Bab 3
Rindi hanya tersenyum mendengar perkataan Dinda. Perempuan itu memutar posisi laptopnya agar dilihat oleh sang sahabat.
"Ya ampun, Rin. Kapan kamu pasang cctv-nya?" Dinda terbelalak melihat apa yang ada di layar laptop tersebut.
"Kamu nggak perlu tanya kapan aku memasangnya. Yang pasti kita hanya perlu menunggu kapan mereka mulai beraksi," sahut Rindi sambil tersenyum dan menggenggam erat laptop yang ada di pangkuannya.
Keduanya sama-sama menyaksikan adegan di layar laptop itu dengan penuh kebencian. Terlebih Rindi yang merasa teramat sangat sakit hati karena ranjang yang digunakan oleh Malik dan Karin adalah ranjang pernikahannya dengan Malik.
"Sekarang Rin. Pas Mereka lagi asik-asiknya." Dinda langsung menutup layar laptop tersebut karena tidak sanggup lagi melihat pemandangan yang ada di sana.
Ia membuka pintu mobil dan mengajak Rindi untuk segera masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Malik dan Karin benar-benar sedang terbuai asmara. Keduanya sedang terbuai di atas awan yang membubung tinggi sehingga lenguhan terdengar dari kedua bibir sepasang kekasih itu.
Brakkk
"Rindi?!" Malik terkejut saat tiba-tiba pintu kamar dibuka.
Lelaki yang tengah menikmati percintaannya itu buru-buru turun dari ranjang. Sedangkan Karin langsung menutupi tubuh polosnya dengan selimut.
Malik buru-buru memungut pakaian yang berserakan di lantai. Tak lupa pula memberikan pakaian itu pada Karin.
"Rindi. Bukannya kamu sedang berada di luar kota?"
Plakkk
"Oh, ternyata begini ya kelakukan kamu saat jauh dariku?" Air mata Rindi jatuh begitu saja saat selesai melayangkan satu tamparan di pipi Malik. "Laki-laki tidak tahu terima kasih. Nyesal aku karena sedang memberikan kehidupan yang baik untukmu!"
"Berani kamu pukul aku, hah?" Malik mencekal pergelangan tangan Rindi. Ia merasa geram karena Rindi yang datang tiba-tiba dan mengacaukan percintaannya dengan Karin.
"Yang tidak tahu diri itu kamu. Seharusnya kamu berterima kasih karena aku bersedia menikahimu," ujar Malik seraya menghempaskan tangan Rindi yang kembali hendak melayangkan satu tamparan di pipinya.
"Aku berterima kasih? Untuk apa aku berterima kasih pada laki-laki penghianat seperti kamu! Aku yang sudah menghabiskan uang untuk membiayai kesuksesanmu. Tapi apa balasan kamu?" Bibir Rindi bergetar saat berucap demikian.
Hatinya terasa sangat sakit setiap kali mengenangkan bagaimana perjuangannya yang membantu membiayai kuliah Malik agar suaminya itu mendapat posisi yang cukup tinggi di perusahaan.
"Aku yang mati-matian hidup hemat. Aku yang mati-matian bekerja. Dan aku yang mati-matian mengusahakan dan membantu kamu untuk bisa masuk ke perusahaan besar itu. Lalu apa balasan darimu? Penghianatan ini?!"
Malik berdecih mendengar perkataan Rindi. "Ya, memang kamu yang sudah membantuku dari nol. Memang kamu yang sudah membantu aku menjadi sukses seperti sekarang. Tapi kamu juga jangan lupa, hanya aku laki-laki yang bersedia menikah dengan perempuan mandul seperti kamu!" Malik berkata saya menyunggingkan senyumnya.
"Apa maksudmu, Mas? Aku tidak mandul. Kita hanya belum diberi kesempatan untuk memiliki bayi saja." Rindi menggeleng dengan cepat.
"Kamu yakin kalau kamu tidak mandul? Tidak usah berkelah lagi. Buktinya sekarang Karin hamil anakku!" Malik menarik Karin yang sedang mengenakan pakaiannya agar mendekat kepadanya. Ia memeluk perempuan itu dengan erat.
