Plak!!
Sebuah tamparan keras melayang sempurna di pipi Daiva. Mata itu menatap tajam penuh dengan kebencian. Pun dengan Daiva. Yang menunduk malu dan takut tengah beradu di dalam dirinya.
"Bisa-bisanya kamu menuduh adikmu sendiri padahal kamulah penyebabnya. Satu kata untukmu, Daiva. Hina! Pengkhianatan yang kamu lakukan pada Cheryl, penodaan yang kamu buat pada Dara akan mendapatkan karma yang besar pada diri kamu!
"Seolah kamu akan terus dilindungi karena kepolosan Dara. Juga Cheryl yang terlalu mencintai kamu menjadikan kamu manusia sombong di muka bumi ini.
"Mama memang tidak akan membatalkan pernikahan ini karena kesalahan bukan ada di keluarga itu. Melainkan dari kamu yang dengan teganya menggauli Dara setiap hari, mengkhianati cintanya Cheryl."
Melawati tengah naik pitam. Matanya terus menyorot bak elang yang siap menghantam mangsanya.
Sementara Daiva tertunduk. Tak berucap apa-apa. Tertangkap basah oleh mamanya sendiri. Ingin rasanya Daiva bertanya pada mamanya kenapa dia ada di sini dan kenapa dia bisa tahu kalau dialah dalang yang sudah merusak Dara.
Namun, tak akan ia ucapkan sebab Melawati pasti akan menamparnya kembali. Juga akan menyiksanya tanpa ampun seperti saat masih kecil telah membuat Daffa celaka.
"Dara sudah pergi. Dia pergi membawa calon anakmu! Dara hamil, Daiva!"
Lantas pria itu mendongakan kepalanya. Mulutnya terbuka karena terkejut. "Ka-kabur? Ha-hamil?"
Plak!!
Melawati kembali menampar pipi Daiva hingga membuat pipinya panas dan merah.
"Keterlaluan kamu Daiva. Siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan Dara? Harusnya kamu yang harus tanggung jawab dan bilang pada keluarga Cheryl jika pernikahan ini dibatalkan.
"Kamu memang ingin buat papa kamu mati! Ingin melihatnya hancur. Sudah tidak sayang lagi pada papa kamu sendiri. Lebih mementingkan ego daripada kesehatan papa kamu.
"Ingat, Daiva. Suatu saat nanti, keluarga calon istrimu itu pasti akan tahu kebusukanmu. Bukan hanya kamu yang akan melarat, tapi juga keluargamu. Papamu mati, mamamu stress dan adikmu mungkin akan pergi!"
Melawati keluar dari kamar itu. Melewati Daiva lalu menghantam lengan itu hingga Daiva tergeser. Matanya menatap kosong kasur mini tempat ia menghujam Dara.
Teringat jika perempuan itu sedang hamil, entah harus apa yang dia lakukan. Bahagia kah, karena akan memiliki seorang anak, atau akan ketakutan setiap hari, takut keluarga Cheryl mengetahuinya.
Di dalam kamar Daffa.
Pria itu tengah duduk di tepi tempat tidurnya sambil menatap ponsel. Melihat foto-foto Dara yang ia ambil secara diam-diam.
Tampak polos dan masih sangat natural.Tidak pernah tersentuh siapa pun sebelum akhirnya Daiva meluluhlantahkan kehormatan Dara yang selalu dia jaga untuk suaminya kelak.
"Di mana kamu, Dar. Kenapa harus pergi padahal semuanya bisa diatasi dengan kita menikah. Aku memang hanya bisa bertanggung jawab atas anak yang sedang kamu kandung.
"Sedang cinta, mungkin kamu juga tidak akan pernah mencintaiku. Terlalu menyakitkan memang. Aku yang tidak pernah sekalipun menyentuhmu harus bertanggung jawab atas janin di dalam perutmu."
Daffa mengembuskan napasnya dengan pelan. Lalu menarik bantal untuk merebahkan tubuhnya.
Sebuah amplop berwarna putih persegi panjang jatuh setelah ia menarik bantal itu. Bentuknya sama dengan amplop milik Dara yang ia tinggalkan di kamarnya.
"Surat? Dari Dara juga yang dia tujukan padaku," gumam Daffa sambil membuka perekat amplop itu.
Isi surat Dara yang ditujukan untuk Daffa.
'Mas Daffa. Maafkan saya karena harus kabur melalui Mas Daffa. Rencana ini sudah saya atur dan terus berdoa agar Mas Daffa mau mengajak saya pergi jalan-jalan lagi.
