Share

Bab 5 - Bertengkar

Greta menjatuhkan dirinya di sofa panjang kala baru saja tiba di kosan. Tiba-tiba saja irisnya menangkap suatu pemandangan yang janggal. Sepasang sepatu perempuan berada di antara sepatu miliknya di rak dekat dengan pintu masuk.

"Sepatu milik siapa, ya?" tanyanya dalam hati. "Aku merasa tidak memiliki sepatu model itu."

Ternyata bukan hanya itu, meja makan terlihat berantakan dengan beberapa sisa lauk. Serta wastafel berisi piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja.

"Calvin," panggil Greta kala mendapati sahabatnya itu berada di ruang santai bersama perempuan asing.

"Grey, kau sudah pulang?" Calvin menghampiri Greta kemudian mengajaknya bergabung bersama. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu."

Greta menghela napas. Ruang santai yang semula bersih, kini berantakan dengan berbagai macam makanan. Beberapa snack juga berceceran di lantai.

"Grey, kenalkan dia Lidya, kekasihku. Lid, dia Greta, sahabatku." Calvin memperkenalkan keduanya.

Greta terkejut manakala sahabatnya itu untuk pertama kalinya membawa perempuan lain ke kosan. Dia juga tidak pernah tahu kalau Calvin sedang dekat dengan perempuan.

"Baiklah. Kalian lanjut saja. Aku ke kamar dulu. Selamat bersenang-senang." Greta mengumbar senyum termanisnya meski terpaksa.

Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, Greta tak berniat merapikan seisi ruang di kosan. Lagi pula bahan makanan di lemari es sudah habis, lebih baik mencari makanan di luar kosan.

Greta memutuskan ke mini market karena jaraknya paling dekat dengan kosan. Beruntung, mereka menyediakan air panas di mesin dan beberapa topping sebagai pendamping mie. Greta mengambil mie favoritnya serta beberapa topping, telur, lobak, dan kimchi.

"Mie ramen dengan telur setengah matang, siap disantap," gumamnya seraya tersenyum. Dia benar-benar lapar sekali.

Tanpa berlama-lama, Greta langsung mengambil tempat dekat jendela dan melahap mie tersebut. "Aww ... Panas," liirihnya sembari mengibas-ngibas bibirnya dengan tangan.

"Pelan-pelan makannya," ujar seseorang, mengambil tempat di hadapan Greta.

Bola mata Greta membulat. Dia terkejut lelaki yang dikenalnya tiba-tiba berada di hadapannya.

"Pak Jerico?" Greta menyebut nama lelaki itu dengan tampang aneh. "Bapak kenapa berada di sini?" Greta merasa kalau atasannya selalu mengikuti ke manapun dia pergi.

"Panggil aku, Jerico. Sekarang berada di luar kantor, kan?" Dia terus menatap Greta hingga perempuan itu salah tingkah. "Aku hanya lewat dan mampir cari makan. Kebetulan aku melihatmu sendirian."

"Ya ... tidak ada makanan di kosan, jadi aku ke sini." Greta kembali melahap mienya meski diliputi suasana canggung.

"Kau tinggal sendiri?" Jerico ikut melahap nasi dan chicken katsu miliknya.

"Tidak. Aku tinggal bersama sahabatku. Biasanya dia yang masak, tapi malam ini sedang tidak." Greta terkekeh.

"Oh gitu. Apa perlu kukirimkan asisten rumah tangga?"

"Ah ... Jangan!" tolak Greta secepat kilat. "Maksudku, aku tidak ingin merepotkan orang lain."

"Orang lain?" ucap Jerico miris dalam hati. "Sekarang kau bisa menyebutku orang lain, Greta. Tapi nanti ... aku akan membuatmu bertekuk lutut padaku," lanjutnya.

***

"Kau dari mana saja?" tegur Calvin. Dia keluar kamar begitu mendengar suara pintu terbuka dan tertutup.

Greta meletakan jaketnya di tempat gantungan sambil memasang wajah cuek. "Cari makan. Apa dia sudah pulang?" Dia edarkan pandangannya namun kekasih dari Calvin tersebut tak tampak batang hidungnya. Justru dia mendapati tempat-tempat yang kotor tadi, belum juga dibersihkan.

Calvin paham siapa yang dimaksud Greta. "Sudah. Dia menolak diantar."

"Aku ingin bicara padamu." Greta berjalan meju ruang santai dan menjatuhkan dirinya di sana. Sedangkan Calvin mengikutinya di belakang. "Dari pagi tadi, aku tidak melihat mobil kita terparkir di depan? Ke mana?"

Calvin terdiam. Dia kebingungan kalimat apa yang ingin dia ucapkan. Sebab mulanya dia tak sampai berpikir jika Greta menyadarinya begitu cepat.

"Be-begini, Grey. Sebenarnya mobil itu sudah kujual." Calvin yakin Greta akan sangat marah padanya.

