"Jadi, informasi apa yang kau dapatkan?" tanya Jerico saat asisten pribadinya masuk ke dalam mobil.
Selain mengikuti ke mana Greta pergi, Jerico memerintahkan asisten pribadinya mencari informasi terkait perempuan itu. Apa lagi dia harus tahu siapa lelaki yang bersama Greta saat ini."Lelaki itu bernama Calvin, dia sahabat Greta," ucap Marko kemudian mengambil napas lalu dia keluarkan perlahan. Dia khawatir informasi selanjutnya akan membuat atasan sekaligus sahabatnya itu naik pitam."Lalu? Itu saja?" Jerico tidak yakin informasi yang Marko dapatkan hanya sebatas itu.Marko ragu-ragu untuk mengatakannya. "Mereka tinggal di lantai dua nomer enam belas.""Maksudmu mereka berdua tinggal bersama?" Tanpa perlu jawaban dari Marko, Jerico sudah bisa menebaknya.Marko tidak membuka suara. Dia terdiam, menunggu perintah Jerico selanjutnya. Sebab dia paham sekali kalau sahabatnya tidak akan tinggal diam."Aku ingin kau urus si Calvin ini. Kau mengerti maksudku, kan?""Tentu saja." Marko paham. Jerico memerintahkannya agar Calvin tidak tinggal bersama Greta. Bila perlu keduanya tidak saling dekat dan berhubungan satu sama lain lagi.***"Loh, komputer kita ke mana, Ta!" Mega panik saat memasuki ruang kerja tidak mendapati komputernya di meja."Aku juga tidak tahu." Greta juga bingung kenapa komputer di meja tiba-tiba menghilang."Jangan panik! Meja kalian sudah dipindahkan," ucap Satria datang bersama Nino. "Kami yang memindahkan komputer kalian berdua."Greta semakin bingung. "Kenapa harus pindah?"Nino menghela napas. "Pak Jerico yang minta dan perintah kita. Semua sudah terpasang rapi, dan meja kalian berhadapan dengan ruangan Pak Jerico.""Terima kasih. Maaf merepotkan kalian berdua pagi-pagi.""Tidak masalah, Ta. Pak Jerico saja yang menyebalkan." Satria menumpahkan kekesalannya. "Mungkin karena kita suka ngobrol, atau jangan-jangan ...." Dia sengaja menggantungkan kalimatnya seraya mengusap dagu."Jangan-jangan Pak Jerico benar suka padamu, Ta," timpal Mega.Ucapan Mega barusan jelas membuat Nino tak suka. Pasalnya sejak kali pertama Greta masuk ke perusahaan, Nino telah menyukainya. Dia hanya memendam perasaannya seorang diri tanpa seorang pun tahu."Jangan bicara yang aneh-aneh, nanti bisa jadi gosip." Sadar beberapa meja telah terisi rekan kerjanya, Greta memandangi jam yang terpasang di dinding. "Lebih baik kita ke meja masing-masing. Sebentar lagi, pasti Pak Jerico datang."Sesuai dengan perintah Greta, mereka berempat membubarkan diri menuju meja kerja masing-masing. Mega kegirangan ketika mejanya tertata rapi dan didesain lebih bagus dari meja yang lama. Sedangkan Greta, biasa saja."Kalau gini caranya, aku bakalan betah kerja. Belum lagi, bisa mandangin wajah tampan Pak Jerico di seberang. Duh ... makin semangat." Mega duduk sembari tersenyum dan menopang dagunya dengan kedua tangan.Greta geleng-geleng kepala kemudian tertawa kecil. "Ingat Satria, eh!"Mega memanyunkan bibirnya. "Aih, tidak bisa lihat teman sendiri senang sedikit apa!"Keduanya kembali melanjutkan pekerjaan sebelum akhirnya tak lama kemudian, Pak Jerico datang bersama asisten pribadinya. Mereka terlibat obrolan sebentar kemudian menegur Greta dan Mega."Bagaimana dengan meja baru kalian? Nyaman? Kalau kurang nyaman, nanti saya minta mereka untuk merombaknya lagi.""Sangat nyaman sekali, Pak," sela Mega langsung. Padahal yang dia harapkan jawaban dari Greta."Bagus kalau kalian suka dan nyaman. Oh, ya Greta. Satu jam lagi kita ada meeting dengan Pak Radit. Saya ingin kamu siapkan semua berkas dan dokumen yang diperlukan. Jangan sampai ada yang salah dan tertinggal.""Baik, Pak. Saya siapkan semuanya sekarang."