Share

Bab 7 Pertemuan Yang Menegangkan

"Pinjaman PNS tak perlu menggunakan surat-surat itu, Sabi. Kamu pikir aku bodoh!" Hasbi tetap berkilah. Membuat Sabi kian penasaran saja.

"Memang iya. Tapi aku hanya butuh surat-surat penting itu untuk pemberkasan, Mas. Apa salahnya sih," gerutu Sabi. Wanita itu dibuat geram dengan sikap Hasbi.

"Aku hanya pinjam, Mas. Lagi pula itu surat-surat yang seharusnya disimpan seorang istri," sambungnya menekan.

Namun, Hasbi masih saja diam mematung. Ia nampak kesulitan untuk menjawab.

"Mana, Mas? Aku akan ajukan pinjaman seratus juta untuk Mama kamu. Itu pun kalau surat yang aku minta sudah ada di depan mata." Sabrina kembali menekan.

Hasbi masih saja membeku. Dia kebingungan karena surat itu tak ada padanya. Akhirnya Sabrina memilih meninggalkan.

"Tunggu, Sabi!" Hasbi menahan langkah Sabrina.

"Akhirnya kamu bersuara juga." Sabrina kembali duduk di dekat Hasbi.

"Maaf, Sabi. Surat-surat itu tak ada padaku." Hasbi menundukan kepala.

"Apa maksudnya?" Dahi Sabi mengkerut tak paham.

"Surat rumah telah kugadaikan." Tanpa rasa bersalah Hasbi akhirnya mengaku.

"Apa!" Sabrina menggelengkan kepala sangat terkejut.

"Bagaimana dengan surat mobil?" Wanita itu kembali bertanya. Ruang tamu tiba-tiba terasa panas.

"Sama. Telah kugadaikan," jawab Hasbi lagi.

Sabrina menutup mulutnya yang menganga karena terkejut. Hatinya kembali tersayat. Lukanya kian bertambah parah. Ia segera bangkit dari tempat duduk memilih meninggalkan Hasbi yang berusaha menjelaskan. Dilemparnya pintu kamar lalu segera dikuncinya. Ia tak mau lagi bicara dengan sang suami yang semakin jelas mendusta.

"Sabi, dengarkan penjelasaku." Hasbi berusaha mengetuk pintu.

Tangisan Sabrina pecah di dalam kamar. "Tega kamu, Mas." Ia berdesis dalam tangisannya.

"Sabi, bukalah pintunya. Aku bisa jelaskan alasannya." Hasbi masih berusaha membujuk. Namun pintu kamar itu tetap terkunci rapat.

Sampai malam, sampai suara Hasbi tak terdengar, Sabrina tetap mengurung diri di dalam kamar. Ini bukan tentang surat-surat rumah yang digadaikan suaminya. Kebohongan Hasbi tak bisa ditoleransi lagi. Ia bahkan sudah berbulan-bulan tak menerima nafkah pinansial dari sang suami.

***

"Surat-surat berharga milikku telah digadaikan oleh Mas Hasbi. Aku tak merasa menerima sepeser pun uangnya." Sabrina kembali mengadu pada Jaka lewat sambungan telepon. Hanya pada Jaka, ia bisa bercerita.

"Tenang, Sabi." Hanya satu kata balasan dari Jaka di sebrang sana.

"Mana bisa tenang, Jak. Selain berbohong, Mas Hasbi juga telah menipuku." Suara isak tangis Sabrina terdengar jelas oleh Jaka.

"Aku tak mau menunda waktu lagi. Aku akan segera urus perceraianku dengan Mas Hasbi," imbuh Sabi dengan yakin.

"Lakukanlah apa yang terbaik menurutmu. Aku akan mendukung," balas Jaka di sebrang sana.

Dalam sambungan telepon itu, Sabrina meminta bantuan Jaka. Ia akan melakukan pertemuan dengan Miranda. "Tolong temui Miranda, lalu buat pertemuan dengannya lusa malam. Jika dia bertanya, katakan padanya kalau aku akan membawa istrinya Mas Hasbi."

"Baiklah, Sabi. Aku akan membantumu." Jaka mengiyakan hingga sambungan telepon itu berakhir.

Esok harinya setelah pulang sekolah, Sabrina sudah memberikan bukti-bukti kesalahan Hasbi pada atasannya dan segera diproses. Dia juga akan melayangkan gugatan cerai dengan bukti yang sudah berada dalam genggaman. Keputusannya sudah bulat, ia akan mengakhiri semuanya. Tak ada yang bisa dipertahankan dari sebuah kebohongan.

Dia akan membuat perhitungan dengan, Hasbi. Memberinya pelajaran tentang konsekuensi ASN yang berkhianat.

***

Di sebuah caffe bernuansa jepang. Nampak wanita cantik yang usianya sekitar 25 tahun sudah duduk santai di kursi yang telah dipesan seseorang. Dia adalah Miranda Lestari yang datang sendirian atas permintaan Sabrina Mecca. Dia memenuhi undangan Sabrina karena penasaran dengan istri pertama suaminya sebagai mana dijanjikan Sabrina. Wajahnya tegang. Ia memainkan ke dua tangannya di atas meja seraya melirik ke kana dan ke kiri.

