Hari ini adalah weekend di hari sabtu. Sejak pagi tadi Calvin, Greta, dan Lidya memutuskan untuk lari pagi bersama. Usai berlari berkilo-kilo meter, ketiganya berhenti di sebuah taman untuk beristirahat.
Greta membeli dua botol air mineral, satu untuk dirinya dan satu untuk Calvin. Namun saat dia ingin memberikannya pada lelaki itu, Lidya sudah lebih dulu memberikan minuman pada Calvin.Greta tersenyum miris lantas meremat satu botol yang dipegangnya. "Bodoh sekali. Aku lupa kalau Calvin telah memiliki Lidya," ucapnya pelan."Jangan merasa kalau kau sendirian," ujar seseorang yang tiba-tiba datang dan mengambil satu botol yang dipegang Greta. "Kau punya aku. Aku selalu siap kapan aja jika kau membutuhkanku." Kemudian dia meminumnya."Pa-pak Jerico?" Greta mengedip-ngedipkan matanya. "Bapak sedang apa di sini?""Bapak lagi. Susah sekali, ya, menyebut namaku?" Jerico mengusap dagunya sembari berpikir. "Kira-kira panggilan apa ya yang cocok untukku?""Bapak sedang apa di sini?" tanya Greta lagi karena lelaki itu tidak menjawab pertanyaannya."Aku? Tentu saja seperti dirimu, lari pagi." Jerico menarik kedua sudut bibirnya. "Kau patah hati?" Jerico mendekatkan wajahnya pada Greta."Ap-apa?" Greta dengan sigap menjauh satu langkah ke belakang. Apa sejelas itu dirinya cemburu melihat kedekatan Calvin dengan Lidya?"Grey," panggil Calvin. "Sedang apa kau? Kemarilah!""Aku harus ke sana sekarang," ucap Greta. Langkahnya terhenti karena Jerico menahan lengannya lebih dulu."Ayo, kita pergi bersama."Greta membuka mulutnya lalu menutupnya kembali. Dia tidak jadi bicara sebab Jerico menggandeng tangannya. Keduanya berjalan mendekati Calvin dan Lidya."Kau bersama dia, Grey?" Calvin menunjuk Jerico dengan pandangan tak suka."Ah ... tadi kebetulan Jerico lewat sini," kata Greta menjelaskan."Jadi, dia kekasihmu yang diceritakan Calvin, Ta?" Lidya mempertanyakan kejelasannya. "Keren sekali.""Tepat sekali," timpal Jerico. "Kami baru beberapa hari pacaran. Iya, kan, Ta?""Eh? I-iya tentu saja." Greta enggan bicara panjang lebar."Bagaimana kalau kita cari sarapan?" ajak Lidya. Perutnya sejak tadi tidak dapat diajak kompromi."Ide yang bagus. Aku juga sudah sangat lapar." Calvin memegangi perutnya yang rata."Kami berdua ikut kalian saja." Jerico langsung menyambar. "Aku yang traktir.""Oh, tidak perlu. Kami bisa membayarnya sendiri," tolak Calvin mentah-mentah."Tidak apa-apa. Hitung-hitung untuk perayaan hari jadi kami berdua." Jerico menatap Greta sambil tersenyum."Sudah stop!" Greta pusing karena keduanya selalu bertengkar. "Lebih baik kita pergi sekarang."Mereka berempat pun berjalan mencari pedagang makanan di sepanjang pinggiran taman. Biasanya banyak yang berjualan macam-macam. Akan tetapi, hari ini entahlah jalanan seolah bersih dari pedagang kaki lima."Kita makan bubur ayam di sana saja." Calvin menunjuk pedagang bubur ayam di seberang jalan. "Aku dengar-dengar rasanya enak."Mereka setuju karena tak ada lagi pedagang yang berjualan. Calvin yang memesan sedangkan yang lainnya menunggu di meja yang telah disediakan.Greta memandang Jerico yang sedang sibuk dengan ponselnya. Dia khawatir jika lelaki itu tidak bisa makan di pinggir jalan seperti ini. Karena biasanya, orang kaya selalu pergi ke cafe ataupun restauran terkenal."Kenapa kau memandangiku terus?" Jerico memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu memandang balik Greta."Aku? Memandangimu? Yang benar saja." Greta terkekeh. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain."Akui saja kalau kau menyukaiku, kan?"Greta berdecak. "Percaya diri sekali.""Pesanan dataaaang," seru Calvin seraya membawa nampan berisi empat mangkuk bubur ayam.Greta mengambil satu untuk Jerico dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Dia mulai mencampurkan buburnya dengan beberapa sendok sambal lalu mengaduknya. Sementara Jerico, menatap buburnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Ingin coba punyaku?" Greta menawarkan diri pada Jerico. Greta menyodorkan sesendok bubur yang sudah dia racik sendiri di depan lelaki itu. "Ini enak sekali."Dengan ragu, Jerico membuka mulut dan memakannya. Kedua mata Jerico melebar serta tersenyum. "Waaahh ... enak sekali." Dia mengambil mangkuk milik Greta lantas menukar dengan mangkuk miliknya.Entah kenapa Greta tersenyum melihat Jerico bisa makan dengan lahap. Kalau dipikir-pikir, ternyata Jerico tidak semenyebalkan itu. Lelaki itu kadang perhatian dan peduli pada Greta."Sweet banget ya kalian. Bikin iri aja deh," ujar Lidya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan Greta dan Jerico."Biasa saja," sahut Calvin. Dia kembali menyendokan buburnya ke dalam mulut."Kau cemburu?" Celutuk Jerico dengan sinis."Cemburu? Mana mungkin. Aku dan Greta hanya sahabat tidak lebih. Lagi pula aku sudah memiliki Lidya.""Sudah, sudah. Kalian ini selalu ribut terus." Greta lagi-lagi pusing. Bayangan-bayangan samar itu muncul kembali. Kali ini dirinya berada di pinggir jalan sambil menunggu makanan datang. "Awww ... sakit sekali kepalaku," rintih Greta sambil memegangi kepalanya."Kenapa, Ta?" Lidya menyadarinya lebih dulu."Aku akan membawanya ke rumah sakit." Dengan sigap Jerico menggendong Greta dan membawanya pergi dari sana."Hey, kau!" Calvin berteriak karena Greta langsung dibawa pergi begitu saja oleh Jerico. "Benar-benar pria brengsek!""Aku perhatikan kenapa kau sangat marah?" Lidya heran dengan kekasihnya itu. "Apa kau jatuh cinta dengan Greta?""Grey, kau baik-baik saja?" Calvin berlari menghampiri Greta yang baru saja tiba di kosan. "Berjam-jam kau tidak sadarkan diri di rumah sakit. Aku mengkhawatirkanmu."Aku baik-baik saja, Vin. Hanya sakit kepala biasa." Greta terkekeh lantas masuk ke dalam dan mengajak Jerico untuk mampir. "Kau sedang masak apa?""Ramen. Lidya ingin makan ramen buatanku. Berhubung kalian sudah pulang, aku akan memasak untuk kalian juga," kata Calvin kembali ke dapur diikuti Greta juga Jerico di belakang."Izinkan aku memasak untuk Greta." Tanpa persetujuan sang pemilik kosan lebih dulu, Jerico mulai mengambil pisau."Hey, aku belum mengizinkanmu," protes Calvin tak terima barang-barangnya disentuh lagi oleh Jerico. Ini kedua kalinya lelaki itu memasak di kosan Greta."Biarkan saja, Vin." Greta menggelengkan kepala sambil tertawa. "Aku tunggu di kamar. Masak yang enak, ya, kalian berdua."Greta menyeret kakinya menuju kamar.
