin dua ratus ribu buat belanjaan segini?” tanyaku. 

“Iya, kan barang serba mahal, Ima. Kamu kan Ibu Rumah Tangga, pasti tahu.” 

“Ah, iyakah, Ma? Kalau memang serba mahal, terus kenapa Mama dan Bang Agam terus maksa aku buat belanja lima belas ribu sehari?” tukasnya dengan intonasi yang sangat lembut. 

Sebab ibu mertua berbicara santun, aku juga harus melakukan hal yang sama. Jika tidak, maka dirikulah yang akan menjadi penjahatnya di sini. 

“Ah, i-itu kan … lima belas ribu, ya? Hhmm ….” 

“Begini saja, Ma … apa bisa kalau Mama saja yang belanja setiap hari ke pasar? Nanti aku tugas masaknya,” tanyaku lagi. “Kalau Mama yang belanja, bisa dapat budget dua ratus ribu sehari, kalau aku … ISTRINYA ….” Sengaja aku menekan kata istri, sebab mulai kusadari jika Bang Agam berdiri di balik jendela dan menguping pembicaraanku dengan ibu mertua. “Cuma dikasih lima belas ribu sehari. Jajanku jaman kuliah saja tidak segitu, deh! Masak tauge sama tempe tiap hari juga kurang buat bertiga. Belum bawang, cabe, garam, minyak.” 

“I-ima!” 

Aku sedikit terperanjat. Suara lantang yang membelah barusan adalah milik Bang Agam. 

Pria itu buru-buru keluar dari rumah demi menemuiku yang baru saja membalas ucapan ibu mertua. Tanpa basa-basi, dia menarik lenganku kasar, membuatku memekik sebab terhuyung ke arahnya. 

Sakit? Lagi-lagi tidak. 

“Apaan, kamu, Bang!” Aku menyeru tidak mau kalah. 

“Kamu berani nyuruh Mama?” 

“Loh, aku nyaranin, Mas. Apa salahnya kalau aku nyaranin ke Mama buat belanja dari hari ini.” 

“Kalau Mama yang belanja, terus tugas kamu sebagai istri apa? Kelayapan sampe sore? Kaya begini tingkah lakumu sekarang?” 

Aku menyentak tangan, berusaha membebaskan diri dari cengkeraman kejam Bang Agam. Tidak kusangka jika dirinya akan bersikap seperti ini setelah tiga tahun bersama. Ternyata, segala janji yang pernah diucap dulu tidak lagi bersisa. 

“Tugas … Abang nanyain tugas aku apa? Terus tugas Abang apa sebagai suami?” 

“Ima!” 

“Apa, Bang … aku enggak budeg, enggak perlu teriak segala,” sungutku. 

Diri ini mendadak labil, muak juga kesal. Kuayunkan kaki melangkah menjauh dari mereka. Sekarang, rasanya ingin pergi saja dari muka bumi ini. 

“Ima! Mau ke mana kamu?” 

“Mau healing. Capek, Bang. Sudah, ya? Aku mau healing, mau refreshing.” 

“Gayamu itu selangit, uang dari mana buat healing segala? Masuk dan masak buat aku sama Mama.”

“Heh!” Aku mengembus napas keras. Tidak beranjak apa lagi menuruti perintah itu.

“Sudah, Gam … sudah. Jangan didebat terus Imanya, kasihan dia,” bujuk ibu mertua dengan suaranya yang sangat lembut. 

Saat aku berusaha memundurkan motor, aku tersadar satu hal jika mobil Bang Agam tidak ada di garasi. Entah ke mana dia membawa kuda besi tersebut, benda mewah yang sangat dibanggakan olehnya selama ini. 

Ah, tapi apa peduliku. Semenjak benda itu ada, Bang Agam juga tidak pernah membawaku bersama. Entah apa alasannya, tapi kuyakin pria itu malu andai perempuan lusuh sepertiku menumpang mobil mahalnya. 

Biarlah … aku tidak peduli. Mari kita lihat siapa yang akan kesulitan tanpa diriku.

Akan kubuktikan bahwa kalian telah salah menilai diriku selama ini. 

“Ima!” 

“Agam, ayuk masuk. Mama mau tunjukkan emas baru, Mama. Modelnya baru dan kawan-kawan Mama belum ada yang punya,” jelas ibu mertuaku dari tempatnya berdiri. Beliau menarik Bang Agam meski pria itu masih memalingkan muka ke arahku. 

Sebelum meninggalkan rumah, sempat air mata berlinang di pipi. Kuusap cepat, lalu memacu motor dan pergi sejauh mungkin untuk saat ini. 

Kuyakin, sangat yakin, ibu mertua dan Bang Agam akan sangat menderita malam ini. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, apa hal yg bisa dipetik dari cerita sampah ini selain mengedepankan kebodohan tokoh cerita. utk ortu kau susah payah membiayai kuliah klu kau berakhir jadi babu kurang gizi,anjing
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Membalas Mertua dan Suamiku   (TAMAT) Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 40: Membalas Mertua dan Suamiku Aku dan Qais pulang ke rumah lama kami dengan tergesa-gesa usai mendapatkan kabar dari Bang Agam. Kami tiba setelah mengebut di jalanan dengan perasaan tidak karuan. Di depan pagar, aku terdiam untuk sesaat. Rumah mewah yang dibeli oleh Bang Agam kini ramai dengan orang-orang. Mereka berduyun-duyun masuk, sibuk berbicara tentang ibu mertua yang meninggal di rumah sakit. “Sudah tiga hari di rumah sakit, katanya sejak ngerebut rumah ini dari anak mantunya, tiap malam seperti didatengin setan, Bu. Tidak bisa tidur, malah teriak-teriak kayak kerasukan.” Dua perempuan yang dulu menjadi teman karib ibu mertuaku saling berbisik. “Azab kali, Bu. Duh, saya juga sudah denger dari Bu RT. Selama ini Ima dan Agam difitnah, mereka diperlakukan seperti sapi perah, sampe akhirnya Agam yang minta keluar dari rumah ini. Terus, malah bawa anak keduanya ke sini!” “Betul, Bu. Saya juga dengar. Nauzubillah banget ternyata kelakuannya. Saya kira semua omongann

