Pagi itu, Gita terbangun lebih dahulu. Sisa kehangatan dari malam yang mereka lalui masih terasa, dan kini ia mendapati dirinya berada di samping Adrian, yang masih tertidur lelap. Dalam diam, Gita memperhatikan wajah Adrian—wajah yang selalu membuatnya merasa hangat. Gita mengagumi garis rahang tegas suaminya, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang, meski terkatup, menyiratkan senyuman samar. Ketampanan Adrian selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat Gita merasa beruntung sekaligus takut kehilangan.
Saat sedang asyik memperhatikan, Adrian tiba-tiba bergerak dan mata Adrian perlahan terbuka. Ia tampak sedikit bingung, sejenak terdiam sebelum akhirnya tersadar di mana dirinya berada. “Gita?” bisiknya sambil terduduk, masih terlihat sedikit bingung.
“Sudah bangun?” Gita menyapa dengan senyum kecil.
Adrian mengerjapkan mata, kemudian bertanya dengan suara serak khas pagi hari, “Siapa yang mengantarku pulang tadi malam?”
Gita menjawab lembut, “Hendri yang antar.”
Mendengar jawaban itu, Adrian menghela napas lega. Wajahnya yang tadi tampak kebingungan perlahan melembut. Saat ia menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan pakaian sehelai pun, Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Gita dengan kehangatan.
“Maaf ya, tadi malam aku pulang dalam keadaan mabuk dan, entah kenapa, begitu ingin dekat denganmu.” Ia menatap Gita penuh kasih dan melanjutkan dengan suara yang lebih rendah, “Aku... nggak kasar, kan?”
Gita tersenyum, rasa hangat mengalir di hatinya. “Nggak kok. Tadi malam... luar biasa,” katanya sambil sedikit menunduk. “Aku juga... sudah lama merindukanmu,” tambahnya, menyiratkan kerinduan yang selama ini ia simpan sendiri.
Adrian tersenyum, lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus pipi Gita dengan lembut. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan mengecup bibir Gita singkat, namun penuh makna.
Keheningan pagi itu terasa begitu damai, seolah semua ketegangan yang sempat ada di antara mereka seketika sirna.
Setelah beberapa saat menikmati kehangatan pagi bersama, Gita bangkit dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. “Aku mau siapin sarapan buat kita, ya,” katanya sambil tersenyum kecil ke arah Adrian.
Adrian mengangguk, lalu ikut beranjak dari tempat tidur dan mengenakan pakaian santai. “Aku mandi di kamar mandi ruang kerja aja, biar kamu bisa pakai kamar mandi ini dulu,” katanya, sambil membereskan selimut dengan asal. Ia menatap Gita sekali lagi, memberi senyum tipis, lalu berbalik keluar kamar.
Gita masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu perlahan. Ia berdiri di depan cermin, mengamati wajahnya yang tampak lelah namun penuh harapan. Dengan jemari pelan, ia mengusap perutnya, seolah ingin menanamkan mimpi dan doa dalam gerakan lembut itu. Dia sudah sangat berharap akan kehadiran seorang malaikat kecil di rahimnya—seseorang yang akan melengkapi keluarga kecil mereka, menjadi bukti cinta yang selama ini ia jaga.
Di sana, di depan cermin, Gita merasakan perasaan rindu yang mendalam. Ia tahu Adrian tak pernah menunjukkan sikap terburu-buru soal anak, namun di dalam hatinya, ia ingin membahagiakan suaminya dengan berita besar yang mungkin bisa membawa keceriaan baru di antara mereka.
Setelah selesai mandi, Gita merasa segar dan bersemangat. Ia melangkah turun ke dapur, menyibukkan diri dengan menyiapkan sarapan. Wangi kopi yang menyengat dan aroma roti bakar memenuhi ruangan, memberi semangat baru di pagi hari. Gita pun mulai memecahkan telur, menyiapkan omelette kesukaan Adrian yang diisi dengan keju leleh dan jamur segar. Ia tahu betul bahwa omelette ini adalah salah satu makanan favorit suaminya, dan Gita berharap bisa menyenangkan hatinya dengan hidangan ini.
Sambil mengaduk telur, Gita merasa gelisah, teringat akan hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Adrian—kunjungan ibunya dan kakak sepupunya yang datang membawa jamu kesuburan untuknya. Namun, meski rasa cemas menyelimuti pikirannya, pagi ini ia merasa lebih ringan setelah keintiman semalam. Gita merasa lebih semangat, mengenang momen-momen indah bersama Adrian, dan keinginannya untuk berbicara tentang jamu itu perlahan-lahan sirna, tergantikan oleh harapan akan suasana yang lebih baik.
