Share

Bab 3. Terdesak

Penulis: Nikma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 23:05:39

Setelah pulang dengan hati berat karena gagal bertemu Adrian di kantor, Gita akhirnya menepi di pos satpam kompleks. Pak Maman yang sedang berjaga menerima kotak sarapan yang sejak tadi digenggamnya dengan wajah penuh syukur.

Namun, kehangatan kecil itu segera terhapus begitu Gita tiba di rumah. Di ruang tamu, ibunya, Rima, dan Mayang, sepupu Adrian, sudah menunggunya dengan tatapan dingin. Gita berusaha menahan perasaannya, tapi tatapan tajam Rima seakan menembus hatinya yang sudah rapuh.

“Dari mana saja kamu?” Rima bertanya, suaranya sedingin es.

Gita menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Dari kantor Adrian, Ma. Saya tadi mengantarkan sarapan.”

Mayang tertawa kecil, ada nada ejekan yang menyayat di balik suaranya. “Istri yang baik, ya. Tapi, Gita, dalam keluarga ini, peran seorang istri dianggap lengkap kalau sudah bisa memberi keturunan.”

Kata-kata Mayang menusuk seperti pisau, membuat dada Gita terasa sesak. Ia tahu, apapun yang ia katakan hanya akan berakhir dengan tuntutan yang sama.

Rima akhirnya bicara, suaranya penuh ketegasan. “Mayang, sudah biarkan saja. Kalau Gita mau memberi cucu atau tidak, itu haknya. Tapi, kalau tidak, saya sudah siap mencarikan Adrian istri lain yang bisa melanjutkan garis keturunan keluarga ini.”

Gita mencoba menguatkan diri, menahan air mata yang mulai menggenang. Merasa dirinya terpojok, ia akhirnya memberanikan diri menjawab, “Kecuali Adrian yang menginginkannya, saya akan tetap menjadi istrinya, Ma.”

Ruang tamu seketika berubah tegang. Rima memicingkan mata, tidak menyangka Gita berani menentangnya. “Apa kamu bilang?”

Gita menatap ibu mertuanya dengan tatapan penuh keteguhan. “Saya ini masih istri Adrian, Ma. Rasanya kurang bijak kalau mama bicara seperti itu.”

Wajah Rima mengeras, lalu dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan beberapa kotak jamu dari tasnya dan meletakkannya keras-keras di meja. “Ini alasan saya ke sini,” katanya, suaranya penuh sindiran. “Jamu khusus kesuburan. Sampai sekarang, belum ada tanda-tanda kamu hamil.”

Gita tercekat, kata-kata itu menghujam hatinya. Namun, ia hanya bisa menunduk, berusaha menahan air matanya. 

Rima memandangnya dengan tatapan tajam, seolah ingin menekankan setiap kalimat yang diucapkannya. “Gita, jangan sampai Adrian terpaksa mencari wanita lain hanya demi memberikan saya seorang cucu. Saya sudah cukup bersabar selama ini.”

Gita menelan ludah, mencoba menjawab dengan suara pelan, “Ma, saya juga ingin memberikan yang terbaik untuk keluarga ini. Tapi semua ini di luar kendali saya.”

Namun, Rima mendengus kecil, tidak menunjukkan simpati sedikit pun. “Sudah cukup alasan itu, Gita. Kalau kamu benar-benar peduli pada Adrian dan keluarga ini, kamu tidak akan tinggal diam seperti ini,” katanya dengan nada ketus, sebelum menoleh ke Mayang yang duduk di sampingnya. “Ayo, Mayang, kita pergi. Sudah cukup waktuku di sini.”

Mayang menatap Gita dengan tatapan puas, bibirnya tersungging senyum sinis. Sebelum pergi, ia berkata, “Jangan lupa minum jamu itu, Gita. Mungkin saja bisa membantu.”

Dengan dingin, Rima dan Mayang bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu. Gita mengantar mereka dengan langkah berat, tetapi ketika mereka sudah di ambang pintu, Rima menoleh kembali, kali ini dengan ekspresi lebih serius.

“Ini peringatan, Gita,” katanya, suaranya terdengar lebih dalam dan penuh tekanan. “Aku sudah cukup memberi kesempatan. Jangan sia-siakan posisimu sebagai istri Adrian, atau kamu akan menyesal.”

Tanpa menunggu jawaban, Rima berbalik dan melangkah pergi bersama Mayang, meninggalkan Gita yang terdiam di ambang pintu. Rasa sakit dan hinaan yang ia rasakan begitu dalam, seolah perannya di keluarga Adrian hanya sebatas pada kemampuan untuk memberikan keturunan.

Gita duduk terdiam, menatap kotak-kotak jamu di atas meja. Hatinya berdenyut nyeri, dipenuhi amarah yang tertahan dan keputusasaan yang sulit ia hilangkan. Kata-kata Rima dan Mayang masih terngiang, membuat dadanya sesak. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tapi pikirannya tetap gelisah.

Tanpa terasa, matahari mulai terbenam, hening malam seakan memperparah kesepiannya, sementara Gita masih terpekur memandangi beberapa botol jamu dari Ibu mertuanya. Ketika suara deru mobil terdengar di luar, mengusik sunyi yang melingkupi rumah, Gita tersadar dari lamunannya. 

Langkahnya ringan menuju pintu. Begitu ia membukanya, pemandangan Adrian yang lemah bersandar pada Hendri menyambutnya. Wajah Adrian tampak pucat dan lelah, dengan aroma alkohol yang kuat menyertai kehadirannya.

“Bu Gita, maaf … Pak Adrian mabuk,” kata Hendri ragu-ragu, tampak bingung.

Gita menatap Adrian yang tampak kacau, hatinya mencelos. “Ada apa, Hendri? Kenapa Adrian bisa mabuk?”

Hendri terdiam sesaat, tampak memilih kata dengan hati-hati. “Pak Adrian tadi bertemu klien, tapi mungkin pertemuan bisnisnya berlanjut …”

Gita menahan keresahan di hatinya. “Terima kasih sudah antar Pak Adrian pulang, Hendri. Maaf merepotkan.”

Setelah Hendri berpamitan, Gita dengan hati-hati memapah Adrian ke kamar. Ketika ia mulai membuka kemeja Adrian, tiba-tiba pria itu terbangun dan menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. 

Tanpa sepatah kata, Adrian menarik Gita lebih dekat, mengecup bibirnya perlahan. Kecupan itu menyimpan rasa yang tak pernah terucap, memecah segala jarak yang selama ini mereka simpan.

Gita terdiam, membiarkan diri larut dalam sentuhan yang penuh kerinduan. Rasa sakit, cinta, dan pengampunan melebur menjadi satu. 

“Aku merindukanmu, istriku.” Adrian bergerak kasar melucuti pakaian Gita, seolah tidak sabar menanti surga kenikmatan yang akan menjemputnya.

Dan Gita hanya pasrah, berharap kali ini akan ada hasil di rumah tangganya.

Malam ini, mereka menemukan kembali kemesraan yang pernah hilang, seolah mencoba memperbaiki keretakan yang ada di antara mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 96. Manipulasi

    Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 95. Kunjungan Tak Diundang

    Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 94. Rekonsiliasi di Bawah Cahaya Lilin

    Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 93. Konfrontasi Langsung

    Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 92. Pertemuan Memanas

    Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el

  • Membawa Pergi Benih Calon Pewaris sang Presdir   Bab 91. Langkah Luna

    Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status