"Mega," panggil Jerico ketika ketiganya baru saja sampai di ruangan dari makan siang tadi. "Bisa ke ruangan saya sebentar?" Jerico memang mengubah cara bicaranya menjadi formal ketika di kantor.
"Baik, Pak." Mega buru-buru meletakkan dompetnya di meja lantas ke ruangan Jerico. Dia tak ingin membuat kesalahan karena atasannya menunggu lama.Sementara Greta dan Satria kembali ke meja dengan pikiran masing-masing. Meski telah mendapat lampu hijau dari Jerico, Satria masih khawatir akan hubungannya dengan Mega. Bisa saja atasannya itu berubah pikiran, lalu memecat salah satu antara dirinya dan Mega.Sedangkan Greta memikirkan perkataan Mega mengenai Jerico yang bisa jadi adalah bagian dari masa lalunya. Rasa-rasanya tidak mungkin karena jika memang lelaki itu kekasih atau suaminya, dia pasti mengaku. Tapi ini, tidak."Hayoooo ... bengong saja! Mikirin apa?" Tiba-tiba Mega datang mengagetkan Greta dengan memegang pundak sahabatnya itu."Haisssshh ... kebiasaan, deh! Ngagetin orang terus." Greta memberengut sebal.Bukannya merasa bersalah, Mega tertawa geli. Pasalnya Greta memasang wajah lucu saat terkejut tadi.Sambil berjalan ke meja kerjanya Mega berkata, "Hobi melamun. Mikirin apa sih, Ta?"Greta menggeleng lemas seraya menempatkan sebelah tangannya sebagai penyangga kepala. "Oh, ya. Kau diintrogasi Pak Jerico apa saja?" Dia hampir lupa menanyakannya."Hanya soal pekerjaan. Itu saja," jawabnya enteng."Wah, wah, wah ... duo sejoli ini selalu bergosip. Gosipin apa, sih?" Tanpa diundang tiba-tiba saja rekan kerja mereka datang dengan membawa dua cup kopi. "Untuk kalian. Seperti biasa.""Tidak penting." Greta mengambil dua cup kopi tersebut kemudian menyerahkan satu pada Mega. "Terima kasih, No. Aku jadi tidak enak, kau hampir mengirimi kami kopi setiap hari.""Bukan masalah." Nino tersenyum. "Yang terpenting kalian harus semangat kerjanya." Dia tidak lupa mensupport kedua temannya.Dari balik jendela ruangan, Jerico bisa melihat dengan jelas ketiga karyawannya sibuk mengobrol. Apa lagi salah satu dari mereka berusaha mendekati Greta.Jerico tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Dia menghampiri meja Greta dengan langkah santai. Sontak Greta dan Mega pura-pura berkutat kembali dengan komputer di hadapan mereka. Lain halnya dengan Nino, dia enggan pergi dari meja Greta."Sudah jam kerja, kalian masih bergosip," sindir Jerico terang-terangan. "Kalau kalian sudah bosan bekerja di perusahaan ini, katakan saja!"Greta bangun dari kursi. "Maaf, Pak. Nino hanya memberikan kopi untuk kami.""Sudah, kan? Kenapa kau masih di sini?" Jerico seolah-olah mengusir Nino. "Silakan kembali ke mejamu."Nino memandang atasannya itu tak suka. "Baik, Pak. Ta, balik dulu." Greta mengangguk pelan.Jerico kemudian mengambil kopi pemberian Nino dan menyesapnya sedikit. "Kopi ini tidak enak. Kau tidak akan suka.""Tapi, Pak, saya biasa minum kopi itu, kok." Greta tidak terima kopi pemberian Nino diambil dan diminum Jerico begitu saja.Jerico tidak peduli dengan gerutuan Greta. Dia berjalan menuju ruangannya seraya menghabiskan kopi yang diminumnya.***"Ta, aku duluan, ya," Mega pamit pulang lebih dulu karena kerjaannya pun sudah selesai. "Jangan lembur terus."Greta meresponnya dengan tertawa. Jam sudah menunjukkan waktu pulang kantor, tapi Greta belum merampungkan laporan yang harus dikirim hari ini. Sedikit lagi, semua pekerjaannya selesai."Belum pulang, Ta." Nino menegur Greta serta menawarkan tumpangan. "Mau pulang bareng?"Greta menggeleng. "Kau duluan saja. Aku dijemput Calvin."Harapan Nino untuk mendekati Greta lagi-lagi gagal. "Baiklah. Aku duluan."Tak lama berselang, Greta berhasil menyelesaikan pekerjaannya dan tak lupa mengirim laporan tersebut pada Jerico. Suasana kantor sudah sepi. Dia berlari melewati koridor dan menggunakan lift. Calvin pasti sudah menunggunya lama di lobi."Maaf membuatmu lama menunggu." Greta meraih helm yang diberikan Calvin, lantas lelaki itu membantu memasangkannya."Aku mengerti, Grey." Calvin mencapit hidung Greta dengan telunjuk dan jari tengah. "Jadi, mau ke mana kita? Cari makan atau pulang?""Kau tidak lelah? Aku tahu kau sudah terbiasa masak untuk makan malam, tapi ...." Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Calvin meletakkan jari telunjuknya di bibir Greta."Untukmu tidak ada kata lelah dalam hidupku." Kata-kata sweet Calvin mulai keluar."Mulai, deh. Udah ayo, jalan!" Sambil terkekeh geli Greta menaiki motor tersebut.Lagi-lagi Jerico mendapati pemandangan yang tidak dia sukai. Sejak tadi dia mendengar pembicaraan Greta dengan seorang lelaki. Keduanya kelihatan sangat dekat.Saat mereka pergi dengan motornya, Jerico memerintahkan asistennya untuk mengikuti mereka. Paling tidak, dia tahu tempat di mana Greta tinggal dan bersama siapa.Jerico teringat saat memanggil Mega ke ruangannya tadi siang. Dia meminta perempuan itu jujur dan menceritakan semua hal yang sudah dialami Greta setahun ke belakang."Lihat saja! Aku akan mendapatkanmu kembali, Greta.""Jadi, informasi apa yang kau dapatkan?" tanya Jerico saat asisten pribadinya masuk ke dalam mobil.Selain mengikuti ke mana Greta pergi, Jerico memerintahkan asisten pribadinya mencari informasi terkait perempuan itu. Apa lagi dia harus tahu siapa lelaki yang bersama Greta saat ini."Lelaki itu bernama Calvin, dia sahabat Greta," ucap Marko kemudian mengambil napas lalu dia keluarkan perlahan. Dia khawatir informasi selanjutnya akan membuat atasan sekaligus sahabatnya itu naik pitam."Lalu? Itu saja?" Jerico tidak yakin informasi yang Marko dapatkan hanya sebatas itu.Marko ragu-ragu untuk mengatakannya. "Mereka tinggal di lantai dua nomer enam belas.""Maksudmu mereka berdua tinggal bersama?" Tanpa perlu jawaban dari Marko, Jerico sudah bisa menebaknya.Marko tidak membuka suara. Dia terdiam, menunggu perintah Jerico selanjutnya. Sebab dia paham sekali kalau sahabatnya tidak akan tinggal diam.
Greta menjatuhkan dirinya di sofa panjang kala baru saja tiba di kosan. Tiba-tiba saja irisnya menangkap suatu pemandangan yang janggal. Sepasang sepatu perempuan berada di antara sepatu miliknya di rak dekat dengan pintu masuk."Sepatu milik siapa, ya?" tanyanya dalam hati. "Aku merasa tidak memiliki sepatu model itu."Ternyata bukan hanya itu, meja makan terlihat berantakan dengan beberapa sisa lauk. Serta wastafel berisi piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja."Calvin," panggil Greta kala mendapati sahabatnya itu berada di ruang santai bersama perempuan asing."Grey, kau sudah pulang?" Calvin menghampiri Greta kemudian mengajaknya bergabung bersama. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu."Greta menghela napas. Ruang santai yang semula bersih, kini berantakan dengan berbagai macam makanan. Beberapa snack juga berceceran di lantai."Grey, kenalkan dia Lidya, kekasihku. Lid, dia Greta, sahabatku."
"Kalian siapa?" Greta mengerjap-ngerjapkan matanya usai sadarkan diri. Dia terkejut mendapati beberapa lelaki berpostur besar berada satu ruangan bersamanya. "Di mana aku?""Nona, tenanglah. Kau berada di rumah sakit karena sebelumnya pingsan." Salah satu dari lelaki tersebut menjawab.Greta berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Terakhir kali yang dia ingat sedang berada di kantor, membawakan beberapa map untuk diberikan pada atasannya. Setelahnya dia tidak mengingat apapun lagi."Gret," seru lelaki berstelan jas yang tiba-tiba datang dan langsung memeluk erat perempuan itu. "Akhirnya kau bangun. Aku sangat mengkhawatirkanmu."Yang dipeluk merasakan napasnya sedikit sesak. "Ma-maf, Pak. Apa ini tidak berlebihan? A-aku baik-baik saja."Jerico melepas pelukannya. "Dasar ceroboh! Kau memiliki penyakit lambung, kenapa tidak sarapan?"Greta bingung kenapa atasannya bisa tahu jika dia memiliki sa
"Wajahmu kenapa redup sekali pagi ini? Seolah matahari berhenti bersinar," ucap Mega sambil menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya. Greta merebahkan tubuhnya di kursi serta membuang napasnya perlahan. "Aku hanya tidak bisa tidur semalaman." "Ada yang kau pikirkan?" "Yah ... kenapa hidupku rumit sekali." Greta mengeluhkan dirinya sendiri. "Kau sudah sarapan? Jangan sampai seperti kemarin. Kau membuatku khawatir." Greta terkekeh. "Tenang saja, Calvin membuatku sarapan pagi tadi. Maaf telah membuatmu khawatir." "Omong-omong saat kau pingsan kemarin, Pak Jerico langsung menggendongmu. Dan kau tahu? Wajahnya langsung panik dan khawatir." "Yang benar saja, Meg. Dia seorang CEO mana mungkin repot-repot menggendong karyawannya." Greta berpikir jika karyawan lainnyalah yang menggendongnya. "Astaga, dia tidak percaya. Aku rasa Pak Jerico benar-benar sangat menyukaimu. Karena kalau tidak, dia tida
