Bab 1
"Rindi, itu bukannya Mas Malik, ya?"
Rindi yang sedang fokus menatap lurus ke jalan, seketika mengalihkan pandangannya ke arah jari telunjuk sahabatnya.
Mata perempuan itu melebar sempurna ketika melihat di mobil yang berada di sebelah mobil mereka. Terlihat jelas wajah suaminya sedang bermesraan dengan seorang perempuan.
"Mas Malik? Siapa perempuan itu?" Rindi menggigit bibir bawahnya dan segera mengambil ponsel yang ada di dalam tasnya.
Perempuan itu segera menghubungi sang suami untuk memastikan apakah suaminya berbohong atau tidak.
"Assalamualaikum, Mas? Lagi di mana?" tanya Rindi. Ia berusaha berbicara dengan nada santai agar tidak terdengar kaku dan bergetar.
"Waalaikumsalam, Sayang. Lagi di kantor lah. Lagi kerja. Emangnya kenapa?" Malik menyahut di seberang telepon.
"Beneran lagi di kantor?"
"Ya benarlah. Kalau nggak di kantor, Kamu pikir aku di mana?"
"Akuuu ...."
"Udah ya. Aku masih banyak kerjaan nih." Malik memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Terlebih saat matanya melihat Malik yang saat ini sedang berciuman dengan perempuan itu di dalam mobil. Dadanya bergemuruh dengan hebat.
"Tega kamu, Mas. Kamu gunakan mobil untuk bermesraan dengan perempuan lain. Mana kaca-nya bening seperti itu," ujar Rindi dengan senyum kecut.
"Mobil itu kamu yang beli loh. Enak aja deh bermesraan sama perempuan lain tidak mobil itu," ujar Dinda yang juga ikut merasa sakit hati melihat kemesraan Malik dan perempuan yang ada di mobil itu.
"Lampunya sudah hijau. Kita ikuti mobil itu," ujar Rindi seraya menunjuk ke arah mobil Malik yang sudah mulai meninggalkan jalan raya.
Rindi dan Dinda sebenarnya berencana untuk menikmati makan siang di cafe Dinda yang baru saja buka. Mereka ingin merayakan kebahagiaan Dinda yang akhirnya bisa mewujudkan impian untuk mendirikan sebuah kafe.
"Kamu yakin mau ngikutin mereka? Gimana kalau mereka pergi ke suatu tempat yang ...." Dinda tak mampu melanjutkan perkataannya.
"Tidak masalah. Aku ingin segera menyelesaikan masalah ini dengan Mas Malik." Rindi menyahut dengan air mata yang jatuh berderai.
Ia sungguh tak menyangka jika Malik begitu tega menghianati rumah tangganya. Padahal selama 5 tahun pernikahan, Rindi rela meninggalkan keluarganya demi bisa mendampingi Malik yang bercita-cita ingin bekerja di sebuah perusahaan besar.
Rindi yang diberikan modal usaha oleh orang tuanya, akhirnya memilih berjualan online. Ia memberikan semua keuntungan dari berjualan online itu untuk membiayai kuliah S2 Malik agar suaminya itu bisa mendapati posisi yang tinggi di sebuah perusahaan impiannya.
"Aku 'kan udah bilang sejak dulu. Jangan terlalu baik sama Malik. Tapi kamu nggak mau mendengarkan perkataanku," ujar Dinda sambil menggenggam erat setir mobil.
Dinda juga ikut merasakan sakit hati yang dirasakan oleh Rindi. Ia yang menjadi saksi utama melihat bagaimana Rindi begitu berjuang mati-matian untuk bisa mengangkat kehidupan Malik menjadi lebih baik seperti saat ini.
"Cowok tuh kalau udah punya kehidupan yang mapan, pasti selingkuh. Tuh lihat contohnya Malik."
Rindi tidak menanggapi perkataan Dinda. Saat ini ia Tengah memikirkan bagaimana cara membalaskan dendam dan sakit hatinya pada Malik.
"Untung saja semua aset yang aku miliki atas namaku sendiri. Jadi aku bisa memiliki harta ini secara keseluruhan," ujar Rindi sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
"Kita putar arah saja. Kita pulang kembali ke rumahku. Aku harus mengamankan sertifikat rumah dan surat-menyurat penting lainnya," ujar Rindi.
"Terus gimana dengan Malik dan selingkuhannya? Nggak jadi kita gebrak?"
"Kapan-kapan saja. Dia pasti sedang terlena dengan perempuan itu dan tidak tahu kalau kita sedang mengintainya," sahut Rindi santai.
Dinda pun memutar setir kemudinya menuju belokan yang lain untuk pulang ke rumah Rindi. Sepanjang perjalanan, perempuan itu tidak berani berbicara banyak pada Rindi karena ia khawatir akan menambah kesedihan pada sahabatnya itu.