'Bukan ingin saya juga untuk pergi dari Mas Daffa dan semuanya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang Mas Daffa berikan pada saya. Walaupun tidak pernah Mas Daffa tunjukkan sikap kepedulian itu terhadap saya, tapi saya bisa merasakan hangatnya sikap Mas Daffa.
'Berbeda dengan Tuan Daiva yang selalu memberlakukan saya bagai hewan. Tidak punya hati nurani dan sangat keji. Saya membencinya. Sangat membencinya.
'Mas. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi karena saya akan pergi jauh dari kota ini. Tidak akan kembali karena saya tidak mau merusak rumah tangga Tuan Daiva atas kehadiran bayi yang kini ada di dalam kandunganku.
'Saya mencinta Mas Daffa. Sangat mencintai. Tapi, saya sadar diri. Bukan saya orang yang bisa Mas Daffa cintai. Yang masih suci dan tentunya cintanya melebihi saya sudah pasti akan Mas Daffa dapatkan.
'Terima kasih untuk semuanya, Mas. Terima kasih sudah mengenalkan cinta pada saya. Saya tidak akan pernah mengganggu kalian lagi.
'Doakan saya agar bisa merawat bayi ini, calon keponakan Mas Daffa yang mungkin tidak akan mengenali siapa ayahnya, siapa kakek dan neneknya dan siapa pamannya yang sangat saya cintai itu.'
Daffa meremas kertas putih itu sambil memejamkan matanya.
"Kenapa harus mengatakan yang sebenarnya setelah kamu pergi, Dara? Bukankah aku pernah bertanya sama kamu, bolehkah aku menyukaimu. Tapi, sampai sekarang kamu tidak menjawab pertanyaanku dan memilih untuk memendam perasaanmu sendirian.
"Harusnya kita besarkan anak itu sama-sama. Biar aku yang akan menjadi ayah dari anak kakakku sendiri. Bukan hanya kasihan pada anak itu, melainkan aku juga ingin melindungi ibunya."
Baik Daffa maupun Dara sama-sama telat dalam mengatakan sesuatu yang memang harus dikatakan agar tidak ada kesalahpahaman seperti ini.
Dara yang sampai saat ini masih berasumsi jika Daffa menikahinya hanya karena tak ingin anak itu lahir tanpa seorang ayah. Juga Daffa yang tak pernah terus terang jika ia menikahinya bukan hanya karena anak itu, melainkan juga karena ibunya.
Akhirnya, mereka hanya bisa sabar menunggu sampai Dara ditemukan kemudian melangsungkan pernikahan.
"Dara ... perlu kamu ketahui bahwa aku juga mencintai kamu. Rasaku tak pernah aku ungkapkan ini karena aku tidak mau kamu salah paham.
"Tapi ternyata, kamu sudah salah paham karena aku yang tak kunjung mengungkapkan semuanya. Semoga kita bisa bertemu kembali.
"Aku akan menjelaskan semuanya. Kita akan merawat anak itu sama-sama. Tanpa harus dia tahu, siapa ayah kandung sebenarnya."
Daffa merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dengan surat masih ia genggam. Matanya menutup lalu mengembuskan napas kasar.
Klek!
Melawati membuka pintu kamar Daffa. Lalu berjalan menghampiri sang anak yang tak sadar akan kehadirannya karena melamun, memikirkan keberadaan Dara di mana. Memikirkan kondisinya di sana bagaimana.
Dilihatnya surat yang digenggam Daffa lalu diambil. Membuat Daffa terkejut sesaat, lalu menghela napasnya.
"Mama."
Melawati membaca dengan teliti setiap rangkaian tulisan tentang perasaan Dara pada Daffa. Kembali air matanya turun membasahi pipi. Lalu terisak sambil menunduk.
"Mama sudah tahu dan membuktikannya sendiri jika memang Daiva yang sudah menghancurkan gadis polos ini. Daiva yang setiap harinya menyentuh tubuh suci gadis itu hingga membuatnya hamil.
"Jika memang takdir kita untuk hancur, Mama sudah ikhlas. Karena ini semua ulah anak Mama sendiri. Dia yang sudah menjerat dirinya sendiri kemudian menyebar ke seluruh anggota keluarga juga Dara."
Daffa memeluk sang mama. Mengusapi lengan Melawati lalu mengecup rambutnya.