Hari ini adalah weekend di hari sabtu. Sejak pagi tadi Calvin, Greta, dan Lidya memutuskan untuk lari pagi bersama. Usai berlari berkilo-kilo meter, ketiganya berhenti di sebuah taman untuk beristirahat.Greta membeli dua botol air mineral, satu untuk dirinya dan satu untuk Calvin. Namun saat dia ingin memberikannya pada lelaki itu, Lidya sudah lebih dulu memberikan minuman pada Calvin.Greta tersenyum miris lantas meremat satu botol yang dipegangnya. "Bodoh sekali. Aku lupa kalau Calvin telah memiliki Lidya," ucapnya pelan."Jangan merasa kalau kau sendirian," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dan mengambil satu botol yang dipegang Greta. "Kau punya aku. Aku selalu siap kapan aja jika kau membutuhkanku." Kemudian dia meminumnya."Pa-pak Jerico?" Greta mengedip-ngedipkan matanya. "Bapak sedang apa di sini?""Bapak lagi. Susah sekali, ya, menyebut namaku?" Jerico mengusap dagunya sembari berpikir. "Kira-kira panggila
"Grey, kau baik-baik saja?" Calvin berlari menghampiri Greta yang baru saja tiba di kosan. "Berjam-jam kau tidak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mengkhawatirkanmu."Aku baik-baik saja, Vin. Hanya sakit kepala biasa." Greta terkekeh lantas masuk ke dalam dan mengajak Jerico untuk mampir. "Kau sedang masak apa?""Ramen. Lidya ingin makan ramen buatanku. Berhubung kalian sudah pulang, aku akan memasak untuk kalian juga," kata Calvin kembali ke dapur diikuti Greta juga Jerico di belakang."Izinkan aku memasak untuk Greta." Tanpa persetujuan sang pemilik kosan lebih dulu, Jerico mulai mengambil pisau."Hey, aku belum mengizinkanmu," protes Calvin tak terima barang-barangnya disentuh lagi oleh Jerico. Ini kedua kalinya lelaki itu memasak di kosan Greta."Biarkan saja, Vin." Greta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku tunggu di kamar. Masak yang enak, ya, kalian berdua."Greta menyeret kakinya menuju kamar.
"Greeeeyyyy," teriak Calvin. Dia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans."Yaaaa ... ada apa, Vin?" sahut Greta. Dia keluar dari kamar dengan kaos lengan pendek dan hotpants. Rambut basahnya pun ditutupi dengan handuk. "Kalian berdua sudah rapi? Mau ke mana?""Aku ingin mengajak Lidya jalan-jalan berdua," ucapnya sembari menatap Lidya dan tersenyum."Oh, gitu. Baiklah, kau tenang saja aku akan jaga kosan. Kalian bersenang-senang saja.""Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Kami berangkat," kata Calvin dengan raut wajah senangnya.Mereka sudah pergi. Sedangkan Greta terlihat miris sendirian berada di kosan. Calvin tidak lagi mengajaknya jalan-jalan. Seharusnya Greta tahu itu. Tapi kenapa masih berharap?Calvin sudah tidak butuh dirinya. Lagi pula, Greta sudah merasa tidak nyaman di kosan. Semalam dia sudah memikirkan matang-matang kalau dia harus pindah dari kosan. Lebih baik dia mencari kos
"Greeeyyy ...." Calvin mengetuk pintu kosan yang terkunci. Dia dan Lidya baru saja pulang dari jalan-jalan. "Apa Grey pergi keluar?""Mungkin saja dia mencari makanan di luar," kata Lidya. "Kau memiliki kunci cadangan, kan?""Ya, aku memilikinya." Calvin mengambil kunci tersebut di saku celana kemudian membuka pintu."Aku ke kamar dulu." Ucapan Lidya langsung diberi anggukkan oleh Calvin.Sebenarnya ada perasaan khawatir yang bersarang di hati Calvin. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus memikirkan Greta. Dia takut jika perempuan itu terjadi sesuatu."Viiiiinnn ...," teriak Lidya dari dalam kamar hingga lamunan Calvin buyar.Calvin langsung berlari. "Ada apa, Lid?""Pakaian dan semua barang-barang Greta tidak ada. Sepertinya dia pergi dari sini."Calvin panik. Dia mengecek isi lemari dan sudut-sudut tempat biasa Greta menempatkan barang-barangnya, semuanya tidak ada. Buru-b