"Kamu titipkan saja dulu semua surat-menyurat rumah dan mobil padaku. Biar aku yang mengantarkannya pada kedua orang tuamu," ujar Dinda ketika mereka sudah sampai di rumah dan sudah menyimpan semua barang-barang penting di rumah itu.
"Tidak. Aku sudah tidak membutuhkan rumah dan mobil ini lagi. Jadi lebih baik semuanya aku jual saja," ujar Rindi seraya menatap rumah itu dengan penuh kebencian.
"Kamu yakin? Tapi rumah ini kamu bangun dengan susah payah." Dinda terbelalak mendengar perkataan Rindi.
"Yakinlah. Sekarang lebih baik kamu bantu aku menjual rumah ini tanpa sepengetahuan Mas Malik."
Dinda akhirnya membantu Rindi mencari pembeli rumah Rindi. Tak butuh waktu lama akhirnya rumah itu pun sudah ada pembelinya karena Rindi menjual dengan harga di bawah standar.
"Katakan pada pembelinya itu kalau dia baru akan menempati rumah ini pada hari ke-15 setelah akad jual beli. Aku ingin memberi kejutan kepada Mas Malik," ujar Rindi sambil tersenyum miring.
***
"Baru pulang, Mas?" Rindi menghampiri Malik yang baru saja masuk ke dalam rumah sambil meregangkan dasinya.
"Iya nih. Soalnya banyak banget kerjaan di kantor," sahut Malik datar.
Lelaki itu melangkah gontai ke dalam kamar. Ia langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang tanpa melepas pakaian kerjanya terlebih dahulu.
"Mas, Malam ini aku sangat merindukanmu. Kita juga sudah dua minggu tidak berhubungan. Bolehkan kalau aku memintanya sekarang?" ujar Rindi sambil mengusap paha Malik seperti biasa.
Rinti sebenarnya merasa jijik melakukan itu. Namun ia harus mengetahui alasan mengapa Malik akhir-akhir ini jarang menyentuhnya. Malik selalu mengatakan lelah pulang bekerja sehingga ingin segera beristirahat.
"Besok malam aja ya, Sayang. Sekarang aku benar-benar sedang capek," ujar Malik yang langsung menarik selimut dan tertidur dengan pulas.
"Lepas dulu pakaiannya."
Namun ucapan Rindi sedikitpun tidak didengarkan oleh Malik. Lelaki itu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Rindi melangkah menuju tas kerja Malik dan memeriksa isi tas kerja itu secara keseluruhan. Ia tersenyum tipis ketika melihat bill sebuah hotel bintang 5 di kota Jambi.
"Ternyata kamu dari sini? Pantas saja tubuhmu lelah." Rindi mengembalikan bill tersebut. "Silakan saja kamu bersenang-senang dengan kekasihmu itu. Besok aku akan memberikan kejutan yang lebih manis lagi kepadamu, Mas," ujar Rindi dengan senyum penuh kebencian.
Ia segera menghubungi Dinda dan mengutarakan rencana yang telah ia susun.
"Aman. Aku juga sudah menyerahkan pekerjaan di cafe kepada asistenku. Pokoknya besok pagi kita akan memberi pelajaran kepada laki-laki sialan itu," ujar Dinda melalui pesan w******p-nya.
"Aku berangkat sekarang," ujar Rindu sebelum menutup sambungan telepon.
Dinda terkejut mendengar ucapan Rindi. " Sekarang? Mau kemana? Bukannya besok kita beraksi?"