Setelah semua makanan siap, Gita bergegas menuju ruang kerja Adrian. Ia melihat pintu ruangan suaminya sedikit terbuka. Gita mendekat untuk memberi tahu Adrian bahwa sarapan sudah siap. Namun, saat mendekat, ia mendengar suara Adrian di dalam yang sedang berbicara di telepon.
Hatinya berdesir ketika menyadari bahwa Adrian tampaknya terlibat dalam percakapan yang penting. Gita menunggu sejenak, berharap bisa menunggu sampai Adrian selesai berbicara. Namun hatinya berdegup kencang ketika mendengar nama yang meluncur dari bibir Adrian.
“Iya, Luna. Soal proyek yang kita bahas kemarin, bagaimana menurutmu? Sepertinya klien sangat tertarik. Maaf, semalam aku sudah gak kuat minum lagi, aku sudah mabuk berat,” kata Adrian dengan nada santai.
Mendadak, semua perasaan Gita yang penuh harapan dan kebahagiaan saat berbagi pagi bersama Adrian semalam, lenyap seketika. Hatinya terasa diremukkan oleh kenyataan bahwa Adrian semalam menghabiskan waktu dengan Luna, wanita yang jelas-jelas pernah menjadi bagian dari masa lalunya. Wanita yang harusnya jadi pilihan keluarganya. Gita merasakan seolah semua kebahagiaannya selama ini terbang entah ke mana, digantikan oleh rasa sakit dan ketidakpastian.
Apakah Adrian benar-benar merasa nyaman bersamanya hingga mereka menghabiskan waktu seharian penuh? Atau adakah sesuatu yang kurang dari dirinya sehingga suaminya harus mencari perhatian di tempat lain? Rasa cemburu dan ketidakpercayaan mulai merasuk ke dalam jiwanya, membuat Gita bingung dan tertegun. Ia berusaha menahan air matanya, tetapi rasanya sangat sulit untuk tidak merasa terluka.
Dengan langkah yang berat, Gita mundur sedikit dari pintu. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan pikirannya sebelum menghadapi Adrian. Jika ia langsung masuk dan bertanya, semua emosinya bisa meledak, dan Gita tidak ingin membuat situasi semakin buruk. Sekarang, ia harus menemukan cara untuk menghadapi kenyataan ini tanpa kehilangan kendali.
Naufal, yang mulai putus asa mendekati Gita secara langsung, menyusun strategi baru. Ia menyadari bahwa hubungan Gita dengan kakaknya, Ferdi, bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkannya. Meskipun hubungan mereka tidak selalu mulus, Naufal tahu bahwa Gita memiliki ikatan emosional dengan Ferdi dan sering kali merasa bertanggung jawab terhadapnya.Malam itu, Naufal menemui Ferdi di sebuah warung kopi sederhana di pinggir kota. Ferdi, yang tampak lelah dan kurang bersemangat, langsung menyadari bahwa pertemuan ini tidak biasa. “Ada apa, Naufal? Kenapa sampai cari gue malam-malam begini?” tanyanya sambil meminum kopinya.Naufal tersenyum tipis, mencoba memancarkan kesan tenang dan simpatik. Ia meletakkan amplop tebal di atas meja, tepat di depan Ferdi. “Saya tahu kondisi Gita sekarang berat. Dan sebagai kakaknya, pasti Mas Ferdi juga ingin membantunya, kan?”Ferdi melirik amplop itu dengan alis mengernyit. “Maksudnya apa ini?”Na
Naufal, yang semakin tidak bisa menahan kegelisahannya, memutuskan untuk mengunjungi rumah Gita. Pikiran tentang kondisi Gita yang mungkin tidak baik-baik saja terus menghantuinya, terutama setelah berbagai konflik yang ia tahu Gita alami. Meski ia tahu ini keputusan yang bisa memicu masalah baru, ia tetap berdiri di depan pintu rumah Gita, mengetuk pintu dengan perasaan campur aduk.Di dalam rumah, Gita sedang sibuk merapikan ruang tamu ketika suara ketukan itu memecah keheningan. Ia berjalan menuju pintu dengan ekspresi penasaran, tetapi terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di sana.“Naufal?” suaranya terdengar ragu, mencoba menutupi rasa was-was yang tiba-tiba muncul.Naufal berdiri dengan senyum tipis yang hampir seperti permintaan maaf. Namun, ada ketegangan di wajahnya. “Gita, aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja,” katanya pelan, nada khawatir terdengar jelas di suaranya.Gita menahan pintu agar tidak terbuka lebar, ma