"Di sini. Di rahim Karin ada anakku. Karin saat ini sedang hamil empat bulan. Dia mengadung anak yang lama aku impian," ujar Malik dengan wajah berbinar.
Rindi semakin terperangah mendengar perkataan Malik. "Empat bulan? Usia kandungannya sudah empat bulan? Itu artinya kamu sudah lama berselingkuh dariku?"
"Tentu saja. Aku dan Karin sudah menjalin hubungan selama 7 bulan terakhir. Dan hanya dua kali saja aku berhubungan intim dengannya, dia sudah hamil anakku," sahut Malik seraya mengusap perut Karin dan menepuk dadanya dengan bangga.
"Aku ini tokcer. Dasar kamu saja yang mandul. Lalu untuk apa aku mempertahankan istri mandul seperti kamu?" Ujarnya lagi seraya mendorong tubuh Rindi.
Dinda yang berada di belakang Rindi langsung menangkap tubuh sahabatnya yang didorong oleh Malik.
"Keterlaluan kamu, Mas. Seharusnya kalau memang kamu mempermasalahkan tentang bayi di keluarga kalian, kamu bisa membicarakannya baik-baik," ujar Dinda dengan nafas memburu.
"Jangan ikut campur kamu, Dinda. Kamu hanya orang lain dalam rumah tangga kami." Malik kemudian menunjuk ke arah Dinda dengan tatapan geram.
"Kamu!" Dinda hendak melangkah dan memberi pelajaran kepada Malik.
Namun Rindi meminta Dinda untuk keluar dari kamar tersebut karena ia ingin berbicara dengan Malik.
"Jadi ini penyebab kamu selingkuh? Ini yang menyebabkan kamu menduakanku?" Rindi mendekati Malik yang sedang berpelukan dengan Karin.
"Iya. Tadinya aku ingin menutupi perselingkuhan kami. Aku tidak mau kamu tahu karena takut menyakiti hatimu. Tapi sekarang, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan." Malik berkata dengan pongahnya.
"Kenapa kamu tidak membicarakan ini kepadaku dulu? Kenapa kamu tidak mengajakku untuk program memiliki bayi? Kenapa kamu malah berselingkuh?"
"Aku sengaja berselingkuh untuk membuktikan apakah aku ini tokcer atau tidak. Ternyata benar 'kan, Karin hamil anakku. Itu artinya kamu yang benar-benar mandul."
"Tega kamu, Mas."
"Aku tidak tega. Aku lebih memikirkan masa depan hidupku. Percuma saja aku hidup berkecukupan kalau tidak punya keturunan."
"Kamu jahat!"
"Heh, perempuan mandul. Nggak usah banyak drama. Sekarang Mas Malik sudah tidak membutuhkanmu. Jadi lebih baik menyingkir kamu dari sini," ujar Karin sambil mengusap dada Malik.
"Iya. Karin benar. Pergi kamu dari rumah ini. Aku sudah tidak sudi lagi melihatmu. Dan aku akan segera menikah dengan Karin." Malik menunjuk ke arah pintu kamar pada Rindi.
"Kamu akan menyesal karena berkhianat padaku, Mas," ujar Rindi seraya mengusap air matanya. "Aku tidak akan pernah memaafkanmu."
"Aku tidak butuh maafmu. Aku akan segera mengurus perceraian kita!" seru Malik ketika Rindi sudah berada di ambang pintu.
Rindi menoleh pada Malik. "Tidak perlu, Mas. Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Kamu tinggal tunggu pembalasanku."
"Maksudmu apa?"
Rindi meraih pegangan pintu. "Kita lihat saja nanti."
"Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia pergi." Karin langsung menarik Malik yang hendak mengejar Rindi.
Sementara itu, Rindi segera masuk ke dalam mobil Dinda. Ia memegangi dadanya yang terasa sakit dan nyeri. Buku-buku tangannya memutih menahan rasa sakit yang tak terkira.
"Aku benar-benar nggak nyangka. Bakalan seperti ini Rumah tanggaku dan Mas Malik. Apa yang harus aku lakukan?" Ia menoleh pada Dinda yang tengah menggenggam erat tangannya.
"Untuk sementara waktu, sebaiknya kamu tinggal di rumahku saja. Nanti kita pikirkan bagaimana cara membalas dendam perbuatan Malik dan kekasihnya," sahut Dinda.
Gadis itu langsung mengemudikan mobil membelah jalan Raya. Ia tak tega melihat Rindi yang seperti shock mendengar alasan mengapa Malik menghianatinya.
Selama berada di rumah Dinda. Rindi mengurung diri di dalam kamar. Ia butuh waktu untuk melupakan Malik dan rencana yang sudah disusunnya.
Hingga tiba-tiba dering ponsel membuyarkan lamunannya.
"Kita ketemuan di mana? Saya akan membawa semua barang bukti," ujar Rindi dengan nada datar.
"Saya tunggu di kantor saya saja. Supaya semua berkas bisa langsung diproses." Suara di seberang telepon membuat Rindi langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Dinda. Terima kasih karena sudah menampungku selama beberapa hari di sini. Sekarang saatnya aku harus pergi," ujar Rindi seraya memeluk Dinda ketika ia keluar dari kamar.
Dinda mengerutkan kening seraya menatap Rindi yang tengah menyeret kopernya. "Pergi? Emangnya kamu mau ke mana?"
"Kok buru-buru amat sih? Padahal aku baru mau ngobrol sama kamu," ujar Alvin yang baru saja datang bersama Lia. "Eee .. aku ...""Duduk lagi lah."Sepasang suami istri itu duduk di hadapan Deva dan mempersilahkan Deva duduk kembali. "Dari mana? Banyak banget belanjaannya?" Deva melirik ke arah barang-barang yang diberikan oleh Lia kepada asisten rumah tangga. "Oleh-oleh buat orang-orang di Bangka Belitung.""Emangnya kamu sudah mau pulang ke sana?" Deva menoleh ke arah Rindi dan Alvin bergantian. "Rencananya iya. Minggu depan kami akan segera pulang ke Bangka Belitung. Aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaanku di sana," sahut Alvin. Rindi terkejut mendengar perkataan abangnya. Secara Alvin tidak pernah memberitahukan kepada Rindi Kalau ia akan kembali pulang ke Bangka Belitung. Tiba-tiba Rindi merasakan kesedihan menjalar di dadanya. Pasalnya selama beberapa bulan terakhir, semenjak ia kembali ke rumah papanya, ada Alvin yang setiap hari selalu dilihatnya dan membimb
"Iya. Kalau kita sudah menikah, perusahaan tidak bisa memecat kita. Bilang saja kalau kita sama-sama suka dan memilih menikah langsung agar tetap mempertahankan pekerjaan," sahut Malik. Karin merasa lega mendengar jawaban dari Malik. Ia lega karena tak dipecat dari pekerjaannya dengan ide yang diberikan oleh Malik. Sepasang kekasih itu pun mengemasi barang-barang mereka karena ingin mencari kontrakan lain yang tentunya lebih aman. "Untuk sementara waktu kamu pulang saja dulu ke rumahmu. Biar mas sendiri yang tinggal di kontrakan. Supaya orang-orang tidak curiga saat kita mengatakan ingin menikah," ujar Malik lagi. "Mas yakin nggak mau tinggal satu rumah denganku?""Ini semua demi kebaikan kita. Lagi pula sayang juga kalau kita harus mencari rumah kontrakan yang hanya ditempati sebelum kita menikah," sahut Malik. Malik berencana mengantarkan Karin pulang ke rumahnya bersama mobil kekasihnya itu. Sementara Ia memutuskan untuk membeli sepeda motor baru yang nanti akan digunakannya u
"Mereka yang membiayai pengobatan rumah sakit orang tua saya. Jadi saya benar-benar merasa berhutang Budi pada mereka," sahut sekretaris itu masih dengan linangan air mata. Rindi menghela nafas mendengar perkataan sekretarisnya itu. Ia tak menyangka jika Om Abdul dan Om Gunawan telah mempergunakan sekretarisnya yang lemah untuk menghancurkan perusahaan papanya. "Saya akan bayar hutangmu pada Om Gunawan dan Om Abdul. Dan saya tidak akan memecatmu dari perusahaan ini. Dengan catatan, kamu merahasiakan kepada Om Gunawan dan Om Abdul tentang bocornya rahasia ini," ujar Rindi. Sekretaris itu mengangguk dan menuruti semua yang diminta oleh Rindi. Ia merasa lebih aman bekerja sama dengan Rindi daripada dengan kedua laki-laki yang sudah tua itu. Setelah selesai membicarakan tentang permasalahan perusahaan, Rindi segera menghubungi Deva untuk menanyakan kerjasama selanjutnya. "Kamu tenang aja. Sekarang aku sedang fokus pada proyek baru yang tengah aku kelola. Proyek itu aku serahkan kepad
"Ini benar-benar aneh. Berani-beraninya mereka meletakkan nominal yang cukup besar dan jauh dari target yang aku tentukan." Rindi mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia kembali membuka lembaran demi lembaran yang ada di dalam berkas itu. Hingga akhirnya ia menyadari kalau ada banyak perbedaan nominal yang tertera di file di dalam komputer dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. "Ke ruangan saya sekarang!" Rindi segera menghubungi sekretarisnya untuk segera masuk ke ruangannya. Beberapa saat kemudian, sekretaris Rindi masuk ke dalam ruangan. "Apa-apaan ini? Kenapa berkasnya tidak sama dengan apa yang saya tulis di dalam file ini?" Ujar Rindi seraya menghempaskan map yang ada di hadapannya. "Ituuuu ...." Sekretaris itu terlihat gugup mendengar Rindi yang berbicara dengan nada lantang. "Itu kenapa? Jelas-jelas kemarin saya sudah mengirimkan file ini kepada anda tapi mengapa anda memberikan berkas yang berbeda pada saya?" Tanya Rindi lagi. "Kalau permintaan kita segini besar kepad
"Kamu diantar siapa?" Malik langsung menghadang Karin yang baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Karin terkejut melihat Malik yang tengah berdiri sambil menyilangkan kakinya di depan pintu kantor tersebut. Ia merasa lega karena tadi kaca mobil kekasihnya tidak terbuka sehingga Malik pasti tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. "Barengan sama teman. Kebetulan dia lewat sini. Jadi aku numpang sama dia," sahut Karin. Ia berlalu masuk ke dalam kantor. "Laki-laki atau perempuan? Kok kamu senyum-senyum gitu sih?" Malik setengah berlari mengejar Karin."Kita ini di kantor ya, Mas. Jangan sampai orang-orang pada curiga dengan kedekatan kita," ujar Karin seraya mendelik pada Malik. Malik berdecih lirih dan membiarkan Karin yang hendak masuk ke dalam ruangannya. Ia juga khawatir jika nanti ada teman kantor yang melihat kedekatannya dengan Karin yang nanti akan mengundang kecurigaan bagi mereka. Secara peraturan di kantor tidak memperbolehkan ada karyawan yang menjalin hubungan. "B
"Om yang menjadi saksinya." Tiba-tiba Pak Abdul hadir di ruangan itu. Rindi menatap Pak Abdul dan Pak Gunawan bergantian. Ia sangat yakin kalau kedua saudara ayahnya itu tengah mengelabuinya. "Mana buktinya kalau Papa memberikan peralihan perusahaan kepada kalian berdua?" Ujar Rindi seraya menadahkan tangannya. "Kalau hanya melalui omongan saja, siapa yang mau percaya?" Tambahnya lagi. Pak Gunawan dan Pak Abdul saling pandang. Mereka saling melirik karena tak menyangka Rindi akan menanyakan hal tersebut. "Sudahlah, Rindi. Hal seperti ini tidak perlu diributkan." Pak Abdul menatap geram pada keponakannya itu. "Kamu sudah membaca sendiri 'kan surat yang tertulis di dalam map itu.""Aku memang sudah membacanya. Tapi aku tetap tidak percaya kalau Papa yang menuliskan surat peralihan itu." Rindi berkata dengan tegas. "Karena aku tahu persis siapa kuasa hukum Papa," tambahnya lagi. "Kenapa harus pakai kuasa hukum segala? Ini hanya perkara tentang peralihan perusahaan sementara menjelan