"Greeeeyyyy," teriak Calvin. Dia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans."Yaaaa ... ada apa, Vin?" sahut Greta. Dia keluar dari kamar dengan kaos lengan pendek dan hotpants. Rambut basahnya pun ditutupi dengan handuk. "Kalian berdua sudah rapi? Mau ke mana?""Aku ingin mengajak Lidya jalan-jalan berdua," ucapnya sembari menatap Lidya dan tersenyum."Oh, gitu. Baiklah, kau tenang saja aku akan jaga kosan. Kalian bersenang-senang saja.""Hati-hati, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Kami berangkat," kata Calvin dengan raut wajah senangnya.Mereka sudah pergi. Sedangkan Greta terlihat miris sendirian berada di kosan. Calvin tidak lagi mengajaknya jalan-jalan. Seharusnya Greta tahu itu. Tapi kenapa masih berharap?Calvin sudah tidak butuh dirinya. Lagi pula, Greta sudah merasa tidak nyaman di kosan. Semalam dia sudah memikirkan matang-matang kalau dia harus pindah dari kosan. Lebih baik dia mencari kos
"Greeeyyy ...." Calvin mengetuk pintu kosan yang terkunci. Dia dan Lidya baru saja pulang dari jalan-jalan. "Apa Grey pergi keluar?""Mungkin saja dia mencari makanan di luar," kata Lidya. "Kau memiliki kunci cadangan, kan?""Ya, aku memilikinya." Calvin mengambil kunci tersebut di saku celana kemudian membuka pintu."Aku ke kamar dulu." Ucapan Lidya langsung diberi anggukkan oleh Calvin.Sebenarnya ada perasaan khawatir yang bersarang di hati Calvin. Sepanjang perjalanan pulang tadi, dia terus memikirkan Greta. Dia takut jika perempuan itu terjadi sesuatu."Viiiiinnn ...," teriak Lidya dari dalam kamar hingga lamunan Calvin buyar.Calvin langsung berlari. "Ada apa, Lid?""Pakaian dan semua barang-barang Greta tidak ada. Sepertinya dia pergi dari sini."Calvin panik. Dia mengecek isi lemari dan sudut-sudut tempat biasa Greta menempatkan barang-barangnya, semuanya tidak ada. Buru-b
"Yasmin, apa yang kau lakukan pada Greta?" Mega geram karena rekan kerjanya itu tiba-tiba menampar Greta."Itu karena salahnya! Kenapa dia datang bersama Pak Jerico?" Kedua mata Yasmin melebar dan tangannya mengepal."Kenapa kau marah pada Greta? Suka-suka Pak Jerico ingin datang bersama siapa ke kantor." Amarah Mega ikut tersulut.Keributan yang terjadi di meja sekretaris, mengundang banyak pasang mata untuk menontonnya. Beberapa dari mereka mengetahui jika Yasmin menyukai Jerico sejak lelaki itu dinobatkan menjadi CEO perusahaan Louise Group."Karena aku menyukai Pak Jerico," ucap Yasmin dengan jujur."Sudah, hentikan! Yasmin, sebaiknya kau kembali ke tempat kerjamu." Greta angkat bicara."Kau tidak berhak memerintahkanku, memangnya kau siapa?""Terserah kau saja. Aku hanya mengingatkan sebelum Pak Jerico datang menegurmu." Greta malas sekali meladeninya.Pintu ruangan Jerico te
"Kenapa kau pulang lebih dulu?" Jerico protes ketika langsung masuk apartemen dan menemukan Greta sedang asyik menonton film. "Tak bisakah kau menungguku?""Bukankah kau masih meeting? Lagi pula aku tidak ingin menjadi sorotan karyawan lainnya lagi." Greta berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada layar di depannya."Kau tidak senang? Kalau begitu besok aku akan mengumumkan hubungan kita di depan mereka. Supaya kau bisa leluasa dan tidak risih lagi." Jerico melenggang pergi ke kamar usai mengucapkan kalimatmya."Bukan itu maksudku, Kokooooo," teriak Greta. Dia mematikan televisi dan mengekori Jerico di belakang. "Aku tidak ingin mereka tahu, itu saja.""Bukankah kau tidak peduli dengan hubungan ini? Bahkan kau tidak menganggapku sebagai kekasihmu." Jerico melepas jasnya kemudian menggulung kemejanya sampai siku."I-iya. Tapi kau terus mendesakku dan membuatku was-was jika di kantor." Greta mengeluhkan sikap Jerico ya
