Share

Bab 2 - Jangan Pernah Menyesal

"Kenapa kau masih di sini hah! Masih punya muka kau rupanya?!"

Bukan Martin yang menanggapi, melainkan Lauren. Wanita itu langsung berdiri dan menghampiri Diana. Sementara Kornelius hanya diam saja, tak langsung memberi penjelasan pada Martin.

"Aku tidak butuh tanggapanmu, Ma. Aku ke sini ingin berbicara dengan Martin."

Diana mengabaikan Lauren dan memilih memandang ke arah Martin masih bergeming duduk di atas sofa bersama Cordelia. Pemilik mata cokelat itu tak berniat mendekat.

Semakin mendidih darah Lauren, matanya melotot tajam. "Kau!"

Tanpa banyak kata Lauren melayangkan tamparan di pipi kanan Diana.

Plak!

Diana tersentak, matanya melebar sedikit, secepat kilat memegangi pipinya yang terasa amat panas sekarang.

"Shft ..." Diana menatap Lauren dengan mata berkilat menyala. Lauren telah membuat kesabarannya habis.

Plak!

"Ahk!" Lauren terlonjak kaget saat Diana melayangkan tamparan pula di pipi kanannya seketika.

"Mama!" Cordelia berteriak, buru-buru mendekat diikuti Martin setelahnya. Wanita bersurai hitam itu tampak panik lantas dengan cepat memeriksa keadaan Lauren. Setelah memastikan Lauren baik-baik saja. Cordelia menatap nyalang Diana.

"Kau sudah berani melawan Mamaku?!"

"Apa?" Napas Diana terdengar memburu. Sedari tadi tak mampu menahan kemarahan yang membuncah di dalam hati kala Lauren menamparnya barusan. "Mamamu memang pantas mendapatkan tamparan, dia selalu ikut campur urusanku! Dahulu dialah yang menyuruh aku menjadi pengantin pengganti, tapi sekarang kalian membuangku begitu saja hah?!"

Cordelia berdecak lalu menyeringai tipis. "Kau memang pantas dibuang, karena telah membuat nama papaku tercoreng. Kami tidak mau memiliki hubungan dengan wanita murahan sepertimu, yang dengan mudah bermain di belakang Martin. Jadi, lebih baik kau pergi dari rumah ini sekarang!"

Diana berdecih sesaat, decihannya membuat Cordelia dan Lauren mengepalkan tangan. "Bukankah sudah aku katakan tadi, aku tidak berselingkuh, aku dijebak oleh seseorang! Aku ke sini ingin berbicara dengan Martin. Walau bagaimanapun janin yang ada di perutku adalah darah dagingnya. Kalian tenang saja, aku akan angkat kaki dari rumah ini nanti!"

"Apa yang mau kau sampaikan? Katakanlah sekarang?" Martin menimpali seketika. Pria itu menatap lurus ke arah Diana sejak tadi.

Cordelia dan Lauren mengurungkan niat untuk membalas ucapan Diana kala Martin sudah angkat bicara.

Diana langsung mengalihkan pandangan ke arah Kornelius. "Kornel, aku mohon, jelaskan pada Martin sekarang, malam itu kita hanya berbicara saja dan tidak terjadi apa-apa di antara kita. Jelaskan semuanya biar Lauren dan Cordelia tahu bahwa tuduhan mereka semuanya salah."

Suara Diana mulai lembut, dia berharap Kornelius dapat menjelaskan salah paham yang terjadi. Selama menjadi anggota keluarga Hamilton, hanya Kornelius yang baik padanya selain Philip dan para asisten di rumah.

Kornelius melirik Diana sekilas. "Mister Martin, aku minta maaf malam itu kami berdua minum anggur bersama dan mabuk berat. Kami pun lepas kendali la—"

"Apa maksudmu, Kornelius?!"

Diana menyela saat apa yang disampaikan Kornelius tak sesuai kenyataan. Malam itu, hujan turun sangat lebat, Diana galau karena Martin sudah beberapa hari tak pulang ke rumah. Dia pun mencurahkan hati kepada Kornelius. Dua buah cangkir teh sebagai pelengkap teman bercerita, hingga tiba-tiba Diana mengantuk sekali dan tanpa sadar tidur di paviliun. Keesokan harinya dia pun bergegas kembali ke mansion utama dalam keadaan kepala seperti dihantam bongkahan batu besar. Diana mengira karena tidak tidur di kasur jadi kepalanya pusing.

