"Wajahmu kenapa redup sekali pagi ini? Seolah matahari berhenti bersinar," ucap Mega sambil menyuap sesendok bubur ke dalam mulutnya.
Greta merebahkan tubuhnya di kursi serta membuang napasnya perlahan. "Aku hanya tidak bisa tidur semalaman.""Ada yang kau pikirkan?""Yah ... kenapa hidupku rumit sekali." Greta mengeluhkan dirinya sendiri."Kau sudah sarapan? Jangan sampai seperti kemarin. Kau membuatku khawatir."Greta terkekeh. "Tenang saja, Calvin membuatku sarapan pagi tadi. Maaf telah membuatmu khawatir.""Omong-omong saat kau pingsan kemarin, Pak Jerico langsung menggendongmu. Dan kau tahu? Wajahnya langsung panik dan khawatir.""Yang benar saja, Meg. Dia seorang CEO mana mungkin repot-repot menggendong karyawannya." Greta berpikir jika karyawan lainnyalah yang menggendongnya."Astaga, dia tidak percaya. Aku rasa Pak Jerico benar-benar sangat menyukaimu. Karena kalau tidak, dia tidak akan peduli denganmu," ujar Mega memberi kesimpulan.Greta teringat kejadian semalam sebelum Jerico pulang dari kosannya. Lelaki itu mengatakan jika dia harus menjadi kekasihnya. Hal itulah yang membuat dirinya sulit tidur semalaman.Beberapa hari bekerja dan menjabat sebagai CEO, bukan berarti Greta sudah memahami betul karakter dan sifat dari atasannya itu. Maka dari itulah Greta tidak langsung menjawab perihal kejadian semalam."Ta, Greta!" Mega menyenggol lengan Greta karena perempuan itu melamun."Ah, ya, ada apa?" Greta menatap Mega. Sementara Mega memberi kode melalui matanya.Greta menoleh ke belakang dan mendapati Jerico di sana sambil melipat kedua tangannya di dada. "Eh? Pak Jerico sudah datang? Selamat pagi, Pak," ucap Greta seraya berdiri lalu membungkukkan badannya."Kamu, ke ruangan saya sekarang," titah Jerico. Dia melenggang pergi ke ruangannya dengan wajah tanpa ekspresi."Ah, sial!" umpat Greta dalam hati. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan menuju ke ruang Jerico.Greta terdiam dan berdiri setelah masuk ke dalam ruangan. Sedangkan lelaki itu masih berkutat dengan ponselnya. Bagi Greta, berada di ruangan tersebut bagai ancaman untuknya."Temani saya sarapan." Jerico mengalihkan perhatiannya dari ponsel dan meletakkan tupperware di meja. Tak lupa juga dia menutup jendela dan mengunci pintu dengan memencet tombol pada remote."Apa?" Greta memandang atasannya tak percaya."Kemarilah!" perintah Jerico. Greta melangkah mendekati meja lelaki itu dengan bingung. "Buka dan suapi saya." Jerico mendorong tupperware ke arah Greta.Greta mendelik. Dia pikir, Jerico akan memberikannya pekerjaan yang berat tapi ternyata, tidak. Dia bukanlah baby sister yang tugasnya menyuapi seorang bayi. Tapi Jerico bukan seorang bayi, dia hanya mendadak manja."Kenapa diam saja? Kau kekasihku sekarang." Jerico menarik tangan Greta membuat perempuan itu terkejut. Greta terjatuh dalam pangkuan Jerico."Lepaskan saya, Pak. Aku takut jika karyawan lainnya melihat kita.""Kamu tenang saja. Tidak ada yang melihat dan masuk ke ruangan ini. Cuma kita berdua." Jerico mengusap ujung bibir Greta dengan lembut."Tapi, Pak ...." Greta menggantungkan kalimatnya sebab Jerico mengecup bibirnya sekilas. Lagi-lagi kedua mata Greta nyaris keluar dari tempatnya. "Apa yang Bapak lakukan!" Greta kesal. Lelaki itu tak segan berani menciumnya dengan santai."Membungkammu karena cerewet sekali. Aku sudah lapar, ayo suapi saya!" perintah Jerico lagi. "Kalau kamu tidak mau melakukannya, saya akan mengumumkan di depan semua