Bagian 61"Sebaiknya kalian pulang saja, Mas. Beri aku waktu untuk berpikir karena aku belum bisa memutuskan sekarang."Setelah diam cukup lama, akhirnya aku angkat bicara."Nggak bisa gitu dong, Sandra. Kamu harus jawab sekarang juga. Mas sudah sangat lama menunggumu. Mas mohon, mau ya jadi istrinya Mas." Mas Rian tetap memaksa. Ia sama sekali tidak mau mendengarku."Rian, sebaiknya kita pulang. Kasih waktu untuk Sandra berpikir. Lagian, Ini sudah malam dan Sandra mau beristirahat." Mas Romi memberi saran."Kamu saja yang pulang. Aku tidak akan pulang sebelum Sandra menerima lamaranku." Mas Rian tetap bersikeras pada pendiriannya."Rian, jangan paksa Sandra. Beri waktu padanya untuk memikirkan jawabannya. Biarkan dia beristirahat malam ini sambil memikirkan siapa yang akan dipilihnya.""Tidak, aku maunya malam ini.""Memang benar-benar keras kepala ya! Kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar padamu." Mas Romi terlihat kesal melihat sikap Mas Ri
Bagian 62"Mas Romi datang bersama keluarganya, Mbok? Pagi-pagi begini? Serius?" Aku masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan Mbok Yuli barusan."Iya, Non. Sekarang mereka sedang nungguin Non sambil menikmati teh dan juga pisang crispy buatan Mbok. Non kenapa? Kok wajahnya jadi tegang begitu? Deg-degan ya mau ketemu sama calon mertua?" Mbok Yuli masih sempat-sempatnya menggodaku."Tuh kan, pipinya bersemu merah," ledeknya."Mbok apa-apaan, sih? Biasa aja kok!" Aku memalingkan wajah agar Mbok Yuli tidak bisa lagi melihat raut wajahku. Jujur, aku deg-degan dan juga grogi."Kapan nemuin tamunya kalau kita ngobrol terus di sini? Yasudah, Non siap-siap ya. Mbok mau turun lagi ke bawah."Aku pun menganggukkan kepala dan buru-buru menutup pintu kamar.Apa Mas Romi serius dengan ucapannya semalam? Apa ia sungguh-sungguh mencintaiku? Ia bahkan membawa keluarganya untuk bertemu denganku.Ah, kenapa aku jadi salah tingkah begini sih? Nggak biasanya aku begini. Gegas aku berjalan ke kamar
Bagian 63"Sandra, izinkan aku menyematkan cincin ini di jari manismu, ya. Pertanda bahwa aku telah mengikat hatimu," pinta Mas Romi.Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Terharu, senang, bahagia semuanya berpadu menjadi satu."Ma, kalau cuma pegang tangan doang boleh ya? Nggak dosa kan megang tangan calon istri sendiri?" "Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!""Boleh, tapi sebentar saja. Kalau lama-lama bisa menimbulkan dosa. Makanya, buruan nikah biar halal." "Iya, sebentar saja, kok!"Mas Romi meraih tanganku, lalu menyematkan cincin di jari manisku. Ia kemudian mengecupnya. Membuatku tersipu malu."Udah ya pegangan tangannya. Sekarang mari kita tentukan tanggal pernikahan kalian. Mama sudah tidak sabar pengen punya mantu!" Mamanya Mas Romi tersenyum manis padaku. Membuatku teringat kepada almarhumah mama mertua. Sifatnya tidak jauh beda dengan mamanya Mas Romi. Ah, aku jadi rindu padanya."Leb
Bagian 1"Sandra, aku sudah tidak sanggup lagi hidup bersama Mas Rian. Mas Rian ternyata menjalin hubungan dengan sekretarisnya. Aku sudah tidak kuat, San." Nia menangis di pelukanku, menceritakan tentang persoalan rumah tangga yang sedang dihadapinya."Mas Rian juga kerap memukuliku. Ia mengancam akan menceraikanku jika menolak keinginannya untuk menikah dengan sekretarisnya itu. Aku nggak mau dimadu, San. Aku harus gimana?"Nia masih menangis di pelukanku, dan aku masih berusaha menenangkan sahabatku itu. Hanya kata 'sabar' yang bisa kuucapkan untuk menenangkannya, karena aku juga tidak tahu mau berbuat apa."Sabar ya, Nia. Aku tahu, kamu adalah wanita yang kuat, pasti kami bisa melewati semua ini," ucapku padanya."Kenapa dengan Nia? Mengapa dia menangis?" tanya Mas Ilyas-suamiku yang ternyata sudah berada di ruang tamu, tempat kami berada saat ini. Aku bahkan tidak mendengar deru mesin mobilnya, mungkin karena terlalu fokus mendengarkan curhatan Nia."Sudah pulang, Mas?" Aku menci
