Bab 2
"Kamu tunggu saja di rumahmu," ujar Rindi memutuskan sambungan telepon.
Rindi meraih kunci mobil dan mengambil semua barang-barang pentingnya. Ia memasukkan barang-barang itu ke dalam tas besar dan segera pergi meninggalkan rumah.
"Seperti janji kita, jika kamu berani selingkuh, maka aku akan membuangmu beserta kenangan kita," ujar Rindi menatap Poto pernikahannya. Ia buru-buru membawa mobil meninggalkan halaman rumahnya.
Sesampai di halaman sebuah cafe, Rindi menghubungi seseorang. "Pak, saya sudah di depan cafe bersama mobilnya."
***
"Rindi. Kamu kok nggak bangunin aku sih?" Malik yang baru saja terbangun dari tidurnya sangat terkejut ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. "Loh, kok Rindi nggak ada?"
Lelaki itu mengusap rambutnya dengan kasar karena pagi ini ada meeting penting di kantornya. Sedangkan Rindi tidak membangunkannya. Bahkan batang hidung perempuan itu pun tidak kelihatan.
"Rindi! Rindi! Kamu di mana?" Malik terus berteriak memanggil Rindi sambil mencari istrinya itu di setiap sudut rumah.
Namun tak ditemukannya keberadaan Rindi membuat ia menggemeletukan giginya. "Sial! Ke mana perginya Rindi? Dia main pergi seenaknya saja!"
Umpatan demi umpatan meluncur begitu saja dari bibir Malik. Ia memutuskan untuk menghubungi Karin dan meminta Karin untuk membantu menyusun persiapan meeting di kantor.
"Kamu kenapa kelabakan seperti itu sih, Sayang? Emangnya ngecas tadi malam belum puas?" tanya Karin di seberang telepon dengan nada genitnya.
"Bukannya belum puas, Sayang. Udah puas banget. Malah aku sampai lemas." Nada bicara Malik menjadi lebih lembut dari pertama menelepon.
"Terus kenapa? Kok suaranya seperti panik gitu?"
"Rindi tidak membangunkanku. Dia sekarang juga tidak ada di rumah."
"Mungkin dia ke pasar seperti biasa. Bukannya kamu sudah muak melihat wajahnya yang jelek itu?
"Aku emang sudah muak lihat wajahnya yang jelek. Tapi aku masih butuh pelayanan dia sebelum bekerja seperti sekarang ini."
"Apa perlu aku yang setiap pagi ke sana untuk membantu melayanimu?"
"Tidak perlu, Sayang. Kita cukup bersenang-senang di belakang Rindi saja. Dia tidak perlu tahu tentang hubungan ini."
Malik menutup sambungan telepon dan mulai bersiap-siap berangkat ke kantor. Lelaki itu sempat berdecak kesal karena ternyata tidak ada sarapan apapun di atas meja makan.
Ia hendak mengambil kunci mobil di tempat biasa. Namun keningnya berkerut karena ternyata kunci mobil itu sudah tidak ada lagi di sana.
"Di mana sih kunci mobilnya? Seingatku tadi malam kutaruh di sini," ujar Malik sambil mencari kunci mobil itu di tempat yang berbeda.
Namun lagi-lagi Ia terkejut ketika tanpa sengaja menoleh ke arah garasi mobil yang ternyata sudah tidak ada lagi mobil di sana.
"Tidak mungkin Rindi membawa mobil itu. Emangnya dia mau bawa ke mana?" Malik bergumam sambil mengambil ponsel dan segera menghubungi Rindi.
Ia hampir saja melempar ponselnya karena Rindi tak kunjung menyahut panggilan telepon darinya.
"Ada apa? Aku sedang berada di luar kota. Mobil aku bawa." Rindi mengirimkan W******p kepada Malik membuat lelaki itu semakin mengusap kasar wajahnya.
"Arrgghh!" Malik benar-benar frustasi oleh kelakuan Rindi yang menghilang dengan seenaknya. Ia terus menghubungi Rindi dengan harapan perempuan itu segera mengangkat panggilan telepon darinya.
Bersamaan dengan itu, panggilan telepon dari kantor pun berkali-kali karena Malik tak kunjung sampai untuk mempresentasikan materi di meeting kali ini.
***
"Udah dong. Nggak usah kamu pikirin lagi istrimu yang nggak berguna itu," ujar Karin sambil mengusap-usap dada Malik. "Yang penting semuanya sudah bisa aku handle. Perkara kemana perginya istri jelekmu itu, biarkan saja dia." Dikecupnya rahang tegas Malik dengan penuh cinta.
"Ya iyalah. Makanya aku beruntung banget memiliki kamu sebagai kekasihku. Kamu tuh bisa diandalkan. Nggak kayak Rindi yang bisanya cuma memasak aja," sahut Malik sambil menoel ujung hidung Karin tak kalah mesra.