Setelah melewati badai konflik yang mengguncang kehidupan mereka, Adrian memutuskan bahwa sudah waktunya untuk memberikan ruang bagi dirinya dan Gita untuk bernapas. Ia mengatur sebuah malam yang sederhana namun penuh makna di sebuah restoran kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Restoran itu dipenuhi pencahayaan temaram dari lilin-lilin kecil yang memancarkan suasana hangat dan intim.Ketika Adrian tiba bersama Gita, pelayan membimbing mereka ke meja di sudut ruangan, tepat di samping jendela besar yang menghadap taman dengan lampu-lampu redup menghiasi pohon-pohon di luar. Adrian meski masih menggunakan kursi roda, tampak bersemangat dan lebih santai dibanding beberapa hari terakhir.Gita mengenakan gaun sederhana dengan potongan elegan berwarna biru tua, yang memancarkan pesona alaminya. Rambutnya ditata dengan anggun, dan raut wajahnya terlihat tenang—sebuah kelegaan yang sudah lama tidak Adrian lihat sejak semua konflik dimulai.Saat pelayan mengan
Beberapa minggu telah berlalu, dan Adrian kini siap menghadapi Luna secara langsung. Dengan bukti-bukti kuat atas penyalahgunaan dana perusahaan yang telah dikumpulkan oleh tim keuangan dan pengacaranya, ia merasa waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini telah tiba. Adrian memutuskan untuk mengatur pertemuan resmi di kantor, meminta Hendri mengoordinasikan jadwal dan memastikan semua saksi yang relevan hadir.Ketika Luna tiba di kantor, ia tampak percaya diri seperti biasanya, mengenakan blazer mahal yang menegaskan statusnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sedikit kegelisahan, seperti orang yang tahu bahwa badai besar sedang menantinya.Di ruang rapat besar, Adrian duduk di kursi utama, didampingi oleh pengacaranya dan Gita yang berada di sampingnya. Hendri dan beberapa saksi dari tim keuangan juga sudah berada di sana, siap memberikan kesaksian jika diperlukan.“Silakan duduk, Luna,” ujar Adrian dengan nada dingin, tangannya terlipat di atas me
Sesampainya di rumah sakit, Naufal bergegas menuju ruang rawat Gita. Ia berjalan cepat di lorong rumah sakit, dadanya naik turun, penuh emosi. Ketika tiba di depan pintu, ia mengetuk pelan dan membuka pintu tanpa menunggu jawaban.Di dalam, Gita terbaring lemah, wajahnya terlihat pucat. Matanya setengah terbuka saat melihat Naufal masuk. “Naufal?” suaranya lirih, hampir seperti bisikan.Naufal mendekat, duduk di kursi di samping tempat tidurnya. Matanya menatap Gita dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi padamu? Apa mereka tidak bisa menjagamu?” tanyanya dengan suara yang terdengar penuh emosi.Gita tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana meski tubuhnya lemah. “Aku baik-baik saja, Naufal. Hanya sedikit kecapekan,” katanya pelan, meskipun jelas dari kondisinya bahwa itu lebih dari sekadar kelelahan.Namun, sebelum Naufal sempat bertanya lebih jauh, pintu ruang rawat terbuka lagi. Adrian masuk, didorong oleh kursi roda el
Wajah Rima menunjukkan penyesalan. Ia menatap Gita sekali lagi, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya menghela napas berat. "Mama pergi dulu," ucapnya singkat sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya pelan dan terasa berat, seolah membawa beban kesalahan yang baru ia sadari.Setelah pintu tertutup, keheningan menyelimuti ruangan. Adrian duduk di samping Gita, mengusap tangannya dengan lembut, mencoba menenangkan dirinya sendiri sekaligus memberikan rasa nyaman kepada istrinya.“Maaf,” kata Adrian tiba-tiba, suaranya rendah. “Aku tahu semua ini terlalu berat untuk kamu. Aku tidak bisa terus membiarkan ini terjadi.”Gita menatapnya dengan lembut, meskipun masih terlihat lemah. “Kamu enggak perlu minta maaf, Adrian. Aku tahu kamu hanya mencoba melindungi aku.”Adrian menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada lebih serius. “Aku harus mengambil langkah besar, Gita. Kita enggak bisa terus hidup se