"Ini benar-benar aneh. Berani-beraninya mereka meletakkan nominal yang cukup besar dan jauh dari target yang aku tentukan." Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia kembali membuka lembaran demi lembaran yang ada di dalam berkas itu. Hingga akhirnya ia menyadari kalau ada banyak perbedaan nominal yang tertera di file di dalam komputer dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ke ruangan saya sekarang!" Rindi segera menghubungi sekretarisnya untuk segera masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, sekretaris Rindi masuk ke dalam ruangan. "Apa-apaan ini? Kenapa berkasnya tidak sama dengan apa yang saya tulis di dalam file ini?" Ujar Rindi seraya menghempaskan map yang ada di hadapannya. "Ituuuu ...." Sekretaris itu terlihat gugup mendengar Rindi yang berbicara dengan nada lantang. "Itu kenapa? Jelas-jelas kemarin saya sudah mengirimkan file ini kepada anda tapi mengapa anda memberikan berkas yang berbeda pada saya?" Tanya Rindi lagi. "Kalau permintaan kita segini besar kepad
"Kamu diantar siapa?" Malik langsung menghadang Karin yang baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Karin terkejut melihat Malik yang tengah berdiri sambil menyilangkan kakinya di depan pintu kantor tersebut. Ia merasa lega karena tadi kaca mobil kekasihnya tidak terbuka sehingga Malik pasti tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. "Barengan sama teman. Kebetulan dia lewat sini. Jadi aku numpang sama dia," sahut Karin. Ia berlalu masuk ke dalam kantor. "Laki-laki atau perempuan? Kok kamu senyum-senyum gitu sih?" Malik setengah berlari mengejar Karin."Kita ini di kantor ya, Mas. Jangan sampai orang-orang pada curiga dengan kedekatan kita," ujar Karin seraya mendelik pada Malik. Malik berdecih lirih dan membiarkan Karin yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Ia juga khawatir jika nanti ada teman kantor yang melihat kedekatannya dengan Karin yang nanti akan mengundang kecurigaan bagi mereka. Secara peraturan di kantor tidak memperbolehkan ada karyawan yang menjalin hubungan. "B
"Om yang menjadi saksinya." Tiba-tiba Pak Abdul hadir di ruangan itu. Rindi menatap Pak Abdul dan Pak Gunawan bergantian. Ia sangat yakin kalau kedua saudara ayahnya itu tengah mengelabuinya. "Mana buktinya kalau Papa memberikan peralihan perusahaan kepada kalian berdua?" Ujar Rindi seraya menadahkan tangannya. "Kalau hanya melalui omongan saja, siapa yang mau percaya?" Tambahnya lagi. Pak Gunawan dan Pak Abdul saling pandang. Mereka saling melirik karena tak menyangka Rindi akan menanyakan hal tersebut. "Sudahlah, Rindi. Hal seperti ini tidak perlu diributkan." Pak Abdul menatap geram pada keponakannya itu. "Kamu sudah membaca sendiri 'kan surat yang tertulis di dalam map itu.""Aku memang sudah membacanya. Tapi aku tetap tidak percaya kalau Papa yang menuliskan surat peralihan itu." Rindi berkata dengan tegas. "Karena aku tahu persis siapa kuasa hukum Papa," tambahnya lagi. "Kenapa harus pakai kuasa hukum segala? Ini hanya perkara tentang peralihan perusahaan sementara menjelan
Rindi menyunggingkan senyum saat melihat Karin dan lelaki itu masuk ke dalam salah satu apartemen. Ia pun segera mengambil gambar nomor apartemen tersebut "Dari awal aku sudah curiga. Jangan-jangan bayi yang dikandung oleh Karin bukan bayi Mas Malik. Karena aku tidak mungkin mandul," ujar Rindi sambil tersenyum kecil."Kamu akan mendapat kejutan besar, Mas. Aku akan membuktikan kebusukan Karin agar kamu sadar akan kesalahanmu selama ini," tambahnya lagi. Rindi buru-buru meninggalkan lorong tersebut dan segera masuk ke dalam apartemen Deva. Sesampai di dalam apartemen, ia segera mengabarkan Deva. "Aku menemukan fakta adanya skandal antara Karin dan seseorang," ujar Rindi. "Skandal? Tentang apa?""Besok saja aku beritahu. Sekarang badanku benar-benar capek dan aku mau istirahat." Rindi memutuskan sambungan telepon secara sepihak. "Tapi, Rin." Deva menggerutu karena Rindi memutuskan sambungan telepon tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu. Namun seper detik berikutnya lelaki itu men