"Terus kenapa masih cemberut gitu sih?"
"Aku pusing karena mobil dia bawa juga."
"Biarin ajalah. Kan ada aku yang akan antar jemput kamu setiap hari."
"Kamu benar-benar kekasih idaman." Malik menarik tubuh seksi Karin ke dalam pelukannya.
Keduanya berpelukan mesra cukup lama sambil sesekali saling mengecup. Mereka terpaksa melepas pelukan saat pintu ruangan diketuk dari luar.
"Aku keluar dulu ya. Nanti kita sambung setelah pulang," bisik Karin dengan genitnya.
Setelah pulang dari kantor, Malik langsung menghubungi Karin dan meminta Karin untuk segera menjemputnya.
"Berapa lama istrimu pergi?" tanya Karin ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
"Aku tidak tahu pasti. Soalnya tadi dia langsung mematikan sambungan telepon. Lagi pula aku tidak peduli berapa lama dia pergi."
"Aku juga tidak peduli berapa lama dia pergi. Tapi kalau dia pergi lama dari rumahmu, bukankah lebih baik kita bercinta di rumahmu saja?" ujar Karin sambil tersenyum mengembang.
Malik juga ikut tersenyum mendengar perkataan Karin. "Kamu memang cerdas. Daripada kita harus menghambur-hamburkan uang untuk memesan kamar hotel. Lebih baik kita menghabiskan waktu di rumahku saja."
Ia pun segera menghubungi Rindi untuk menanyakan berapa lama istrinya itu berada di luar kota.
"Kayaknya aku di luar kota selama 2 minggu. Soalnya aku mau menghadiri acara pernikahan temanku. Aku diminta jadi bridesmaid di sini," sahut Rindi yang membuat Malik tersenyum bahagia.
"Ya sudah hati-hati di sana. Kabari aku kalau kamu sudah mau pulang," ujar Malik sebelum memutuskan sambungan telepon.
Keduanya langsung berpelukan dengan perasaan berbahagia. Mereka bahkan keluar dari mobil dan masuk ke dalam kamar tanpa melepaskan tautan di bibir. Keduanya benar-benar sudah dimabuk asmara sehingga tidak peduli bermesraan ketika masih berada di luar rumah.
"Mereka sudah masuk ke dalam rumah. Kapan kita turun?" Dinda menoleh pada Rindi yang masih menyandarkan punggungnya di bangku di sampingnya.
"Sekarang mereka masih pemanasan. Kita tunggu saja sampai mereka benar-benar sudah terlena," ujar Rindi seraya membuka laptopnya.
"Kamu?" Dinda mengerutkan keningnya melihat Rindi yang tersenyum licik saat melihat adegan di dalam laptop tersebut.
"Kok buru-buru amat sih? Padahal aku baru mau ngobrol sama kamu," ujar Alvin yang baru saja datang bersama Lia. "Eee .. aku ...""Duduk lagi lah."Sepasang suami istri itu duduk di hadapan Deva dan mempersilahkan Deva duduk kembali. "Dari mana? Banyak banget belanjaannya?" Deva melirik ke arah barang-barang yang diberikan oleh Lia kepada asisten rumah tangga. "Oleh-oleh buat orang-orang di Bangka Belitung.""Emangnya kamu sudah mau pulang ke sana?" Deva menoleh ke arah Rindi dan Alvin bergantian. "Rencananya iya. Minggu depan kami akan segera pulang ke Bangka Belitung. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaanku di sana," sahut Alvin. Rindi terkejut mendengar perkataan abangnya. Secara Alvin tidak pernah memberitahukan kepada Rindi Kalau ia akan kembali pulang ke Bangka Belitung. Tiba-tiba Rindi merasakan kesedihan menjalar di dadanya. Pasalnya selama beberapa bulan terakhir, semenjak ia kembali ke rumah papanya, ada Alvin yang setiap hari selalu dilihatnya dan membimb
"Iya. Kalau kita sudah menikah, perusahaan tidak bisa memecat kita. Bilang saja kalau kita sama-sama suka dan memilih menikah langsung agar tetap mempertahankan pekerjaan," sahut Malik. Karin merasa lega mendengar jawaban dari Malik. Ia lega karena tak dipecat dari pekerjaannya dengan ide yang diberikan oleh Malik. Sepasang kekasih itu pun mengemasi barang-barang mereka karena ingin mencari kontrakan lain yang tentunya lebih aman. "Untuk sementara waktu kamu pulang saja dulu ke rumahmu. Biar mas sendiri yang tinggal di kontrakan. Supaya orang-orang tidak curiga saat kita mengatakan ingin menikah," ujar Malik lagi. "Mas yakin nggak mau tinggal satu rumah denganku?""Ini semua demi kebaikan kita. Lagi pula sayang juga kalau kita harus mencari rumah kontrakan yang hanya ditempati sebelum kita menikah," sahut Malik. Malik berencana mengantarkan Karin pulang ke rumahnya bersama mobil kekasihnya itu. Sementara Ia memutuskan untuk membeli sepeda motor baru yang nanti akan digunakannya u