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 39: Membalas Mertua dan Suamiku “Agam!”“Aku minta maaf, Ibu. Aku minta maaf sekali,” lirih Bang Agam. Pria itu memejamkan kedua mata. Dari tempatku berdiri, terlihat penyesalan dan rasa sedih yang begitu dalam, bahkan urat tebal muncul di bawah pelipisnya.Pada akhirnya, hubungan kami jadi semakin rumit. Semua cara yang aku lakukan di masa lalu, termasuk membalas kelakuan Ibu mertua dan menyadarkan Bang Agam tidak membuahkan banyak hasil.“Agam, kamu mau tinggal di mana kalau bukan di rumah itu?” cegah Ibu mertua seraya menarik lengan Bang Agam.Suamiku tidak menjawab. Bibirnya hanya diam, terkatub terlalu rapat.“Bang, kita ....”“Kita bereskan barang, Dek. Bawa semua baju, tas, sepatu, riasan, milikmu, milikku, milik Qais, juga beberapa bungkus

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 38: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 38: Membalas Mertua dan SuamikuKami tiba di rumah Pak RT beberapa menit kemudian. Bang Agam bahkan tidak sempat berganti pakaian olahraganya hanya untuk mengecek keadaan ibu mertua yang diisukan sudah ada di kota.“Bang, yakin sudah antar Ibu ke desa?” tanyaku dengan suara berbisik.Aku turun dari boncengan motor, kemudian membawa Qais bersamaku. Bang Agam juga memarkirkan motornya agar tidak menghalanginya jalan keluar masuk di rumah Pak RT.“Iya, Dek. Aku juga memberi Ibu uang saku. Tidak mungkin aku membuat Ibu menderita dengan meninggalkannya di jalanan,” balas Bang Agam dengan mata yang membulat.Jika dia saja sekaget ini, aku yakin benar kalau ucapannya tidaklah dusta. Sepertinya, memang ada yang dilakukan oleh ibu mertua usai Bang Agam kembali ke kota semalam.“Kita masuk dulu dan tem

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 37: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 37: Membalas Mertua dan SuamikuBang Agam tidak gentar meski terus mendengar penolakan. Pria itu sudah mengambil keputusan tegas untuk membawa pulang Ibu dan keluarga Iqmal ke desa.Saat Ibu mertua terus memohon supaya Bang Agam melunak, pria itu malah menelepon taksi agar menjemput sampai ke rumah. Dia menelepon dua taksi, satu untuk keluarga ibu mertua, satunya lagi untuk adikku.“Gam, Ibu enggak mau pulang ke desa. Ibu mau di sini sama kamu,” rintih ibu mertua lagi. Perempuan itu memeluk lengan Bang Agam sekuat mungkin.Sejujurnya, aku terenyuh melihat ibu mertua sampai menangis. Perempuan itu memang sering kali membuat diriku kesal di rumah ini, tapi memaksa mereka kembali di malam hari juga kurang bijak menurutku.Di saat yang bersamaan, aku juga tidak bisa menentang Bang Agam. Pria itu menetapkan keputusan bukan tanpa alasan

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 36: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 36: Membalas Mertua dan SuamikuBegitulah semuanya selesai. Ibu mertua dan keluarganya yang menghadapi rasa malu jadi enggan beradu tatap denganku. Mereka juga tidak mau makan malam di meja yang sama, malah membawa makanan dan menghabiskannya di kamar bersama-sama.Aku juga tidak memaksa, membiarkan mereka melakukan apa yang mereka suka hingga Bang Agam kembali ke rumah ini. Jangan sampai duniaku yang nyaman dibolak-balik oleh mereka sekali lagi.“Kak, sampai kapan keluarga Bang Agam di sini?” Adikku berujar dengan suara lebih rendah. “Kemarin cuma Ibunya Bang Agam yang tinggal di sini, sekarang semuanya pindah ke sini?”Dia mengusaikan makan malamnya. Pria itu mencuci piring yang dipakai di wastafel lalu menyimpannya kembali di rak piring. Sungguh, aku tidak menduga jika pria muda itu akan punya sikap seperti ini.&ld

  • Membalas Mertua dan Suamiku   Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku

    Bab 35: Membalas Mertua dan Suamiku “Ya Allah, aku enggak mimpi, kan?” lirihku.Sosok di depanku ini, kenapa dia ada di sini? Kami dipisahkan oleh benua, lautan, dan darat yang sangat luas. Lantas, kenapa tiba-tiba dia ada di rumahku? Tidak ada kabar soal kepulangannya yang selama ini masih menjadi misteri bagiku. Anak ini, dia memilih menetap di negeri orang karena kecewa dengan keputusanku yang tetap memilih untuk menikahi Bang Agam dulu.“Kak Ima, kenapa nangis, sih?” balasnya. Pria itu tidak melirik diriku meski aku yang berbicara dengannya. “Kamu kenapa di sini, Dek?”“Aku pulang, memangnya kenapa lagi?” Pria muda itu masih menatap Qais lebih dalam. Dia juga mengusap pipi gembul anak lelaki itu sebelum kemudian berdiri tegak seperti semula. “Kakak mau ke mana? Bang Agam mana?” tanyanya seray

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status