"Kau jual? Astaga untuk apa!" Bola mata Greta nyaris keluar dari tempatnya. Dia sangat marah karena mobil itu adalah mobil kesukaannya.

Melihat emosi Greta mulai meradang, Calvin berusaha menjelaskan pelan-pelan. "Aku jual karena Lidya butuh uang untuk biaya operasi ibunya di rumah sakit."

Greta memijat dahinya yang pening. "Aku tak masalah kau membantu orang lain. Tapi tidak dengan menjual mobil! Dan yang paling buatku kesal, kau tidak mengajakku berdiskusi dulu. Kau tahu, kan, kita sama-sama mengumpulkan uang untuk membelinya?"

"Aku tahu, Grey. Aku minta maaf kalau tidak bicarakan soal ini padamu terlebih dahulu, keadaannya sudah mendesak." Calvin terus berusaha agar Greta tidak marah padanya. "Lagi pula, kau juga tidak bisa menyetir mobil dan jarang dipakai, kan?"

Perkataan terakhir Calvin seakan menampar Greta. Memang, dirinya tidak bisa menyetir mobil. Namun bukan berarti lelaki itu bisa melakukan apapun seenaknya.

"Baiklah. Terserah kau saja. Lakukan apa pun sesukamu." Greta beranjak dari sofa lalu melengos pergi ke kamar. Dia enggan berdebat lama-lama.

***

Aroma masakan menguar dan menusuk indera penciuman Greta. Dia baru saja selesai menghiasi wajahnya dengan make up natural. Sambil menenteng tasnya, Greta keluar kamar tanpa menoleh ke dapur ataupun meja makan.

"Kau sudah mau berangkat?" tegur Calvin. Dia menghampiri Greta dengan masih mengenakan apron. "Sarapan dulu, Grey. Aku sudah masak nasi goreng kesukaanmu."

"Aku sarapan di kantor saja," ucap Greta seraya memakai sepatu kerjanya.

"Kalau begitu, tunggu sebentar! Aku siapkan bekal untukmu."

Calvin berlari ke dapur, mengambil tupperware, dan ke meja makan. Namun sebelum semuanya selesai disiapkan, dia mendengar suara pintu terbuka. Greta sudah pergi tanpa membawa bekalnya.

Setibanya di kantor, Greta disuguhi oleh pemandangan dua sejoli yang sedang bermesraan. Siapa lagi kalau bukan Mega dan Satria.

"Duuuhhh ... Pagi-pagi udah bikin iri aja deh," kata Greta menyindir dua sejoli itu yang sedang suap-suapan.

Mega terkekeh. "Mau? Iri bilang, sayang," lanjutnya meledek.

"Makanya cari pacar dong," timpal Satria ikut mengompori.

Greta memandang keduanya dengan sinis. "Menyebalkan sekali. Lihat saja nanti kalau aku sudah punya pacar," ucapnya dengan sombong.

"Okelah, baik. Kita tunggu kabar baiknya. Iya kan, Sat?" Mega menengadah ke atas lalu diberi anggukan oleh satria.

Baru saja ingin mengomentari kedua pasangan itu, seseorang tiba-tiba muncul bersama asistennya. Greta memberi kode pada kedua temannya melalui mata jika atasan mereka sudah tiba. Mereka pun melirik melalui ekor mata dan langsung panik.

"Gosip lagi? Kalian ini benar-benar tidak ada kerjaan lain?" ucap Jerico sambil memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Satria, kau masih di sini?"

"Eh, iya, Pak. Ini saya baru mau balik ke meja saya. Permisi." Satria pun langsung terbirit-birit kembali ke tempatnya.

"Hmmm ... Greta." Yang dipanggil menoleh. "Cek email kamu. Saya minta data-data semuanya dengan lengkap. Setelah selesai, antarkan ke ruangan saya," titah Jerico.

"Baik, Pak. Segera saya kerjakan." Greta mengecek langsung emailnya melalui komputer. Moodnya hari ini lagi tidak bagus, mengundang Jerico curiga.

Jerico menutup sebagian jendela kaca ruang kantornya. "Sudah kau laksanakan apa yang kuperintahkan?"

"Aku sudah memulainya kemarin dan seperti yang kau mau, mereka bertengkar." Marko menjelaskan tugas awalnya.

"Bagus. Ini baru awal, pastikan salah satu dari mereka keluar dari kosan tersebut dan biarkan mereka terus bertengkar," perintah Jerico dengan wajah sumringah.

Tiba-tiba saja, suara ketukan pintu terdengar. Jerico kembali membuka jendela kaca yang sebelumnya tertutup. Terlihat Greta di depan sana dengan membawa beberapa map di tangan.

Greta masuk ke dalam ruangan usai dipersilakan. Akan tetapi baru beberapa melangkah, perempuan itu kehilangan keseimbangan. Dia ambruk tak sadarkan diri.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aprilia Choi
Jerico sukanya main belakang, tapi keren sih ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status