"Mereka yang membiayai pengobatan rumah sakit orang tua saya. Jadi saya benar-benar merasa berhutang Budi pada mereka," sahut sekretaris itu masih dengan linangan air mata. Rindi menghela nafas mendengar perkataan sekretarisnya itu. Ia tak menyangka jika Om Abdul dan Om Gunawan telah mempergunakan sekretarisnya yang lemah untuk menghancurkan perusahaan papanya. "Saya akan bayar hutangmu pada Om Gunawan dan Om Abdul. Dan saya tidak akan memecatmu dari perusahaan ini. Dengan catatan, kamu merahasiakan kepada Om Gunawan dan Om Abdul tentang bocornya rahasia ini," ujar Rindi. Sekretaris itu mengangguk dan menuruti semua yang diminta oleh Rindi. Ia merasa lebih aman bekerja sama dengan Rindi daripada dengan kedua laki-laki yang sudah tua itu. Setelah selesai membicarakan tentang permasalahan perusahaan, Rindi segera menghubungi Deva untuk menanyakan kerjasama selanjutnya. "Kamu tenang aja. Sekarang aku sedang fokus pada proyek baru yang tengah aku kelola. Proyek itu aku serahkan kepad
"Ini benar-benar aneh. Berani-beraninya mereka meletakkan nominal yang cukup besar dan jauh dari target yang aku tentukan." Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia kembali membuka lembaran demi lembaran yang ada di dalam berkas itu. Hingga akhirnya ia menyadari kalau ada banyak perbedaan nominal yang tertera di file di dalam komputer dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ke ruangan saya sekarang!" Rindi segera menghubungi sekretarisnya untuk segera masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, sekretaris Rindi masuk ke dalam ruangan. "Apa-apaan ini? Kenapa berkasnya tidak sama dengan apa yang saya tulis di dalam file ini?" Ujar Rindi seraya menghempaskan map yang ada di hadapannya. "Ituuuu ...." Sekretaris itu terlihat gugup mendengar Rindi yang berbicara dengan nada lantang. "Itu kenapa? Jelas-jelas kemarin saya sudah mengirimkan file ini kepada anda tapi mengapa anda memberikan berkas yang berbeda pada saya?" Tanya Rindi lagi. "Kalau permintaan kita segini besar kepad
"Kamu diantar siapa?" Malik langsung menghadang Karin yang baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Karin terkejut melihat Malik yang tengah berdiri sambil menyilangkan kakinya di depan pintu kantor tersebut. Ia merasa lega karena tadi kaca mobil kekasihnya tidak terbuka sehingga Malik pasti tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. "Barengan sama teman. Kebetulan dia lewat sini. Jadi aku numpang sama dia," sahut Karin. Ia berlalu masuk ke dalam kantor. "Laki-laki atau perempuan? Kok kamu senyum-senyum gitu sih?" Malik setengah berlari mengejar Karin."Kita ini di kantor ya, Mas. Jangan sampai orang-orang pada curiga dengan kedekatan kita," ujar Karin seraya mendelik pada Malik. Malik berdecih lirih dan membiarkan Karin yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Ia juga khawatir jika nanti ada teman kantor yang melihat kedekatannya dengan Karin yang nanti akan mengundang kecurigaan bagi mereka. Secara peraturan di kantor tidak memperbolehkan ada karyawan yang menjalin hubungan. "B
"Om yang menjadi saksinya." Tiba-tiba Pak Abdul hadir di ruangan itu. Rindi menatap Pak Abdul dan Pak Gunawan bergantian. Ia sangat yakin kalau kedua saudara ayahnya itu tengah mengelabuinya. "Mana buktinya kalau Papa memberikan peralihan perusahaan kepada kalian berdua?" Ujar Rindi seraya menadahkan tangannya. "Kalau hanya melalui omongan saja, siapa yang mau percaya?" Tambahnya lagi. Pak Gunawan dan Pak Abdul saling pandang. Mereka saling melirik karena tak menyangka Rindi akan menanyakan hal tersebut. "Sudahlah, Rindi. Hal seperti ini tidak perlu diributkan." Pak Abdul menatap geram pada keponakannya itu. "Kamu sudah membaca sendiri 'kan surat yang tertulis di dalam map itu.""Aku memang sudah membacanya. Tapi aku tetap tidak percaya kalau Papa yang menuliskan surat peralihan itu." Rindi berkata dengan tegas. "Karena aku tahu persis siapa kuasa hukum Papa," tambahnya lagi. "Kenapa harus pakai kuasa hukum segala? Ini hanya perkara tentang peralihan perusahaan sementara menjelan