karyawan kalau kita resmi pacaran." Dia mengancam."Jangan! Saya mohon jangan lakukan itu, Pak.""Kalau begitu lakukan apa yang saya perintahkan."Greta tidak punya pilihan lain lagi kecuali mengikuti perintah Jerico. Lelaki itu telah mengklaim dirinya sebagai kekasih. Padahal Greta sendiri tidak pernah menjawab keinginan dari lelaki itu.Greta mengambil tupperware lalu membukanya. Harum dari nasi goreng menguar begitu saja memenuhi ruangan. Perlahan dia pun mendekatkan sendok ke mulut Jerico. Lelaki itu langsung melahapnya."Kamu sudah sarapan? Saya tidak ingin melihatmu pingsan seperti kemarin," ucap Jerico mengambil alih sendok yang dipegang Greta. "Sekarang giliranmu. Ayo, buka.""Saya sudah sarapan, Pak. Terima kasih." Greta lagi-lagi menolak."Kamu tahu, kan, saya paling tidak suka jika ditolak? Jadi, menurutlah."Greta menghela napas lantas membuka mulutnya. Untuk kesekian kalinya, dia takluk pada atasannya itu.***Saat tiba di kosan, Greta merebahkan tubuhnya di kasur. Meregangkan kedua tangannya ke atas kemudian menarik tubuhnya ke bawah. Hari ini dia sangat lelah. Siapa lagi kalau bukan karena Jerico yang terus-menerus mengerjainya.Kosan terasa sepi sebab Calvin belum pulang dari kantor. Apa dia lembur hari ini? Entahlah. Omong-omong, Greta memang sudah memaafkan Calvin pagi tadi. Dia tidak bisa berlama-lama bertengkar dengan sahabatnya itu."Greeeeyyyy ...." Seruan panggilan namanya terdengar melengking. Suara itu suara Calvin.Greta beranjak dari kasur kemudian berlari keluar dari kamar. Cacing-cacing di perutnya sudah berdemo minta diberi asupan. Entah sahabatnya itu membeli makanan atau memasak untuk makan malam.Akan tetapi, lelaki itu membuat Greta keheranan. Pasalnya dia pulang membawa dua koper besar. Dan ternyata dia membawa Lidya pulang bersama."Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Greta."Lidya menjual rumahnya untuk biaya rumah sakit. Untuk itu, mulai hari ini Lidya akan tinggal bersama kita." Calvin berharap Greta bisa menerima dan pengertian."Oh, begitu. Bawa saja koper-koper itu ke dalam dan Lidya bisa tinggal di kamarku," ucap Greta sedikit sinis. Dia sebenarnya tak rela membagi kamarnya dengan orang lain.Calvin menghela napas lega. "Terima kasih, Grey.""Terima kasih, Ta. Karena telah mengizinkanku tinggal bersama kalian," kata Lidya masih tidak enak hati. "Secepatnya aku akan mencari tempat tinggal yang baru."Greta mengangguk. "Kalian lanjut saja beres-beres. Aku ingin membersihkan diri dulu."Usai menyelesaikan rangkaian kegiatan di malam hari seperti membersihkan diri dan makan malam bersama, ketiganya sibuk masing-masing. Calvin dan Lidya menonton film bersama di ruang santai. Sementara Greta memilih makan camilan di dalam kamar sembari memainkan ponsel.Tiba-tiba saja ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Greta langsung membuka dan membacanya.[Selamat malam, Sayang. Have a nice dream]Hari ini adalah weekend di hari sabtu. Sejak pagi tadi Calvin, Greta, dan Lidya memutuskan untuk lari pagi bersama. Usai berlari berkilo-kilo meter, ketiganya berhenti di sebuah taman untuk beristirahat.Greta membeli dua botol air mineral, satu untuk dirinya dan satu untuk Calvin. Namun saat dia ingin memberikannya pada lelaki itu, Lidya sudah lebih dulu memberikan minuman pada Calvin.Greta tersenyum miris lantas meremat satu botol yang dipegangnya. "Bodoh sekali. Aku lupa kalau Calvin telah memiliki Lidya," ucapnya pelan."Jangan merasa kalau kau sendirian," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dan mengambil satu botol yang dipegang Greta. "Kau punya aku. Aku selalu siap kapan aja jika kau membutuhkanku." Kemudian dia meminumnya."Pa-pak Jerico?" Greta mengedip-ngedipkan matanya. "Bapak sedang apa di sini?""Bapak lagi. Susah sekali, ya, menyebut namaku?" Jerico mengusap dagunya sembari berpikir. "Kira-kira panggila