"Jangan ganggu aku!" Pergi kamu dari sini!" Malik mengibas-ngibaskan tangannya ke arah sosok besar itu. Tanpa pikir panjang ia langsung ambil langkah seribu. Tak dipedulikannya kondisinya yang saat itu tengah memakai celana pendek dan baju kaos. "Aku harus segera pergi meninggalkan rumah terkutuk itu. Aku tidak mau mati konyol di sana," ujar Malik yang langsung merogoh ponselnya. Malik merasa beruntung karena tadi ia sempat memasukkan dompet ke dalam saku celananya. Itu dikarenakan ia ingin memesan makanan delivery karena perutnya yang terasa lapar. "Sebaiknya aku menginap di hotel saja. Daripada tinggal di rumah mewah tapi penuh dengan hantu," ujarnya sembari mencari hotel melalui ponselnya. Malik pun menemukan hotel termurah dan segera mendatangi hotel itu dengan memakai ojek online. Ia mengistirahatkan tubuhnya dan berusaha menghubungi Karin kembali. "Keterlaluan sekali si Karin. Berani-beraninya dia ninggalin aku seorang diri di rumah. Padahal dia tahu kalau aku ini seorang
"Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya kalian mengusir Om dari sini?" Pak Abdul terkejut melihat Alvin yang mengusirnya. "Kami selalu diajarkan kok sama Papa, tapi kami tidak akan pernah membiarkan ada orang yang ingin menguasai harta Papa," ujar Rindi. Sedikitpun ia tidak takut pada ketiga saudara papanya yang saat ini terang-terangan ingin menguasai harta keluarga mereka. "Ingat ya, Om. Papa memang sedang sekarat di ruang ICU, tapi ada Rindi dan Bang Alvin yang akan mengelola harta kami. Jadi kalian tidak usah repot-repot mengurusi yang bukan hak kalian," tambah Rindi lagi. Pak Abdul menoleh pada kedua saudaranya. Hingga akhirnya mereka pun pergi meninggalkan rumah tersebut. "Dev, kamu masih di rumah sakit 'kan?" Alvin mengirimkan pesan pada Deva. "Masih. Ini lagi dalam ruangan ICU," balas Deva. Alvin dan Rindi bergegas menuju rumah sakit karena khawatir jika ketiga pamannya itu akan kembali datang ke rumah sakit dan berbuat jahat pada Papa mereka. Sepanjang perjalanan me
"Kami ingin mendiskusikan tentang perusahaan Bang Chandra." Pak Abdul melanjutkan ucapannya. Rindi dan Alvin yang duduk berdampingan hanya mendengarkan dengan seksama. "Mengingat kondisi Bang Chandra yang saat ini sedang kritis, kami memutuskan untuk mengambil alih perusahaan miliknya. Dan yang akan mengambil alih perusahaan induk adalah Gunawan," ujar Pak Abdul. "Om Gunawan? Kenapa harus Om Gunawan?" Alvin yang sedari tadi sudah ingin mengeluarkan kata-kata segera menanyakan hal tersebut. "Karena Om Gunawan adik Papa kalian yang paling muda. Dia masih energik dan pasti bisa mengelola perusahaan itu dengan baik," sahut Pak Abdul. "Itu untuk perusahaan yang ada di kota Jambi. Sementara untuk perusahaan cabang, biar nanti akan dikelola oleh Om Syahril.""Sedangkan perkebunan, biar Om Abdul sendiri yang akan mengelolanya karena dekat dengan lahan milik Om Abdul." Lelaki bertubuh gemuk itu melanjutkan ucapannya. "Terus Om kira kami berdua akan menerima keputusan yang Om buat begitu
"Kok malah minta uang sama aku? Kan kamu punya uang sendiri?" ujar Malik kesal. "Hallo. Yang mau makan 'kan kamu. Jadi kamulah yang harus beli," sahut Karin tanpa menurunkan tangannya. Malik merogoh dompet di saku celananya. Lalu memerintahkan Karin untuk segera memesan makanan karena perutnya yang sudah terasa lapar. "Ya sudah, kamu mandi saja dulu. Nanti kita pikirkan bagaimana caranya supaya jabatan kamu bisa naik lagi," ujar Karin tersenyum.Malik menuruti perkataan Karin. Lelaki itu segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan menenangkan pikirannya. Karin yang melihat Malik masuk ke dalam kamar, segera merogoh ponselnya. "Sayang, Mas Malik diturunkan dari jabatannya." Begitulah pesan yang dikirimkan Karin melalui ponselnya itu. "Kok bisa?""Katanya dia diturunkan jabatan karena tidak datang meeting tadi siang.""Bukannya sudah biasa seperti itu?""Iya benar. Tapi sekarang perusahaan diambil alih anak Pak Jodi. Jadi beliaulah yang menurunkan jabatan Mas Malik.""
"Kamu beneran nggak tahu kebiasaan buruk suamimu dengan urusan pekerjaan?" Deva menatap serius pada Rindi. "Aku bener-bener nggak ngerti?""Ternyata Malik itu sering banget terlambat datang meeting ke kantor. Berbagai alasan yang selalu dia sampaikan kepada Faisal. Salah satunya tidak enak badan." Deva pun akhirnya meluruskan pembicaraannya. "Nggak mungkin. Selama ini setiap kali ada meeting penting, Mas Malik selalu minta dibangunkan pagi sama aku. Jam 07.00 juga dia sudah berangkat ke kantor."Deva terkekeh mendengar perkataan Rindi. "Aku serius, Dev." "Aku percaya kok sama kamu. Yang membuat aku tidak habis pikir, kenapa perempuan smart seperti kamu bisa dibohongi oleh laki-laki seperti Malik." Deva menggelengkan kepalanya sambil menatap miris pada Rindi. "Selama ini, setiap kali sebelum meeting dia pasti pergi ke suatu tempat yang membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Di sanalah dia mengulur waktu untuk datang ke kantor.""Berarti Mas Malik punya selingkuhan lain? Secara Kari