"Mama dan Papa tidak akan hancur oleh si keparat itu. Biarkan saja dia menikahi Cheryl dan hidup bahagia bersama. Dara akan menjadi tanggung jawabku. Dia akan kunikahi setelah kita berhasil menemukannya.
"Di mana pun dia berada. Aku pasti akan membawanya ke sini. Ke hadapan Mama dan akan melamar dia di depan Mama dan Papa. Bukan hanya karena tanggung jawab, melainkan aku juga mencintainya."
Tujuh bulan kemudian.Julies tengah berjuang melahirkan seorang bayi yang masih berusaha mencari jalan keluar di bawah sana. Kini, mereka sudah berada di rumah sakit. Pun dengan Dara dan Daffa.Ingin melihat proses lahiran anak pertama Julies dan Fahri yang sudah menginjak usia sembilan itu. Dan mereka semua belum ada yang tahu, jika Julies sudah mengandung tiga bulan saat menikah dulu.Mereka hanya mengira jika Julies melahirkan secara prematur. Padahal, memang sudah memasuki bulan sembilan. Baik Julies maupun Fahri tak ada yang peduli. Mereka juga tidak memberi tahu jika Julies hamil sebelum menikah."Prematur, tapi bisa melahirkan secara normal, yaa." Daffa menggaruk belakang kepalanya. la bingung, karena Julies bisa melahirkan secara normal."Ngapain dibuat bingung sih, Mas. Syukur-syukur bayi dan ibunya sehat. Nggak usah aneh-aneh deh!" Dara kesal pada suaminya itu karena terus mengomentari Julies yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya di ruangan sana.Kemudian, pria itu
Prissa lantas menoleh cepat ke arah Daffa. "Maksud kamu apa, Daffa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku hamil lho, Daff." Suara perempuan itu nyaris tenggelam karena menahan tangisnya.Julies menoleh padanya. "Sabar, yaa. Daffa emang gitu orangnya. Kita sama-sama korban ular jahat Daffa. Aku juga pernah hamil anaknya dia. Tapi, gak tanggung jawab tuh. Orangnya malah hamilin anak orang."Julies menepuk-nepuk bahu Prissa."Yaa gak bisa gitu dong, Juls. Masa gue harus rawat anak gue sendiri?" Prissa mulai kelabakan. Harinya tak tenang kala mendengar penolakan dari Daffa."Gue gak mau nikah sama elo, Prissa. Sampai itu anak brojol pun gue gak akan mau nikah sama elo!" pekik Daffa. Pria itu sudah mulai emosi.Hatinyä dikabut kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi. Daffa yang super emosian itu lantas menggertak Prissa. Sehingga membuat perempuan itu menatap tajam ke arahnya."Berani berbuat, gak berani tanggung jawab!" sengal Prissa dengan suara menekan."Terserah elo! Terserah, mau ngomong
Julies tertawa melihat adegan luar biasa itu. Saling memaki dan saling berteriak. Membuatnya tak bisa untuk berhenti tertawa."Fahri, Fahri. Lucu banget sih, kamu." Julies geleng-geleng kepala. sembari mengikuti langkah Fahri menuju ruangan USG.Tak lama setelahnya, Daffa dan Dara pun tiba di sana. Menghampiri Fahri dan Julies yang sedang melihat Prissa. Perempuan itu tidak bisa ke mana-mana karena diserbu oleh empat orang.Ditambah Dokter Ami yang mulai memeriksa kandungannya. Semakin tak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah kala Dokter Ami sudah mengolesi gel di atas perutnya."Hasil USG itu akurat "kan, Dok?" tanya Fahri pada Dokter Ami."Hampir seratus persen akurat. Kita lihat dulu ya, janinnya." Dokter Ami mulai memeriksa kandungan Prissa.Ditatapnya layar monitor tersebut. Yang hanya Dokter Ami yang tahu, maksud dari gambar yang ada di sana. Mereka hanya tahu jika janin itu memang benar-benar ada di sana."Berarti bener ya, Dok. Di perutnya ada bayinya," kata Julies sambil mena