"Grey, kau baik-baik saja?" Calvin berlari menghampiri Greta yang baru saja tiba di kosan. "Berjam-jam kau tidak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mengkhawatirkanmu."Aku baik-baik saja, Vin. Hanya sakit kepala biasa." Greta terkekeh lantas masuk ke dalam dan mengajak Jerico untuk mampir. "Kau sedang masak apa?""Ramen. Lidya ingin makan ramen buatanku. Berhubung kalian sudah pulang, aku akan memasak untuk kalian juga," kata Calvin kembali ke dapur diikuti Greta juga Jerico di belakang."Izinkan aku memasak untuk Greta." Tanpa persetujuan sang pemilik kosan lebih dulu, Jerico mulai mengambil pisau."Hey, aku belum mengizinkanmu," protes Calvin tak terima barang-barangnya disentuh lagi oleh Jerico. Ini kedua kalinya lelaki itu memasak di kosan Greta."Biarkan saja, Vin." Greta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku tunggu di kamar. Masak yang enak, ya, kalian berdua."Greta menyeret kakinya menuju kamar.
"Greeeeyyyy," teriak Calvin. Dia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans."Yaaaa ... ada apa, Vin?" sahut Greta. Dia keluar dari kamar dengan kaos lengan pendek dan hotpants. Rambut basahnya pun ditutupi dengan handuk. "Kalian berdua sudah rapi? Mau ke mana?""Aku ingin mengajak Lidya jalan-jalan berdua," ucapnya sembari menatap Lidya dan tersenyum."Oh, gitu. Baiklah, kau tenang saja aku akan jaga kosan. Kalian bersenang-senang saja.""Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Kami berangkat," kata Calvin dengan raut wajah senangnya.Mereka sudah pergi. Sedangkan Greta terlihat miris sendirian berada di kosan. Calvin tidak lagi mengajaknya jalan-jalan. Seharusnya Greta tahu itu. Tapi kenapa masih berharap?Calvin sudah tidak butuh dirinya. Lagi pula, Greta sudah merasa tidak nyaman di kosan. Semalam dia sudah memikirkan matang-matang kalau dia harus pindah dari kosan. Lebih baik dia mencari kos
"Greeeyyy ...." Calvin mengetuk pintu kosan yang terkunci. Dia dan Lidya baru saja pulang dari jalan-jalan. "Apa Grey pergi keluar?""Mungkin saja dia mencari makanan di luar," kata Lidya. "Kau memiliki kunci cadangan, kan?""Ya, aku memilikinya." Calvin mengambil kunci tersebut di saku celana kemudian membuka pintu."Aku ke kamar dulu." Ucapan Lidya langsung diberi anggukkan oleh Calvin.Sebenarnya ada perasaan khawatir yang bersarang di hati Calvin. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus memikirkan Greta. Dia takut jika perempuan itu terjadi sesuatu."Viiiiinnn ...," teriak Lidya dari dalam kamar hingga lamunan Calvin buyar.Calvin langsung berlari. "Ada apa, Lid?""Pakaian dan semua barang-barang Greta tidak ada. Sepertinya dia pergi dari sini."Calvin panik. Dia mengecek isi lemari dan sudut-sudut tempat biasa Greta menempatkan barang-barangnya, semuanya tidak ada. Buru-b
