Bagian 45"Mas, aku lapar. Beliin makanan dong!" pinta Nia saat aku sedang sibuk membersihkan rumah. Rumah ini dipenuhi oleh debu, mungkin karena sudah lama tidak ditempati. Setelah Ibu meninggal, tidak ada lagi yang mengurus rumah ini. "Tunggu sebentar, Mas selesaikan ini dulu, tanggung soalnya," ucapku tanpa menoleh ke arahnya."Tapi aku lapar, Mas, buruan dong!" desaknya."Iya, tunggu dulu! Kamu 'kan lihat Mas sedang bersihin rumah. Bukannya malah bantuin!""Aku malas, Mas! Yaudah, buruan! Jangan sampai aku mati kelaparan," ucapnya lagi. Nia kemudian duduk di atas kursi kayu di ruang tamu sambil menungguku. Selesai membersihkan seluruh ruangan, aku kemudian menghampiri Nia. Ternyata Nia ketiduran di atas kursi. Aku tidak tega membangunkannya. Akhirnya aku berinisiatif untuk membeli makanan seorang diri tanpa mengajaknya. Aku membeli dua porsi nasi bungkus serta air mineral. Tak lupa mampir di warung juga untuk membeli tabung gas LPJ beserta isinya. Beras, mie instan dan juga keb
Bagian 46"Gimana, Mas? Mas sudah dapat kerjaan?" tanya Nia sesaat setelah aku tiba di rumah. "Belum," jawabku singkat, lalu menjatuhkan bobotku di atas kursi yang mulai reot ini. Maklum, umur kursi ini sudah cukup tua. Dulu orang tuaku membeli kursi ini saat aku masih SMP."Kok belum, sih? Mas tahu nggak, aku bosan di rumah terus. Aku pengen jalan-jalan, pengen shopping, pengen makan di restoran mahal seperti biasanya. Aku enggak tahan hidup seperti ini, Mas," keluhnya padaku. Bahkan lelahku saja belum hilang karena lelah seharian mencari pekerjaan. Sudah ditambah lagi dengan ocehannya yang membuat lelahku semakin bertambah."Aku nggak mau tahu, Mas harus mendapatkan pekerjaan secepatnya. Gajinya juga harus lebih besar dari gaji Mas di perusahaan tempat Mas bekerja sebelumnya," ucapnya dengan entengnya. "Kamu bisa ngomong seperti itu karena kamu tidak tahu bagaimana sulitnya mencari pekerjaan, Nia. Tolong jangan meminta hal yang macam-macam, Nia. Mas tidak akan sanggup untuk memenu
Bagian 47(Kembali ke POV Sandra) Rumah yang dulu penuh kehangatan, kini telah berganti dengan suasana yang sunyi dan sepi. Sebelum kehadiran Nia, hubunganku dengan Mas Ilyas begitu harmonis. Mas Ilyas sangat pengertian dan juga romantis, walaupun kadang-kadang sikapnya sering menyebalkan karena ingin menang sendiri. Namun, aku bahagia hidup bersamanya.Cinta dan kasih sayang yang aku miliki telah kupersembahkan hanya untuk Mas Ilyas seorang. Tapi apa balasannya? Justru cinta dan kesetiaanku dibalas dengan pengkhianatan.Aku tidak pernah menyesali keputusanku untuk berpisah darinya. Mungkin kami memang tidak ditakdirkan bersama. Mulai sekarang, aku harus terbiasa hidup sendiri, menjalani hidup tanpa bayang-bayang Mas Ilyas."Bu, ada tamu." Mbok Yuli membuyarkan lamunanku yang sejenak teringat pada Mas Ilyas, lelaki yang sudah mendampingiku selama empat tahun ini."Siapa, Mbok?" tanyaku penasaran. "Seorang lelaki, Bu."Lelaki? Siapa gerangan yang datang bertamu pagi-pagi begini?"Ma
Bagian 48Sudah hampir dua puluh menit mengikuti mobil Mas Romi, tapi mobilnya belum berhenti juga. Sudah banyak warung dan juga restoran yang dilewati, tapi Mas Romi masih tetap melanjutkan perjalanan. Aku mengambil ponsel, kemudian menekan nomornya untuk menanyakan rumah makan atau restoran mana sebenarnya yang akan kami tuju. Tapi Mas Romi tidak menjawab panggilanku. Tiba-tiba, mobil Mas Romi berbelok ke kiri, memasuki kawasan perumahan yang belum pernah kudatangi sebelumya.Aku mengernyitkan kening, bukankah kami mau sarapan? Kenapa malah memasuki kawasan ini? Apa mungkin di kawasan ini ada rumah makan atau restoran yang merupakan tempat favoritnya Mas Romi? Berbagai pertanyaan menari-nari di dalem benakku. Dari tadi aku hanya bisa menduga-duga saja.Sampai pada akhirnya mobil Mas Romi berhenti di depan sebuah rumah minimalis dengan perpaduan cat putih dengan hijau. Halaman rumah ditumbuhi bunga-bunga yang beraneka ragam, membuat mataku takjub melihatnya.Mas Romi turun dari mo
