공유

Bab 2. Jarak

작가: Nikma
last update 최신 업데이트: 2024-10-04 22:42:24

Setelah keributan di pesta keluarga Adrian, perjalanan pulang menjadi begitu sunyi. Dalam mobil yang melaju dalam gelap, hanya suara mesin yang terdengar, seolah ikut menjaga jarak di antara mereka. Adrian memfokuskan pandangannya ke jalan, sementara Gita memandangi jendela, mencoba menyatukan pikirannya yang terpecah.

Akhirnya, Gita menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memecah keheningan. "Adrian, gimana kalau kita coba ke dokter? Setidaknya, kita bisa tahu ada yang salah atau nggak, atau mungkin...," ucapnya ragu, takut respons yang akan ia dapatkan.

Sebelum Gita sempat melanjutkan, Adrian memotongnya dengan suara datar, “Gita, kita kan baru menikah setahun. Kenapa harus terburu-buru? Seperti yang aku bilang tadi, kita masih punya waktu.”

Jawaban Adrian menghantamnya seperti angin dingin. Dada Gita terasa sesak. “Jadi menurut kamu, nggak perlu, ya? Semua yang dikatakan orang di pesta tadi menurutmu nggak penting?” Suaranya lirih, getir, penuh dengan kekecewaan yang ia tahan.

Tanpa sedikit pun menoleh, Adrian hanya menatap lurus ke depan. “Itu bukan soal penting atau nggak penting. Aku cuma nggak mau kita terbawa suasana. Kita bisa jalanin ini tenang-tenang aja, tanpa pusingin omongan orang.”

Gita terdiam. Rasanya seperti usahanya sia-sia, pendapatnya seakan tidak berarti. Mobil berhenti di garasi, dan begitu mesin dimatikan, Gita turun tanpa menoleh sedikit pun ke arah Adrian. Tanpa bicara, ia langsung masuk ke kamar, meninggalkan Adrian yang hanya berdiri sejenak, menatap kepergiannya dengan pandangan lelah. 

Di kamar, Gita duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah dinding. Percakapan tadi hanya membuatnya merasa semakin sendirian. Ia bertanya-tanya: Apakah aku berlebihan? Atau Adrian yang benar-benar nggak peduli?

**

Pagi itu, udara dingin menyelimuti mereka, menambah jarak yang entah bagaimana terasa makin lebar. Di tempat tidur, sisi Adrian tetap rapi. Sepanjang malam, ia menghabiskan waktu di ruang kerja, sementara Gita terjaga, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Di dapur, Gita mulai menyiapkan sarapan, mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menyiapkan omelet keju dan roti panggang, makanan favorit Adrian. Ia ingin sarapan ini menjadi momen untuk meredakan ketegangan, sekadar memulai percakapan. Dengan harap-harap cemas, Gita menyusun piring, secangkir kopi, dan napkin kecil di sampingnya, berharap Adrian bisa duduk dan bicara barang sejenak.

Tak lama, terdengar langkah kaki Adrian. Gita menoleh, hati berdebar-debar, tetapi Adrian sudah rapi dengan kemeja kerjanya, wajahnya terlihat sibuk dan penuh pikiran. Tanpa melirik sarapan yang disiapkan, ia meraih kopi yang disediakan Gita.

“Aku harus pergi, ada rapat penting pagi ini,” katanya singkat, matanya melirik jam di pergelangan tangannya, seakan-akan menit setiap detiknya terlalu berharga untuk disia-siakan.

Hati Gita mencelos. Semua perhatian yang ia curahkan terasa tak berarti. “Kenapa nggak sarapan dulu? Sebentar aja,” pintanya, nyaris dalam bisikan yang hampir tak terdengar.

Adrian hanya menggeleng pelan, menyeduh kopi seadanya. “Nanti pesan di kantor aja.”

Suara pintu yang tertutup membuat Gita tetap berdiri di dapur, memandang piring sarapan yang seakan jadi saksi kebisuan dan kecewa yang menumpuk di dadanya. Matanya panas. Rasa sayangnya yang ia tuangkan dalam sarapan itu tak satu pun disentuh. Perlahan, ia mengemasi makanan itu dalam kotak, perasaannya ikut terbungkus di dalamnya.

Dengan langkah pelan, Gita menuju kantor Adrian, kotak sarapan itu kini terasa berat di tangannya. Sesampainya di gedung kantor, ia menuju lantai tempat Adrian bekerja. Di depan lift, ia bertemu Hendri, asisten Adrian.

“Bu Gita … selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Hendri dengan nada sopan namun sedikit tergesa.

Gita tersenyum samar. "Pagi, Hendri. Pak Adrian ada di ruangannya?"

Raut Hendri tampak canggung sejenak sebelum menjawab. “Maaf, Bu. Pak Adrian sedang rapat di luar kantor, di restoran dekat sini bersama … klien.”

“Kok rapatnya di luar? Klien-nya siapa?” Gita bertanya, rasa ingin tahunya bercampur cemas.

Hendri menjawab pelan, “Kliennya, Bu Luna.”

Senyuman Gita memudar. Nama itu bukanlah nama yang asing, Luna wanita yang dulu sempat dianggap cocok oleh ibu Adrian untuk menjadi menantunya, sosok masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang dari pembicaraan keluarga Adrian.

Ingatannya melayang ke pesta tadi malam, saat ada bisik-bisik keluarga tentang Luna, bagaimana ia adalah sosok sempurna yang dulu sempat diharapkan sebagai pendamping Adrian. Satu hal yang tak pernah ia pikirkan menjadi masalah, kini mendadak terasa begitu nyata, begitu dekat.

“Luna?” tanya Gita tanpa sadar, suaranya nyaris tertelan oleh keraguannya sendiri.

Hendri mengangguk canggung. “Iya, Bu. Tapi … ini rapat bisnis, benar-benar rapat bisnis,” ucapnya, seolah memahami situasi yang pernah terjadi di keluarga bosnya itu.

Gita mengangguk kecil, tapi pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Mengapa harus bertemu Luna? Mengapa di luar kantor? Mungkinkah ada hal lain yang belum ia ketahui?

Ia berdiri diam di depan lift, menatap bungkusan sarapan yang ia bawa penuh harapan pagi tadi, kini terasa kosong, mewakili perasaannya yang sama hampa. Dilema mulai merambati benaknya, ingin sekali ia langsung bertanya pada Adrian, tapi ada sesuatu yang menahannya.

Rasa takut dan sakit hati bertumpuk dalam dirinya, namun Gita tetap berdiri di sana, menggenggam kotak sarapan yang ia siapkan dengan hati-hati, seakan menggenggam sisa-sisa harapan akan perhatian suaminya yang kini terasa semakin menjauh.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Zeevana Twain
klo di anggurin mending pisah saja nikah itu buat bahagia
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 96. Manipulasi

    Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 95. Kunjungan Tak Diundang

    Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status