***"Semoga kerja sama kita berjalan dengan lancar," ucap Pak Radit seraya mengulurkan tangan.Jerico meraih uluran tangan Pak Radit, lalu keduanya berjabat tangan. "Terima kasih, karena Pak Radit telah menyetujui kerja sama ini. Saya pastikan perusahaan kami akan melakukan yang terbaik.""Baiklah. Kami permisi dulu." Pak Radit dengan sekretarisnya pamit terlebih dahulu.Meeting pun selesai. Selagi Jerico tengah menerima telepon, Greta merapikan berkas-berkas dan dokumen yang dia gunakan presentasi tadi. Sebentar lagi jam makan siang, dia baru ingat kalau memiliki janji dengan Nino untuk makan siang bersama."Waktunya jam makan siang. Kita makan dulu, ya." Jerico kembali ke meja setelah menyudahi teleponnya. Kebetulan tadi mereka meeting di restauran ini. Jadi, Jerico berinisiatif sekalian mengajak Greta makan siang bersama."Tapi, Pak, saya sudah punya janji dengan teman kantor," tolak Greta baik-baik."Teman kantor yang mana? Mega? Satria?""Nino, Pak. Saya tidak enak kalau harus ingkar janji.""Jadi, kamu lebih memilih Nino daripada atasanmu sendiri? Yang menggajimu siapa?" Nada bicara Jerico terkesan emosi namun masih pelan."Bukan begitu, Pak. Tapi sa-saya ....""Saya tidak terima penolakan apa pun." Jerico langsung memotong ucapan Greta. Perempuan itu masih sama seperti dulu, keras kepala.Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan ajakan Jerico. Dia tidak ingin gajinya dipotong ataupun tidak dibayarkan bulan ini. Sebab bulan ini, giliran dia yang membayar sewa kosan setelah bulan sebelumnya Calvin yang membayar.Jerico tersenyum penuh kemenangan. Dia yakin perlahan-lahan bisa menaklukan hati Greta lagi seperti dulu. Dia bisa membuat perempuan itu mencintainya lagi."Kamu ingin pesan apa?" tanya Jerico. Nada bicaranya berubah melembut."Terserah Bapak saja." Greta merasa dirinya tidak nyaman. Apa lagi sorot mata atasannya itu terus menatapnya tajam."Sudah saya pesankan." Jerico paham jika Greta tidak nyaman bersamanya. Maka dari itu, dia mencoba bersikap santai. Bukan memposisikan dirinya sebagai atasan dan bawahan, melainkan teman. "Omong-omong sudah berapa lama kamu bekerja di perusahaan saya?""Satu tahun lebih, Pak," ucapnya seraya mengirimkan pesan pada Nino jika dia tidak bisa datang."Kalau sedang di luar kantor, jangan panggil saya Bapak. Panggil Jerico saja.""Ba-baik, Pak. Eh, Jer-jerico." Greta tergagap karena gugup. Dia menunduk malu sekaligus merasa aneh dengan tingkah atasannya yang terkadang berubah-ubah.Tak lama menunggu, pesanan mereka akhirnya tiba juga. Jerico memesan pasta untuk Greta dan nasi goreng untuk dirinya sendiri. Namun makanan Greta menarik perhatian Jerico."Kamu makan ini saja." Jerico menukarkan nasi goreng miliknya dengan pasta untuk Greta. "Ada udang. Kamu bisa alergi nanti."Bukan hanya terkejut, lagi-lagi Greta dibuat heran oleh lelaki itu. "Bapak tahu kalau saya alergi udang? Apa sebelumnya kita pernah kenal dan dekat?"Greta menjatuhkan dirinya di sofa panjang kala baru saja tiba di kosan. Tiba-tiba saja irisnya menangkap suatu pemandangan yang janggal. Sepasang sepatu perempuan berada di antara sepatu miliknya di rak dekat dengan pintu masuk."Sepatu milik siapa, ya?" tanyanya dalam hati. "Aku merasa tidak memiliki sepatu model itu."Ternyata bukan hanya itu, meja makan terlihat berantakan dengan beberapa sisa lauk. Serta wastafel berisi piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja."Calvin," panggil Greta kala mendapati sahabatnya itu berada di ruang santai bersama perempuan asing."Grey, kau sudah pulang?" Calvin menghampiri Greta kemudian mengajaknya bergabung bersama. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu."Greta menghela napas. Ruang santai yang semula bersih, kini berantakan dengan berbagai macam makanan. Beberapa snack juga berceceran di lantai."Grey, kenalkan dia Lidya, kekasihku. Lid, dia Greta, sahabatku."