Prissa yang memang sedang ingin meminta pertanggungjawaban kepada Daffa pun telah menyiapkan segalanya.Memberikan alat tes kehamilan itu kepada Dara. Agar perempuan itu tahu, jika Prissa benar-benar hamil anaknya Daffa."Ada USG-nya?" tanya Dara kembali.Daffa menoleh dengan cepat ke arah Dara. Pun dengan Prissa. la terlihat gelagapan kala Dara meminta hasil USG-nya."Waktu saya periksa kehamilan dulu, sekalian USG. Karena pengen lihat perkembangan anak saya di dalam sini." Dara menunjuk perutnya yang buncit itu.Daffa tersenyum miring mendengar ucapan Dara. "Tumben, pinter. Dapat ngajarin siapa sih?" Daffa malah mencubit hidung Dara."Dari Mbak Julies. Waktu dia hamil juga katanya di-USG. Kenapa Mbak Prissa nggak USG? Emangnya, Mbak gak mau lihat calon bayi Mbak?" tanya Dara kepada perempuan yang ingin merebut suaminya itu.Tak lama kemudian, Fahri dan Julies tiba dir rumah tersebut. Kemudian Julies menghampiri Dara. Lalu, mengulas senyumnya."Gimana-gimana? Prissa beneran hamil? An
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Dara pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. la melihat Daffa tengah meringkuk di atas tempat tidur. Namun, Dara hiraukan. Tetap melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Ting!Notifikasi pesan masuk pada ponsel Daffa. Dengan malas, pria itu membuka pesan tersebut. Matanya memicing, melihat pesan masuk tersebut.Sebab, pesan masuk itu dari Prissa. Akan datang ke rumahnya untuk meminta pertanggungjawaban. Daffa memijat keningnya. Kemudian, menghubungi Fahri."Si Prissa udah mulai berulah, Ri. Dia mau ke sini. Minta tanggung jawab gue," kata Daffa setelah pria itu menerima panggilannya.Terdengar helaan napas di seberang sana. "Si Dara masih marah ke elo?" tanya Fahri."Ya. Bahkan lebih parah sejak menerima panggilan dari Prissa. Dia bener-bener nggak mau maafin gue. Malah, minta gue buat nikahin tuh orang."Katanya, gue aja tanggung jawab atas dia yang hamil bukan anak gue. Kenapa gue nggak mau tanggung jawab atas kehamilan Prissa yang jelas-j
"Apa yang harus aku lakukan, supaya kamu mau memaafkan kesalahanku, Dara? Apa yang bisa buat kamu memaafkan aku agar kamu bisa menerima semua perbuatan gila itu."Daffa kembali bersuara. Akan terus mengejar permintaan maaf dari Dara. Bahkan, ia rela melakukan apa saja, agar mau memaafkannya.Dara menoleh ke arah Daffa. "Tidak perlu. Mas Daffa tidak perlu melakukan apa pun. Semuanya sudah terjadi. Apa yang harus dilakukan?"Daffa bergeming. la hanya bisa menatap Dara dengan sayu. Hatinya teriris kala mendengar ucapan Dara. Terdengar sangat kecewa padanya."Jangan lengah, Daff. Si Prissa emang masih suka sama elo. Akan mencari cara agar bisa dapetin elo lagi. Sekarang, jangan pernah bertemu dengan dia sekali pun. Jauhi dia, jangan sampai elo ketemu lagi sama tuh orang."Ucapan Fahri membuat Daffa mengangguk dengan pelan. "Iya, Ri. Dari awal juga gue gak pernah mau ketemu sama dia lagi. Tapi, dia sendiri yang datang dan deketin gue."Fahri mengangguk. Lalu, menoleh ke arah Dara. "Kamu ja
"Tuh, kan. Apa kata gue juga. Dara punya penyakit shock. Denger berita yang bikin dia kaget, pasti langsung pingsan," kata Fahri sembari mengikuti Daffa yang tengah menggendong Dara. Yang akan membawanya ke rumah sakit."Jangan banyak omong. Bawa mobil. Ke rumah sakit sekarang juga?" titah Daffa kepada Fahri.Kemudian pria itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Untuk memeriksa kondisi Dara yang tiba-tiba tak sadarkan diri.Setibanya di rumah sakit, Dara langsung dibawa ke ruang IGD, untuk melakukan pemeriksaan."Kenapa lagi istrinya, Daffa?" tanya Dokter Ami sembari memeriksa kondisi Dara."Jatuh pingsan, Dok. Tiba-tiba, karena dengar kabar yang tidak mengenakkan" ucap Fahri memberi tahu.Dokter Ami menghela napasnya. "Kenapa selalu mendengar kabar yang tidak mengenakkan? Jangan pernah beri kabar tersebut, karena Dara memiliki sifat cenderung mudah terkejut."Saya rasa, ini ada kaitannya dengan pengalaman dia di masa lalu. Mungkin saat Dara tengah melamun, atau sedang memikirkan s
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken