Share

Bab 6 Saat Wanita Sudah Kecewa

Setelah melakukan kesepakatan dengan Miranda, Sabrina dan Jaka memilih pulang. Namun di tengah perjalanan, Sabrina memilih turun dari kendaraan Jaka dan pulang ke rumah dengan menggunakan taksi online. Ia tak mau kalau Hasbi sampai curiga.

"Kamu dari mana saja? Beraninya kamu membohongi saya?!"

Kedatangan Sabrina di rumah disambut dengan sentakan pertanyaan dari Hasbi. Pria itu sudah berdiri di depan rumah saat Sabrina keluar dari taksi online. Tatapannya nanar penuh selidik membuat Sabrina harus pandai beralasan.

"Kamu pikir aku dari mana, Mas? Menunggu kedatangan kamu yang berpuluh-puluh menit hanya akan membuat penyakitku kian bertambah parah." Sabrina mengelak. Ia segera melanjutkan langkah kemudian masuk ke dalam rumah melewati tubuh Hasbi dengan acuh. Namun, pergelangan tangannya digenggam sang suami sehingga langkahnya terhenti di ambang pintu.

"Alasan!" Satu kata yang keluar dari mulut Hasbi yang membuat Sabrina tak sudi membalasnya.

Sabrina tetap melanjutkan langkahnya. Sesampainya di kamar, ia melemparkan tas selempang ke atas ranjang. Dadanya kembali bergemuruh panas setelah melihat wajah Hasbi. Ditariknya napas cukup dalam kemudian dihembuskan dengan perlahan. Ia tak mampu membendung tangisan kekecewaan.

"Maafkan aku, Sabi, aku keterlaluan. Jangan menangis. Maaf jika aku terlambat membawamu ke Dokter." Hasbi sudah berada di belakang Sabrina. Kedua tangannya melingkari perut istrinya.

"Aku tidak marah, Mas," balasnya. Sabi segera melepaskan pelukan sang suami. Ia menghindar lalu duduk di atas ranjang.

"Tapi aku baru saja sadar, bahwa kamu bukanlah milikku," imbuhnya seraya mengusap pipi yang terus saja basah oleh air mata.

"Mengapa kamu bicara seperti itu? Kamu menuduhku selingkuh?" Hasbi turut serta duduk di samping Sabrina. Pertanyaannya membuat Sabrina menoleh sinis.

"Aku tidak mengatakan hal itu, Mas!" bantah Sabrina. Ia berusaha tenang.

"Lalu apa maksud ucapan kamu?" Hasbi seperti tersinggung dengan ucapan istrinya.

"Kamu memang bukanlah milikku seutuhnya, kan. Kamu itu milik negara. Sehingga disaat istrinya kesakitan butuh pertolongan, kamu tak bisa berada disisiku. Padahal ini hari minggu," sindir Sabrina. Diluruskannya kembali wajah kecewa bercampur emosi.

"Kenapa kamu masih saja membahas akan pekerjaanku, Sabi? Kita sudah sepuluh tahun menikah, mengapa kamu masih saja tidak paham juga!" Hasbi menyentak lagi. Dia tak mau kalah.

"Aku selalu berusaha paham, Mas. Maka dari itu aku selalu mengalah." Sabrina menyudahi perdebatan.

Pria gagah itu kemudian memeluk Sabrina. Seperti sadar. "Maafkan aku, Sabi. Aku tahu pasti kamu rindu dengan kebersamaan kita. Sabar ya," ucapnya dengan suara merdu bak syair yang menyejukan hati.

Namun, hati Sabrina telah hancur dan tak bisa diperbaiki lagi. Bertahun-tahun Hasbi berbohong tentang perselingkuhannya maka ia tak akan tinggal diam.

"Sudahlah, Mas. Sepertinya aku tak diperbolehkan bersedih. Aku paham kalau suamiku hanyalah milik negara." Sabrina tak mau memperpanjang. Ada yang lebih penting dari perdebebatan.

"Mas, dimana kamu menyimpan sertipikat rumah ini dan surat mobil?" imbuhnya dengan mengalihkan pertanyaan.

Dahi pria itu mengkerut, tampak gugup mendengar pertanyaan dari istrinya. "Untuk apa kamu mempertanyakan surat-surat itu, Sabi?" Pria itu malah berbalik tanya seraya menyembunyikan ketegangannya.

"Bukan untuk apa-apa, Mas. Hanya saja untuk pemberkasan di sekolah." Sabrina beralasan lagi. "Jadi, dimana surat-surat penting itu, Mas? Boleh aku pinjam?" imbuhnya menekan.

Hasbi tampak kelimpungan. "Mmm-"

Bersamaan dengan itu terdengar suara bell berbunyi di depan rumah membuat Hasbi selamat dari pertanyaan Sabrina.

"Ada tamu, Sabi. Aku buka pintunya ya." Hasbi langsung beranjak dari ranjang memilih membuka pintu. Sepertinya dia menghindar dari pertanyaan Sabrina.