"Yasmin, apa yang kau lakukan pada Greta?" Mega geram karena rekan kerjanya itu tiba-tiba menampar Greta."Itu karena salahnya! Kenapa dia datang bersama Pak Jerico?" Kedua mata Yasmin melebar dan tangannya mengepal."Kenapa kau marah pada Greta? Suka-suka Pak Jerico ingin datang bersama siapa ke kantor." Amarah Mega ikut tersulut.Keributan yang terjadi di meja sekretaris, mengundang banyak pasang mata untuk menontonnya. Beberapa dari mereka mengetahui jika Yasmin menyukai Jerico sejak lelaki itu dinobatkan menjadi CEO perusahaan Louise Group."Karena aku menyukai Pak Jerico," ucap Yasmin dengan jujur."Sudah, hentikan! Yasmin, sebaiknya kau kembali ke tempat kerjamu." Greta angkat bicara."Kau tidak berhak memerintahkanku, memangnya kau siapa?""Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan sebelum Pak Jerico datang menegurmu." Greta malas sekali meladeninya.Pintu ruangan Jerico te
"Kenapa kau pulang lebih dulu?" Jerico protes ketika langsung masuk apartemen dan menemukan Greta sedang asyik menonton film. "Tak bisakah kau menungguku?""Bukankah kau masih meeting? Lagi pula aku tidak ingin menjadi sorotan karyawan lainnya lagi." Greta berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada layar di depannya."Kau tidak senang? Kalau begitu besok aku akan mengumumkan hubungan kita di depan mereka. Supaya kau bisa leluasa dan tidak risih lagi." Jerico melenggang pergi ke kamar usai mengucapkan kalimatmya."Bukan itu maksudku, Kokooooo," teriak Greta. Dia mematikan televisi dan mengekori Jerico di belakang. "Aku tidak ingin mereka tahu, itu saja.""Bukankah kau tidak peduli dengan hubungan ini? Bahkan kau tidak menganggapku sebagai kekasihmu." Jerico melepas jasnya kemudian menggulung kemejanya sampai siku."I-iya. Tapi kau terus mendesakku dan membuatku was-was jika di kantor." Greta mengeluhkan sikap Jerico ya
"Siapa itu?" Greta takut ketika terdengar suara langkah kaki seseorang masuk ke dalam ruangan. "Siapa kau?" tanyanya sekali lagi. Merasa dirinya dalam bahaya, Greta mengambil ponselnya di tas dan menghubungi Jerico. Sementara Jerico tak berniat pergi dari kantor, perasaannya mendadak tidak enak. Dia justru khawatir dengan Greta di dalam sana. "Hallo, Ko." Greta berbicara dengan nada bergetar. Dia sangat takut sekarang. "Tolong aku." Ponsel Greta terlempar ke lantai saat seseorang yang tidak tahu batang hidungnya itu mendekatinya. Greta bisa memastikan jika seseorang itu adalah seorang lelaki. Greta pun berlari menjauh ke manapun dia bisa. "Siapapun tolong aku," teriak Greta. Percuma saja, keadaan kantor sudah sepi. Harapan satu-satunya adalah Jerico dapat membantunya. Lelaki itu tertawa. "Tidak ada yang bisa menolongmu, Ta." Suara itu, Greta mengenalnya. Itu suara Nino. "Nino? Apa yang kau lakukan?"
Silaunya mentari menembus jendela menyilaukan kedua mata Greta. Dia terbangun dan menyadari bahwa kepalanya seperti ada yang mengganjal. Perlahan dia menghadapkan tubuhnya ke kanan, mendapati Jerico tertidur lelap tanpa mengenakan baju.Greta panik. Dia langsung mengecek lalu bernapas lega, pakaiannya masih utuh. "Aku takut sekali," gumamnya.Greta menghadap kembali ke kanan lantas memperhatikan satu per satu bagian wajah Jerico. Kalau diperhatikan dari dekat, Jerico bisa dibilang tipe-tipe idaman para perempuan di luar sana.Jerico lelaki yang tampan, tubuhnya perfect terlihat dia rajin berolahraga, tinggi, dan pewaris dari Louise Group. Siapa yang tidak tergila-gila dan jatuh cinta padanya? Semalam Greta telah menyatakan perasaannya dengan jujur pada lelaki itu. Dia tak menyangka reaksi Jerico sesenang itu."Kenapa kau melihatku seperti itu?" Suara Jerico terdengar berat. Hal itu memicu keterkejutan Greta.Greta salah ting