Bagian 49"Apa maksud dari semua ini, Mas? Terus terang, aku tidak suka dengan semua ini," protesku kepada Mas Romi. Setelah selesai sarapan, Mas Romi kemudian mengajakku duduk di taman belakang rumahnya dan aku pun mengeluarkan semua uneg-unegku."Maaf ya, Sandra. Aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menuruti permintaan Mira, hanya ingin menyenangkan hatinya saja," jawabnya. Mas Romi terlihat merasa bersalah padaku."Dengan memberi Mira harapan palsu, begitu? Bukankah akan sakit baginya kalau dia tau yang sebenarnya? Bahwa kita tidak memiliki hubungan apa-apa?""Hanya ini satu-satunya cara agar Mira tidak sedih lagi, Sandra. Mira selalu meminta agar aku menikah. Mira ingin sekali memiliki ibu. Aku tidak ingin melihatnya sedih karena terus-menerus merindukan ibunya. Makanya aku nekat melakukan hal ini.""Memangnya kemana istrimu, Mas? Kenapa Mas melibatkanku dalam hal ini?"Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya Mas Romi melibatkanku dalam hal ini. "Istri?" Mas Romi malah terta
Bagian 50"Siapa dia, Sandra?" tanya Mas Ilyas padaku sesaat setelah aku tiba di rumah.Mas Romi sengaja mengantarku pulang dan kami mengendarai mobil masing-masing. Padahal aku sudah menolaknya, tetapi Mas Romi bersikeras ingin mengantarku. Mas Romi langsung menjawab pertanyaan Mas Ilyas dengan mengatakan kalau ia sahabatku. Sepertinya Mas Ilyas cemburu, tapi aku tidak peduli.Mas Ilyas mengajakku untuk mengobrol berdua, bicara empat mata, tapi aku menolak. Aku tahu, pasti ia akan merayuku agar mau balikan lagi dengannya. Aku tidak akan memberinya celah untuk mendekatiku lagi. Cukup sudah.Sebelumnya, aku sudah menyuruhnya memilih dan mengambil keputusan. Namun, apa jawabannya? Ia tetap ngotot ingin menikahi Nia. Dan sekarang ia ingin merayuku kembali? Tidak akan bisa!"Sandra, tolonglah, berikan kesempatan Mas untuk bicara denganmu.""Bicara di sini aja, Mas! Katakan saja apa yang ingin kamu katakan!""Enggak di sini, Sandra. Di sini ada orang lain. Mas hanya ingin bicara berdua de
Bagian 51Sandra adalah sahabatku sejak kecil. Kami bertemu pertama kali di tempat pembuangan sampah. Saat itu, aku dan Ibu bertemu Sandra dan juga ibunya. Kami sama-sama memulung barang bekas untuk dijual kembali. Setelah itu, ibuku dan ibunya Sandra semakin akrab. Bahkan ibunya Sandra mengajak kami untuk tinggal di samping gubuk mereka karena kasihan pada kami yang tidak memiliki tempat tinggal. Ibuku menerima tawaran dari ibunya Sandra dengan senang hati. Kami pun membangun rumah yang terbuat dari kardus di samping rumah Sandra. Yang punya lahan itu baik sekali, beliau mengizinkan kami untuk menempati lahannya yang masih kosong. Tapi kami harus siap untuk pindah jika sewaktu-waktu sang pemilik lahan menyuruh pindah.Dari SD, SMP, sampai SMA, aku dan Sandra selalu sama-sama. Sandra sangat pintar, ia selalu menjadi juara kelas. Aku justru memanfaatkannya untuk mengerjakan semua tugas sekolah. Jika Sandra menolak, aku akan mengancamnya. Sandra pasti akan menuruti semua keinginanku
Bagian 52Tidak kusangka jika Mas Rian akan bersikap seperti ini padaku. Padahal selama ini Mas Rian tidak pernah sekalipun memperlakukanku seperti ini. Berkata kasar saja tidak pernah.Aku tidak boleh menyerah, aku harus berusaha lebih keras lagi. Mas Rian sangat mencintaiku, jadi wajar ia bersikap seperti ini. Mungkin ia masih marah atas kesalahan yang telah kuperbuat padanya."Mas, maafin aku, aku nyesel, Mas. Tolong berikan kesempatan kedua untukku!" Aku terus memohon padanya, berharap Mas Rian akan berubah pikiran."Bahkan sampai detik ini, kamu belum juga menjatuhkan talak padaku. Berarti kamu masih sayang padaku kan, Mas?""Dugaanmu salah, Nia. Justru aku ingin membuatmu menderita, makanya sampai detik ini aku belum juga menjatuhkan talak untukmu.""Bohong! Aku tahu Mas sangat mencintaiku. Kamu berbohong kan, Mas!""Terserah, aku tidak peduli! Menyingkirlah dari hadapanku," bentaknya. Ya ampun, sifatnya berubah drastis. Yang dulunya baik dan romantis, kini telah berubah kasar d