"Kalian siapa?" Greta mengerjap-ngerjapkan matanya usai sadarkan diri. Dia terkejut mendapati beberapa lelaki berpostur besar berada satu ruangan bersamanya. "Di mana aku?""Nona, tenanglah. Kau berada di rumah sakit karena sebelumnya pingsan." Salah satu dari lelaki tersebut menjawab.Greta berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Terakhir kali yang dia ingat sedang berada di kantor, membawakan beberapa map untuk diberikan pada atasannya. Setelahnya dia tidak mengingat apapun lagi."Gret," seru lelaki berstelan jas yang tiba-tiba datang dan langsung memeluk erat perempuan itu. "Akhirnya kau bangun. Aku sangat mengkhawatirkanmu."Yang dipeluk merasakan napasnya sedikit sesak. "Ma-maf, Pak. Apa ini tidak berlebihan? A-aku baik-baik saja."Jerico melepas pelukannya. "Dasar ceroboh! Kau memiliki penyakit lambung, kenapa tidak sarapan?"Greta bingung kenapa atasannya bisa tahu jika dia memiliki sa
"Wajahmu kenapa redup sekali pagi ini? Seolah matahari berhenti bersinar," ucap Mega sambil menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. Greta merebahkan tubuhnya di kursi serta membuang napasnya perlahan. "Aku hanya tidak bisa tidur semalaman." "Ada yang kau pikirkan?" "Yah ... kenapa hidupku rumit sekali." Greta mengeluhkan dirinya sendiri. "Kau sudah sarapan? Jangan sampai seperti kemarin. Kau membuatku khawatir." Greta terkekeh. "Tenang saja, Calvin membuatku sarapan pagi tadi. Maaf telah membuatmu khawatir." "Omong-omong saat kau pingsan kemarin, Pak Jerico langsung menggendongmu. Dan kau tahu? Wajahnya langsung panik dan khawatir." "Yang benar saja, Meg. Dia seorang CEO mana mungkin repot-repot menggendong karyawannya." Greta berpikir jika karyawan lainnyalah yang menggendongnya. "Astaga, dia tidak percaya. Aku rasa Pak Jerico benar-benar sangat menyukaimu. Karena kalau tidak, dia tida
Hari ini adalah weekend di hari sabtu. Sejak pagi tadi Calvin, Greta, dan Lidya memutuskan untuk lari pagi bersama. Usai berlari berkilo-kilo meter, ketiganya berhenti di sebuah taman untuk beristirahat.Greta membeli dua botol air mineral, satu untuk dirinya dan satu untuk Calvin. Namun saat dia ingin memberikannya pada lelaki itu, Lidya sudah lebih dulu memberikan minuman pada Calvin.Greta tersenyum miris lantas meremat satu botol yang dipegangnya. "Bodoh sekali. Aku lupa kalau Calvin telah memiliki Lidya," ucapnya pelan."Jangan merasa kalau kau sendirian," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dan mengambil satu botol yang dipegang Greta. "Kau punya aku. Aku selalu siap kapan aja jika kau membutuhkanku." Kemudian dia meminumnya."Pa-pak Jerico?" Greta mengedip-ngedipkan matanya. "Bapak sedang apa di sini?""Bapak lagi. Susah sekali, ya, menyebut namaku?" Jerico mengusap dagunya sembari berpikir. "Kira-kira panggila
"Grey, kau baik-baik saja?" Calvin berlari menghampiri Greta yang baru saja tiba di kosan. "Berjam-jam kau tidak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mengkhawatirkanmu."Aku baik-baik saja, Vin. Hanya sakit kepala biasa." Greta terkekeh lantas masuk ke dalam dan mengajak Jerico untuk mampir. "Kau sedang masak apa?""Ramen. Lidya ingin makan ramen buatanku. Berhubung kalian sudah pulang, aku akan memasak untuk kalian juga," kata Calvin kembali ke dapur diikuti Greta juga Jerico di belakang."Izinkan aku memasak untuk Greta." Tanpa persetujuan sang pemilik kosan lebih dulu, Jerico mulai mengambil pisau."Hey, aku belum mengizinkanmu," protes Calvin tak terima barang-barangnya disentuh lagi oleh Jerico. Ini kedua kalinya lelaki itu memasak di kosan Greta."Biarkan saja, Vin." Greta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku tunggu di kamar. Masak yang enak, ya, kalian berdua."Greta menyeret kakinya menuju kamar.
