Keadaan yang menghimpit Sabrina saat ini nyatanya membuat Hasbi melebarnya senyuman. Pasalnya, saat ini Hasbi telah resmi dipecat secara hormat dari pangkat yang selama ini ia banggakan. Laporan Sabrina kala itu resmi diterima karena bukti surat pernikahan siri antara Hasbi dan Miranda. Ditambah dengan beberapa lempiran hasil print percakapan lewat aplikasi pesan yang berisi pengkhianatan Hasbi, termasuk bukti rekaman kesaksian RT yang menjadi saksi. Bukan hanya itu, Sabrina juga menyatakan ketidak relaannya atas pengkhiatan Hasbi padanya.Pria bertubuh gempal itu tak merasa iba pada Sabrina yang tengah dirundung nestapa saat ini. Keputusannya memilih Miranda dirasa sudah benar. Selain kecantikan Miranda melebihi dianggapnya melebihi Sabrina, wanita itu juga telah memberikan keturunan sebagai harta yang dianggap paling berharga."Lalu, kamu mau kerja apa setelah ini, Mas?" Miranda menyodorkan secangkir kopi di atas meja.Tak ada jawaban dari mulut Hasbi. Pria itu hanya memperbaiki pos
Dua insan yang sempat saling mencintai dan berbagi kasih selama sepuluh tahun kini tak lagi seiring jalan. Mereka bahkan tak bisa lagi berdamai. Terlebih Hasbi yang menjadi pengangguran akibat laporan Sabrina.Hasbi terus mencari bukti atas tuduhannya. Namun hasilnya nihil. Nyaris tak ada bukti perselingkuhan antara Sabrina dan Jaka Dirgantara. Dua sahabat itu memang tak pernah melakukan yang macam-macam karena hubungannya memang murni hanya sekedar sahabat.Namun Hasbi merasa yakin dengan kecurigaannya hingga ia mencari tahu kesana kemari bahkan sampai ke sekolah tempat Sabrina mengajar. Ada beberapa orang yang menyatakan kalau Jaka dan Sabrina memang sering terlihat bersama untuk sekedar berbincang selayaknya teman. Tapi mengenai bukti tentang perselingkuhan, sama sekali tak didapatkan Hasbi.Hingga di tengah rutinitas pekerjaan Jaka di kantornya, tiba-tiba pintu ruangannya digedor paksa dari luar. Jaka terkejut karena pintu itu terbuka lebar akibat tendangan kaki Hasbi."Bisakah an
"Apa!" Hasbi terkejut. Dia sempat memberontak, mengelak. Hingga akhirnya kekuatan hukum pada surat perintah penangkapan siang itu membuat mantan brimob itu tak bisa berbuat apa-apa. Kedua tangannya di genggam petugas kepolisian berjalan gontai menuju mobil polisi berwarna abu-abu.Melihat itu, Miranda sempat berlinang air mata namun ia tak mampu membela apa-apa. Ia hanya bisa mematung tatkala melihat kendaraan roda empat itu melaju membawa sang suami untuk mempertanggung jawabkan sesuatu yang belum ia ketahui penyebabnya.***"Apa! Mas Hasbi ditangkap polisi? Kenapa?" Pagi ini mamanya Hasbi langsung menemui Sabrina di kediaman almarhum Santi. Tentu saja guru sekolah dasar itu tercengang karena dia tak tahu apa-apa mengenai kasus Hasbi saat ini. Padahal hari ini adalah jadwal persidangan hasil keputusan."Jangan pura-pura kamu, Sabi. Mama yakin kalau ini adalah rencana kamu 'kan?" Mertua Sabrina itu bahkan tak mau masuk ke dalam rumah orang tua Sabrina dan memilih berdiri di teras sam
Getaran dada penuh rasa cemas membuat Sabrina ketakutan. "Buka pintunya!"Sentakan suara bariton dari ke empat pria itu membuat Sabrina kian merasa takut. Dia terpaksa membuka pintu mobil khawatir mereka memecahkan kacanya."Ada apa ini? Kalian siapa?" Sabrina memberanikan diri bertanya."Kami dari pihak leasing akan membawa mobil ini karena sudah hampir satu tahun tidak ada i'tikad baik dari pemilik," jelas pria itu.Sabrina terkejut mendengarnya. "Saya tidak pernah berhubungan dengan pihak leasing," tegasnya."Anda bisa jelaskan di kantor."Tak ada orang yang bisa menolong di area jalanan yang tampak sepi. Sabrina tak merelakan mobilnya dibawa begitu saja oleh orang yang tak dikenal, dia hanya bersikap kooperatif saat mereka telah menunjukan surat tugasnya. Dia mengikuti dua pemotor di belakangnya, walau dalam keadaan hati yang cemas.Benar saja, sesampainya di kantor leasing itu kesabaran Sabrina lagi-lagi harus diuji. Dengan kekuatan hukum, mobil yang dibawanya ternyata sudah sat