Tak lama, Hasbi pun datang. Betapa terkejutnya ia melihat istri mudanya sudah duduk di kursi tempat tujuannya malam ini.

"Sedang apa kamu di sini?" Hasbi segera melontarkan pertanyaan pada Miranda begitu sampai di kursi tujuan. Bagaimana mungkin Miranda bisa berada di caffe yang sama malam ini, padahal sebelumnya izin hendak ke rumah sang mertua.

"Mas, aku yang harusnya bertanya. Kamu kok bisa ada di sini?" Miranda pun tak kalah terkejutnya. Ia langsung berdiri menatap suaminya yang tegang. Sementara sebelumnya Hasbi telah pamit dengan alasan bertugas.

"Kok kamu malah balik tanya sih? Kamu jawab saja, ngapain kamu ada di sini?" Wajah Hasbi semakin terlihat tegang. Bagaimana tidak, kedatangannya ke caffe itu atas undangan Sabrina yang berkata akan memberikan uang setarus juta setelah makan malam dipenuhi.

Pasangan suami istri itu berdiri sambil memasang wajah tegang. Tanpa pikir panjang, Hasbi segera meminta Miranda untuk pulang.

"Aku ada kepentingan bertemu seseorang. Miranda, pulanglah sekarang. Kasihan, Aksa. Kamu titipkan dimana dia?" perintah Hasbi yang sepertinya ditolak Miranda. Padahal dia tak mau kalau sampai Miranda bertemu dengan Sabrina.

Istri muda Hasbi langsung menggelengkan kepala. "Tidak, Mas. Aku juga ada keperluan penting. Aku harus bertemu temanku malam ini. Mas saja yang pulang dan temani, Aksa," bantahnya untuk pertama kali.

Hasbi berdecak kesal lalu meraih tangan Miranda. "Pulang sekarang dan kamu harus nurut!" pintanya lagi dan tak bisa dibantah. Namun, Miranda tetap menggelengkan kepala.

"Cukup, Mas! Tak usah dipaksa." Suara sopran menimpali dan membuat pasangan suami istri itu serentak mengalihkan pandangan ke sumber suara.

"Sabi!"

Kedatangan Sabrina seketika membuat Hasbi melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Miranda. Ia terkesiap dengan kedatangan sang istri pertama yang terlalu cepat.

Sabrina memasang senyuman manis pada keduanya. "Maaf jika terlambat. Silahkan duduk kembali." Ia mempersilahkan. Sikapnya membuat Hasbi kian resah.

'Apa maksud dia dengan semua ini?' batin Hasbi bertanya-tanya. Isi dadanya bergemuruh resah.

"Loh! Kok kalian berdua malah bengong? Relaks saja. Silahkan duduk karena saya memang sengaja mengundang kalian berdua. Ada hal yang ingin saya bicarakan." Sabrina dengan ramah. Ia duduk terlebih dahulu di kursi yang berhadapan dengan pasangan suami istri yang wajahnya kian tegang malam ini. Senyuman yang menggaris di bibirnya membuat Hasbi kian resah.

Sementara Miranda, akhirnya ia berusaha mengatur emosi. Wanita itu duduk dengan tenang memenuhi perintah Sabrina.

"Duduk saja, Mas," kata Miranda. Kebetulan ada Hasbi. Dia juga ingin tahu seperti apa tanggapan suaminya nanti.

Hasbi yang bergeming, ia kemudian duduk. Sesekali dilihatnya wajah Sabrina yang nampak tenang kemudian beralih ke arah Miranda yang juga terlihat tenang.

"Mas Hasbi, tidak usah gugup. Tenang saja," sindir Sabrina seraya mengulum senyum misteri bagi Hasbi.

"Apa maksud kamu mengundang aku dan Miranda ke sini? Sejak kapan kamu mengenal Miranda?" Dua pertanyaan langsung keluar dari mulut Hasbi.

"Karena ada masalah yang penting dan harus diluruskan, Mas." Dengan santainya Sabrina menjawab.

"Miranda, apa kamu sudah mengenal dia?" Hasbi bertanya pada Miranda kemudian tatapannya beralih pada Sabrina.

"Tentu saja Miranda mengenal aku, Mas. Dia kan sempat menyekolahkan anaknya di sekolah dasar tempatku mengajar. Dan kalian sungguh beruntung memiliki anak yang sangat ganteng dan lucu seperti, Aksa." Sabrina menembak Hasbi dengan sindiran yang langsung menusuk jantung.

"Oh yah, Miranda." Sabrina menyodorkan telapak tangan kanannya pada Miranda, mengajak wanita idaman suaminya untuk berjabat tangan.

"Perkenalkan, saya adalah Sabrina Mecca—istri sah dari Hasbi Adhitama."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nang Wahyu Awan
menegangkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status