"Siapa itu?" Greta takut ketika terdengar suara langkah kaki seseorang masuk ke dalam ruangan. "Siapa kau?" tanyanya sekali lagi. Merasa dirinya dalam bahaya, Greta mengambil ponselnya di tas dan menghubungi Jerico. Sementara Jerico tak berniat pergi dari kantor, perasaannya mendadak tidak enak. Dia justru khawatir dengan Greta di dalam sana. "Hallo, Ko." Greta berbicara dengan nada bergetar. Dia sangat takut sekarang. "Tolong aku." Ponsel Greta terlempar ke lantai saat seseorang yang tidak tahu batang hidungnya itu mendekatinya. Greta bisa memastikan jika seseorang itu adalah seorang lelaki. Greta pun berlari menjauh ke manapun dia bisa. "Siapapun tolong aku," teriak Greta. Percuma saja, keadaan kantor sudah sepi. Harapan satu-satunya adalah Jerico dapat membantunya. Lelaki itu tertawa. "Tidak ada yang bisa menolongmu, Ta." Suara itu, Greta mengenalnya. Itu suara Nino. "Nino? Apa yang kau lakukan?"
Silaunya mentari menembus jendela menyilaukan kedua mata Greta. Dia terbangun dan menyadari bahwa kepalanya seperti ada yang mengganjal. Perlahan dia menghadapkan tubuhnya ke kanan, mendapati Jerico tertidur lelap tanpa mengenakan baju.Greta panik. Dia langsung mengecek lalu bernapas lega, pakaiannya masih utuh. "Aku takut sekali," gumamnya.Greta menghadap kembali ke kanan lantas memperhatikan satu per satu bagian wajah Jerico. Kalau diperhatikan dari dekat, Jerico bisa dibilang tipe-tipe idaman para perempuan di luar sana.Jerico lelaki yang tampan, tubuhnya perfect terlihat dia rajin berolahraga, tinggi, dan pewaris dari Louise Group. Siapa yang tidak tergila-gila dan jatuh cinta padanya? Semalam Greta telah menyatakan perasaannya dengan jujur pada lelaki itu. Dia tak menyangka reaksi Jerico sesenang itu."Kenapa kau melihatku seperti itu?" Suara Jerico terdengar berat. Hal itu memicu keterkejutan Greta.Greta salah ting
Seperti biasa pagi ini Greta harus kembali bekerja. Tak peduli seberapa bengkak pipinya sekarang sebab dia tak bisa membayangkan lagi pekerjaannya akan menumpuk setinggi apa."Kau pergi bekerja?" tegur Jerico saat lelaki itu baru saja keluar dari kamar dengan kaos dan celana pendek."Ya, aku tak enak dengan yang lain bila tidak masuk lagi hari ini. Mereka membutuhkanku." Greta telah selesai memasang sepatunya lantas berdiri dari sofa."Pipimu masih bengkak. Kau yakin baik-baik saja?" Jerico sangat khawatir jika di kantor nanti menjadi lebih parah."Tak apa. Aku pergi dulu, ya." Langkah Greta berhenti ketika lelaki itu menahannya."Kau tidak sarapan dulu?""Flo sudah menyiapkan bekal untukku." Greta tersenyum seraya menyematkan kecupan hangat di pipi Jerico. "Aku pergi duluan, daaah." Kali ini lelaki itu membiarkan Greta pergi.Apa yang dilakukan Greta justru membuat Jerico diam mematung di tempat. Aliran darahnya berdesir hebat tak karuan. Bahkan rona merah di pipi Jerico tak bisa dih