Jaka masih menunggu jawaban Sabrina. Namun, kekecewaan Jaka sedikit terobati oleh jawaban wanita di depannya."Tidak." Sabrina menggelengkan kepalanya."Lalu?" Pria itu kembali bertanya. Diturunkannya tatapan. Sabrina memainkan kedua tangan di atas pangkuannya dengan sesekali memperbaiki napas yang terasa berat."Hari ini terasa berat untuk aku lewati. Berawal dari kemurkaan mertuaku dengan sumpah serapahnya. Kemudian aku menemui Mas Hasbi di dalam sel tahanan, dia pun sama murkanya. Aku pergi ke pengadilan agama dan keputusan cerai telah resmi dikabulkan oleh Hakim. Kepedihanku belum tuntas di situ. Dalam perjalanan ke sini, mobilku dihadang empat pria yang ternyata dari pihak leasing. Mereka mengambil mobilku. Aku hanya bingung pada siapa harus mengadu. Rasanya ujian hidup ini terasa berat."Bulir bening di sudut mata Sabrina kembali menetes di pipi. Dia sudah berusaha membendungnya, tapi rasa sakit yang kembali tergores membuatnya tak bisa menahannya lagi.Sekuat tenaga Jaka bangk
Wajah mamahnya Hasbi sedikit tercengang mendengar penjelasan Sabrina. "Jangan bohong, Sabi." "Untuk apa aku berbohong, Ma. Tidak ada untungnya. Jika Mama berminat dengan harta gono-gini, silahkan Mama urus dengan Mas Hasbi." Sabrina dengan nada penuh penegasan.Wanita paruh baya itu tampak membatu dalam beberapa saat. 'Kalau semua itu benar, lalu kemana uangnya?' batin sang mertua. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya."Ini surat undangan untuk kamu. Jika berkenan, datanglah ke acara pesta pernikahan adik Hasbi." Sang mertua meletakan surat undangan pernikahan anaknya di atas meja. Kemudian dia pamit tanpa basa-basi lagi. Sementara Sabrina masih terduduk lesu di sofa ruang tamu. Hari ini dia jadi tak bersemangat padahal jadwal mengajar kembali dimulai. Dengan memaksakan diri, langkahnya tergesa-gesa menuju gerbang sekolahan. Sabrina ke sekolah dengan menggunakan ojeg online. Membuat beberapa pasang mata menyipitkan pandangan padanya."Tumben pake ojeg online," ucap
"Sepertinya ada orang, Ma." Jaka menimpali. Jeni kemudian segera beranjak dari tempat duduk melangkah dengan cepat ke luar kamar Jaka. Bersamaan dengan itu, Sabrina juga segera keluar dari kediamaan Jaka dengan langkah secepat kilat."Tidak ada siapa-siapa kok," desis Jeni sendirian. Dia langsung menemui security. Lalu ia melangkah ke depan."Apa tadi ada orang masuk?" tanya Jeni pada security di gerbang utama."Tidak ada orang lain, Bu. Kecuali Bu Sabrina yang baru saja pergi," jawab pria berseragam layaknya satpam rumah.Jeni mengernyitkan dahi. "Kok Sabrina pergi lagi. Kenapa ya?" Wanita itu merasa aneh. Dia kembali ke kamar Jaka untuk memberitahukan kedatangam Sabrina yang tak mereka ketahui."Jak, kata security barusan ada Sabrina. Tapi dia langsung pergi lagi," lapor wanita paruh baya itu pada anaknya.Jaka nampak berpikir. Entah mengapa dia merasa ada yang tidak beres dengan kedatangan Sabrina."Tidak apa-apa, Ma. Mungkin Sabrina ada keperluan lain yang mendesak. Aku akan mene
Malam ini Sabrina akan menelepon Jaka untuk memastikan. Dia merasa sungkan mengingat harga motor yang disinyalir cukup mahal. Benda pipih itu sudah ditempelkan pada telinga."Ya, Sabi. Bagaimana paketnya? Sudah kamu terima?" Suara Jaka terdengar riang dalam sambungan telepon."Kamu berlebihan, Jak. Harusnya tak usah berikan barang terlalu mahal pada Sesil. Khawatir dia jadi manja." "Apa! Untuk, Sesil. Bagaimana maksud kamu?" Jaka malah bertanya seperti tak paham."Iya, motor yang kamu berikan untuk Sesil terlalu mahal. Lagian motor Sesil yang lama masih bagus loh," celoteh Sabrina."Sabi, bukan Sesil. Tapi—"Sabrina tak membiarkan Jaka menyelesaikan kalimatnya. "Sudahlah, Jak. Aku sudah tahu kok hubungan kalian. Kakak macam apa aku ini. Hari gini baru tahu kalau ternyata kamu dan Sesil menjalin hubungan. Aku mendukung kalian. Janji ya, jangan buat Sesil sedih," potongnya. Sabrina senyum-senyum sendiri. Dia mendukung Jaka dan Sesil karena sudah tahu kalau pria yang sedang berbincang l