Bagian 2Tiba-tiba aku melihat Mas Ilyas sedang duduk di atas sofa ruang tamu, bersama Nia. Nia menyandarkan kepalanya di bahu Mas Ilyas. Tangan Mas Ilyas merangkul bahu Nia.Aku menggeleng pelan, tidak percaya dengan apa yang kusaksikan.Kaca-kaca bening langsung mengalir dari sudut netra. Aku sakit hati, cemburu sekaligus marah, melihat sahabatku berduaan dengan suamiku. Pelan-pelan, kuturuni anak tangga dan langsung menghampiri mereka dengan air mata yang berderai."Apa maksud semua ini, Mas?" tanyaku sambil memandangi wajah suami dan sahabatku itu.Nia langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu juga dengan Mas Ilyas. Keduanya gelagapan melihat kehadiranku."Sandra, maafin aku. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tadi hanya curhat kepada Mas Ilyas tentang masalah rumah tanggaku, dan aku terbawa suasana. Maafin aku, San." Nia meraih tanganku, berusaha meyakinkanku, tapi aku menepisnya. "Apa yang dikatakan Nia itu benar, San. Nia hanya curhat kepada Mas. Dan Mas berusaha m
Bagian 3"Ini sarapannya, Mas." Aku meletakkan roti tawar dan susu hangat tersebut di atas meja.Aku melirik Nia sejenak, ia terlihat kesal padaku, terlihat dari sorot matanya yang memandangku dengan tatapan tidak suka. Tapi aku tidak peduli, aku harus melindungi suamiku dari Nia. Yang jelas, aku tidak suka dengan sikapnya yang selalu mencari perhatian dari Mas Ilyas."Sandra, kenapa sih nasi gorengnya kamu buang? Tadi sudah kucicipi kok, rasanya enak dan nggak asin." Nia protes karena aku membuang nasi goreng buatannya tersebut."Nasi gorengnya benar-benar asin, Nia. Rasanya juga nggak enak. Masa kamu ingin memberikan nasi goreng seperti itu untuk Mas Ilyas. Aku aja nggak pernah masak makanan seasin itu," ucapku tak mau kalah.Nia memonyongkan bibirnya, kelihatan sekali bahwa ia tidak suka padaku. Dulu, aku memang selalu menuruti apapun yang diinginkan Nia, tapi sekarang tidak lagi. Aku mencium gelagat tidak baik dalam dirinya, sehingga aku harus extra hati-hati padanya.Tiba-tiba, t
Bagian 4Bismillahirrahmanirrahim. Aku segera melangkah dengan yakin. Apapun yang akan terjadi setelah ini, aku tidak peduli."Tunggu!" Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku menjauh dari tempat itu.Mas Rian, ternyata Mas Rian yang menahanku. Entah apa maksudnya.Mas Rian memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya, tapi aku berontak."Mas, apa-apaan, sih?" "Sandra, maaf! Mas tidak ada maksud apa-apa. Maaf jika Mas terlalu lancang," ucapnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada."Tadi itu aku lihat Mas Ilyas sama Nia. Aku ingin melabrak mereka, tapi gagal karena Mas menghalangiku." Aku memperlihatkan raut wajah kesal padanya. Karena Mas Rian, aku gagal melabrak Mas Ilyas dan Nia."Jangan gegabah, Sandra. Jangan turuti emosimu." Lagi-lagi Mas Rian mencegahku."Bagaimana tidak emosi, aku tidak tahan melihat suamiku bersama dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah sahabatku sendiri, yang tidak lain adalah istrimu sendiri. Aku cemburu, Mas." Tak terasa, bulir benin
Bagian 5Setelah sampai di depan supermarket, aku langsung turun dari mobil Mas Rian, kemudian bergegas masuk ke dalam untuk membeli beberapa kebutuhan pokok.Beras, minyak goreng, sabun mandi, sabun cuci, odol, shampo dan lain-lain sudah dicatat dalam daftar belanjaanku. Aku segera mengambil keranjang, kemudian mencari barang yang akan aku beli. Setelah semuanya telah lengkap, aku langsung membayarnya ke kasir.Setelah Helper dari supermarket tersebut memasukkan semua barang belanjaanku ke bagasi mobil, aku kembali mengeceknya untuk memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Setelah semuanya beres, aku segera melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Rasanya sudah tidak sabar ingin kembali ke rumah. Hari ini, aku akan menjalankan rencanaku.Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, akhirnya aku tiba di rumah. Mbok Yuli membantuku untuk menurunkan barang belanjaan dari dalam mobil, kemudian membawanya masuk ke dalam."Mbok, Nia sudah pulang?" tanyaku kepada Mbo