"Greeeeyyyy," teriak Calvin. Dia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans."Yaaaa ... ada apa, Vin?" sahut Greta. Dia keluar dari kamar dengan kaos lengan pendek dan hotpants. Rambut basahnya pun ditutupi dengan handuk. "Kalian berdua sudah rapi? Mau ke mana?""Aku ingin mengajak Lidya jalan-jalan berdua," ucapnya sembari menatap Lidya dan tersenyum."Oh, gitu. Baiklah, kau tenang saja aku akan jaga kosan. Kalian bersenang-senang saja.""Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Kami berangkat," kata Calvin dengan raut wajah senangnya.Mereka sudah pergi. Sedangkan Greta terlihat miris sendirian berada di kosan. Calvin tidak lagi mengajaknya jalan-jalan. Seharusnya Greta tahu itu. Tapi kenapa masih berharap?Calvin sudah tidak butuh dirinya. Lagi pula, Greta sudah merasa tidak nyaman di kosan. Semalam dia sudah memikirkan matang-matang kalau dia harus pindah dari kosan. Lebih baik dia mencari kos
"Greeeyyy ...." Calvin mengetuk pintu kosan yang terkunci. Dia dan Lidya baru saja pulang dari jalan-jalan. "Apa Grey pergi keluar?""Mungkin saja dia mencari makanan di luar," kata Lidya. "Kau memiliki kunci cadangan, kan?""Ya, aku memilikinya." Calvin mengambil kunci tersebut di saku celana kemudian membuka pintu."Aku ke kamar dulu." Ucapan Lidya langsung diberi anggukkan oleh Calvin.Sebenarnya ada perasaan khawatir yang bersarang di hati Calvin. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus memikirkan Greta. Dia takut jika perempuan itu terjadi sesuatu."Viiiiinnn ...," teriak Lidya dari dalam kamar hingga lamunan Calvin buyar.Calvin langsung berlari. "Ada apa, Lid?""Pakaian dan semua barang-barang Greta tidak ada. Sepertinya dia pergi dari sini."Calvin panik. Dia mengecek isi lemari dan sudut-sudut tempat biasa Greta menempatkan barang-barangnya, semuanya tidak ada. Buru-b
"Yasmin, apa yang kau lakukan pada Greta?" Mega geram karena rekan kerjanya itu tiba-tiba menampar Greta."Itu karena salahnya! Kenapa dia datang bersama Pak Jerico?" Kedua mata Yasmin melebar dan tangannya mengepal."Kenapa kau marah pada Greta? Suka-suka Pak Jerico ingin datang bersama siapa ke kantor." Amarah Mega ikut tersulut.Keributan yang terjadi di meja sekretaris, mengundang banyak pasang mata untuk menontonnya. Beberapa dari mereka mengetahui jika Yasmin menyukai Jerico sejak lelaki itu dinobatkan menjadi CEO perusahaan Louise Group."Karena aku menyukai Pak Jerico," ucap Yasmin dengan jujur."Sudah, hentikan! Yasmin, sebaiknya kau kembali ke tempat kerjamu." Greta angkat bicara."Kau tidak berhak memerintahkanku, memangnya kau siapa?""Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan sebelum Pak Jerico datang menegurmu." Greta malas sekali meladeninya.Pintu ruangan Jerico te