'Kenapa kamu, Mas? Aku yakin kamu tengah menyembunyikan sesuatu dariku,' batin Sabrina yang masih mematung di atas ranjang.

Merasa Hasbi membuka pintu cukup lama, Akhirnya Sabrina menyusul karena penasaran dengan tamu di tengah suasana yang terasa panas.

Ternyata yang datang adalah ibunya Hasbi, mertua Sabrina. Sabi memilih mendengarkan percakapan ibu dan anak itu di balik dinding ruangan.

"Mama pikir kamu di rumah Miranda, ini kan hari minggu cucu Mama pasti pengen liburan. Lagian ngapain sih kamu masih saja mempertahankan wanita mandul seperti Sabrina."

"Sudah, Ma. Jangan bicara seperti itu. Di dalam ada Sabrina."

Deg!

Sabrina meremas bajunya. Lahar panas terasa naik ke atas ubun-ubun. Dia pikir hanya Hasbi yang membuat kebohongan besar ini, nyatanya mertuanya pun turut serta.

'Tega sekali mereka padaku. Padahal aku yang telah membantu keuangan mereka selama ini,' batinnya kian hancur berkeping-keping.

Setelah dirasa tenang, Sabrina kemudian menghampiri mertuanya di ruang tamu. Tak ada percakapan yang aneh-aneh saat Sabrina datang.

"Mama, apa kabar?" Sabrina meraih tangan mertuanya bersalaman dengan sopan. Ia berusaha menyembunyika gejolak hatinya.

"Baik kok," jawab mertua Sabrina datar.

"Kok Mama tidak memberikan kabar kalau akan datang. Padahal aku bisa siapkan makanan," tutur Sabrina tetap berusaha sopan. Sementara Hasbi hanya diam penuh tanda tanya.

"Tak usah repot-repot. Kedatangan Mama ke sini hanya ingin memberikan kabar kalau Hana akan menikah bulan depan. Acaranya akan diadakan di hotel bintang lima. Semua saudara Hasbi akan membantu, masing-masing senilah seratus juta. Bagaimana dengan kalian? Bisakah kalian siapkan uang seratus juta?" Wanita paruh baya itu menjelaskan maksudnya dengan santai. Ia akan menikahkan putri bungsunya yang tak lain adalah adik perempuan Hasbi.

Mendengar penjelasan sang mertua, seketika bola mata Sabrina membulat terkejut. Seratus juga memang bukan uang yang sedikit bagi Sabrina mau pun Hasbi.

"Hasbi mana ada uang sebanyak itu, Ma," jawab Hasbi dengan berat.

"Kan ada Sabrina, Mama yakin Sabrina bisa membantu." Ibunda Hasbi melayangkan tatapan tajamnya pada Sabrina.

Sebenarnya Sabrina bisa saja membantu mertuanya. Meski pun uang seratus juta cukup banyak, Sabrina pasti mampu mengupayakan. Tapi setelah mengetahui kebusukan suami dan mertuanya, seketika rasa kasihan itu pudar seiringan dengan rasa kecewanya.

"Maaf, Ma. Sabrina tidak memiliki uang sebanyak itu," jawab Sabrina dengan sopan.

"Mana mungkin, Sabrina. Tunjangan kamu besar, uang gaji Hasbi juga besar, masa kamu tak memiliki tabungan untuk membantu Mama." Suara sang mertua terdengar menggelegar bak raungan singa yang menyeramkan.

Sabrina menelan salivanya cukup berat. Tidak, dia tak akan membantu penjilat.

"Saya akan berdiskusi terlebih dahulu dengan Sabrina, Ma. Tolong beri kami waktu," timpal Hasbi yang akhirnya bersuara.

"Oke! Akan Mama tunggu!" Wanita paruh baya itu beranjak dari tempat duduk lalu keluar dari rumah Sabrina tanpa pamit. Mamanya Hasbi pergi diantar supir dengan menggunakan kendaraan pribadi.

Suasan di ruang tamu terasa kian bertambah panas. Sesekali Hasbi melirik Sabrina yang acuh tak acuh.

"Sabi, apa benar kamu tak memiliki tabungan? Bisakan kamu bantu Mama seratus juta? Nanti uangnya akan aku ganti." Hasbi merayu selepas mamanya pergi.

"Tidak ada, Mas. Selama ini aku tak mendapatkan pemasukan dari kamu. Aku bahkan tak tahu, kemana larinya gajiku selama ini." Sabrina tampak berani. Rasa ibanya telah hilang.

"Tapi kamu bisa ajukan pinjaman kan? Buat apa SK kalau tidak dipergunakan." Hasbi dengan entengnya.

Sabrina membeliak emosi. Namun sepertinya ia punya ide. "Oke aku akan ajukan pinjaman. Tapi pemberkasan harus terlebih dahulu dilakukan. Berikan sertipikat rumah dan surat mobil padaku,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status