Untuk sejenak Kornelius terdiam lalu menatap Diana. "Nona Diana, aku sudah lama menyukaimu, bukankah malam itu, malam yang indah bagi kita berdua."

Plak!

Tanpa sadar Diana melayangkan tamparan kuat di pipi kanan Kornelius. Dengan perasaan kecewa ia menatap dalam mata Kornelius.

Kornelius langsung menundukkan pandangan dan memegangi pipinya sesaat.

"Aku kecewa padamu, Kornel!!!" jerit Diana.

Saat melihat kejadian di depan mata, Martin membuang napas kasar. Pria bertubuh tinggi itu terlihat mulai malas dengan drama di depan matanya.

Sementara Lauren dan Cordelia membekap mulut mereka sendiri tiba-tiba, tak percaya bila Diana akan menampar Kornelius.

"Selama ini aku menganggap kau sebagai, Abangku, Kornel. Tapi apa sekarang, kau membuatku kecewa!"

Air bening mulai membasahi pipinya, Diana terisak pelan sambil menatap sendu Kornelius. Selama ini Kornelius selalu berada di pihaknya. Namun, hari ini Kornelius membuat kepercayaan Diana runtuh.

"Kau pengkhianat, Kornel! Aku membencimu!" lanjut Diana lagi.

"Cukup Diana!" seru Martin, menginterupsi pembicaraan Diana.

Dengan hati hancur berkeping-keping, Diana menoleh ke arah Martin.

"Tidak ada yang harus kau jelaskan lagi, semua sudah jelas, bahwa kau tidur dengan juga Kornelius. Kau harus tahu satu hal, anak di perutmu itu belum tentu anakku, Diana," Martin kembali menambahkan.

Diana tergugu, dengan pundak bergetar pelan mencoba bersuara.

"Bu—kan anakmu ka—tamu?" Diana berkata terbata-bata.

Ia tak menyangka, begitu mudahnya Martin mengatakan janin yang di dalam perutnya bukan anak Martin. Padahal Martin yang pertama kali menjamah tubuhnya. Walau pernikahan diawali karena keterpaksaan. Namun, lambat laun, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Diana. Meski Diana tahu Martin tidak mencintainya.

"Iya." Martin langsung menanggapi Diana.

Dengan air mata terus menetes Diana menatap dalam iris Martin. Sekarang, rasa kagum dan cintanya berubah menjadi rasa benci. Diana mengeluarkan tawa setelahnya. Wanita berambut panjang dan blonde itu tengah menertawai kehidupannya.

"Haha!"

Melihat reaksi Diana, Martin mengangkat alis mata kiri dengan kening berkerut samar.

Cordelia dan Lauren tak kalah herannya, lantas melempar pandangan satu sama lain sejenak.

Diana maju beberapa langkah dan mendongak ke atas kemudian mencengkeram kuat kerah kemeja Martin dengan sangat kuat sambil berjinjit sedikit.

"Baik! Jika kau mengatakan ini bukanlah anakmu! Jangan pernah menyesali keputusanmu suatu saat nanti! Kau telah membuang darah dagingmu sendiri, Martin! Aku membencimu, aku sangat membencimu!" seru Diana dengan api kebencian berkobar-kobar dari sorot matanya.

Saat ini, Cordelia terlihat kesal ketika melihat Diana menyentuh Martin. Dia hendak mendorong Diana. Namun, Lauren menahan tangannya.

Martin menyeringai tipis. "Aku tidak akan menyesal dengan keputusanku, Diana. Pergilah dari sini, aku tidak mau melihat wajahmu lagi."

Rahang Diana mengetat, tangannya pun semakin mencengkeram kuat kerah pakaian Martin hingga wajah pria itu terlihat mulai merah karena lehernya dicekik.

"Iya benar, pergi kau dari sini! Kornelius, cepat ambil koper wanita ini, kasihan dia tidak punya baju kalau tinggal di jalanan." Lauren memberi komentar tiba-tiba sambil melipat tangan di dada.

Kornelius mengangguk patuh dan melaksanakan perintah Lauren. Meninggalkan Diana dan Martin masih memandang satu sama lain.

Dalam hitungan detik, Diana menyentak kasar tubuh Martin. "Aku membencimu!!!"

Martin terhuyung ke belakang sesaat lalu memasukkan kedua tangan ke saku celana dan berkata,"Pergilah dari sini sekarang, Diana. Anggap kita pernah tidak pernah ada hubungan."

Diana berdecih, lalu dengan cepat menghapus air matanya. "Iya, lebih baik seperti itu! Anggap saja kita tidak pernah ada hubungan sama sama sekali."

Tak lama kemudian Kornelius datang ke ruang tamu sambil menyeret koper kecil.

"Tunggu apa lagi! Pergi kau dari sini! Kembalilah ke tempat asalmu sana, yaitu ke jalanan!" Sambil menyungging senyum sinis, Cordelia menendang kasar koper ke arah Diana.

Diana mengambil kopernya seketika. "Dengan senang hati, aku akan pergi dari neraka ini!"

Tanpa melihat respon Martin, Cordelia dan Lauren, Diana membalikkan badan lalu menyeret cepat kopernya menuju pintu utama.

Sesampainya di luar gerbang mansion, Diana memukul-mukul dadanya yang terasa amat sesak dari tadi. Entah mengapa air mata kembali mengalir lagi. Mungkin karena hormon kehamilan membuat suasana hatinya mudah berubah sewaktu-waktu. Meski Diana mengatakan benci tapi tetap saja, dia tak dapat menyangkal masih ada sedikit cinta yang tertinggal di lubuk hatinya.

"Maafkan Mommy, Nak. Kita cari tempat tinggal yang nyaman ya, Sayang ...."

Diana mengelus perlahan perutnya yang terlihat membesar sambil menitihkan air mata. Diana melirik ke belakang sekilas, melihat bangunan megah dan kokoh, yang pernah memberikannya sebuah kenangan manis dan pahit. Mendiang Philip Hamilton adalah orang yang memiliki andil dalam membuat kenangan indah tersebut.

Pria itu terlampau baik padanya meski bergelimpangan harta namun tidak sombong. Siapa yang tidak kenal dengan keluarga Hamilton, keluarga terpandang di kota Caracas karena kedermawanan Philip dalam memberi sumbangan ke panti asuhan dan panti jompo.

Setelah puas memandang, Diana mengalihkan pandangan ke depan gerbang. Mata Diana mengerjap beberapa kali, saat air menetes dari atas langit tiba-tiba.

Diana mendongak, melihat awan mulai berwarna hitam dan bersamaan pula air hujan pun turun dari atas langit. Sepertinya semesta mengetahui isi hati Diana saat ini.

Diana tersenyum getir setelahnya. Di bawah guyuran hujan, dengan langkah berat ia menyusuri jalanan tersebut. Diana tak tahu kemana arah kakinya akan melangkah, sekarang pikirkannya tengah melayang-layang, memikirkan nasib buah hatinya yang belum lahir ke dunia.

"Diana, mengapa kau ada di sini?"

Diana tersentak saat suara tak asing terdengar dari belakang. Dengan cepat menoleh, melihat Martha berlari kecil ke arahnya sambil membawa payung dan mengendong sebuah ransel. Martha adalah teman Diana dan merupakan seorang penjual pakaian di Caracas.

Diana tersenyum getir. Senyumannya tak hangat seperti biasa. Wanita bernetra abu-abu itu memandang Martha dengan tatapan sendu. "Aku harus pergi dari sini, Martha."

Alis mata Martha berkedut. "Pergi? Jangan bilang kabar burung bahwa kau diceraikan Mister Martinez itu benar."

Diana mengangguk lemah.

Seakan dapat memahami perasaan Diana, Martha terlihat sedih. "Lalu kau mau pergi kemana, Diana?"

Diana menggeleng cepat, lalu menundukkan kepala. Dia pun tak tahu akan pergi kemana.

"Apa kau mau pergi bersamaku ke Baracoa, hari ini aku harus pulang ke sana, aku baru saja mendapat kabar nenekku sakit, Diana," ucap Martha dengan wajah muram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status