Share

Bab 3 - Kembali ke Venezuela

"Ke Kuba?"

Diana tahu betul jika Martha berasal dari Kepulauan Kuba, bagian Amerika Tengah, terletak sangat jauh dari Venezuela dan harus menyeberangi Lautan Karibia untuk sampai ke sana. Martha, pemilik rambut hitam bergelombang itu datang ke Caracas memang mengadu nasib di sini. Jika Diana pikir-pikir tidak ada salahnya dia ikut ke sana.

"Iya, ayo pergilah bersamaku, Diana. Aku pun belum tentu akan kembali ke kota ini, pakaianku akhir-akhir ini kurang peminat dan biaya sewa gedung juga sudah habis, aku tidak punya uang untuk membayarnya." Martha menjelaskan dengan raut wajah nelangsa.

Diana melempar senyum hambar, merasa kasihan dengan gadis 22 tahun itu. Selama berteman, Diana tahu betul betapa tekun dan uletnya Martha dalam melakukan perkerjaan meski toko kurang peminat selama ini.

"Apa aku tidak merepotkanmu, Martha? Aku membawa seseorang di dalam perutku ini?" tanya Diana sambil mengelus perut.

Martha menggeleng cepat lalu tersenyum sumringah. "Tidak sama sekali, Diana. Justru aku senang, nenekku akan ada teman bermain nanti."

Diana tak membalas malah mengelus lagi perutnya.

"Ayo, Diana, kita berangkat sekarang, takut kapal akan berlayar!" Martha menyambar tangan Diana seketika.

Diana mengangguk dan ikut bersama Martha pergi ke pelabuhan. Diana berharap tak akan lagi menginjakkan kakinya di Venezuela, kota yang pernah memberikan banyak luka.

'Selamat tinggal, Martin.'

Setelah menghabiskan beberapa hari di lautan lepas, akhirnya Diana dan Martha telah tiba di Kuba. Keduanya pun menggunakan bus ke Baracoa, kota tertua dan terkecil di kepulauan Kuba. Kota ini dikelilingi pengunungan-pengunungan dan lautan indah, yang memanjakan mata.

Nenek Martha, Ruth menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Tubuh ringkih nenek Martha membuat Diana merasa iba. Dia berjanji akan menjaga dan merawat nenek Martha.

"Temanmu sangat cantik, Martha," ucap Ruth, sambil terbatuk-batuk sesaat. Wanita yang seluruh rambutnya sudah memutih itu sedang duduk di atas kasur saat ini.

"Hehe, tentu saja, Nek. Aku pun juga cantik 'kan?" Martha sedang berusaha membuat Ruth tersenyum walau sebenarnya dia sangat mengkhawatirkan keadaan neneknya yang memprihatinkan sekarang.

Kedua mata Ruth mendelik sesaat. "Iya, cantik dilihat dari lubang paralon!"

Mendengar komentar Ruth, bibir Martha mengerucut tajam. "Aish, cucu sendiri dihina-hina."

"Habisnya, kau itu terlalu percaya diri," balas Ruth.

Martha semakin cemberut, memilih tak menanggapi perkataan Ruth.

Melihat interaksi antara Martha dan Ruth, Diana terkekeh pelan sebentar. Wanita itu seakan lupa dengan kejadian kemarin.

"Nek, Diana akan tinggal di sini, tidak apa-apa, 'kan Nek?" lanjut Martha lagi.

Pandangan Ruth langsung tertuju pada Diana seketika, dengan sorot mata berbinar-binar. "Tentu saja, boleh, aku sangat senang, anggap saja ini rumahmu. Oh ya, nenek minta maaf karena belum memasakkan kalian makanan tadi."

"Tidak apa, Nek. Tak usah repot-repot, biarkan aku saja yang memasak nanti. Nenek pasti keletihan," ujar Diana sembari tersenyum kecil.

Ruth mengangguk.

Diana begitu senang karena diterima begitu baik oleh Ruth. Dia pun menetap di Baracoa bersama Martha dan Ruth. Diana melupakan sejenak segala kesusahan yang dihadapinya kemarin. Di sini, Martha menjajakan bunga dari rumah ke rumah dan terkadang jika ada kesempatan Diana membantu Martha. Akan tetapi, Diana mulai berpikir tidak bisa mengantungkan hidupnya terus bersama Martha. Apalagi ke depannya biaya hidup anaknya pasti akan besar. Oleh sebab itu, wanita berambut kuning itu terpaksa berkerja di kedai kecil selagi menunggu buah hatinya datang ke dunia. Martha sempat melarang Diana, tapi Diana tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Hari pun datang silih berganti, perut Diana kian membesar. Kemarin, saat periksa ke rumah sakit terdekat, Dokter mengatakan Diana memiliki dua anak kembar. Dia tak menyangka bila memiliki anak kembar berjenis kelamin berbeda. Tepat di musim gugur, lahirnya dua malaikat mungil di tengah-tengah kota Baracoa. Diana memberi nama kedua buah hatinya, Angelo dan Angela.

Waktu pun bergulir sangat cepat. Angelo dan Angela telah tumbuh menjadi anak lucu dan menggemaskan. Meskipun dalam keadaan serba kekurangan, kedua anaknya tidak rewel soal makanan. Alhasil tubuh keduanya nampak menggembul dan sehat.

Diana sangat bahagia. Kehadiran mereka memberi warna di hidupnya. Ruth dan Martha juga turut andil dalam membesarkan Angelo dan Angela. Hampir setiap hari pula Martha membuatkan mereka pakaian yang sama.

"Mommy! Angela hali ini ikut Mommy kelja ya!" Begitulah suara cempreng Angela bergema di pagi hari kala Diana hendak berangkat berkerja. Boneka beruang berwarna cokelat selalu bertengker di tangan kanannya, Angela mendekap boneka tersebut sambil menengadahkan kepala, melihat Diana sedang bersiap-siap.

Di depan pintu rumah, Diana merendahkan tubuh lalu mengelus perlahan rambut hitam Angela. Gadis mungil itu memiliki warna rambut persis seperti Martin dan bola matanya pun berwarna cokelat pula. Angela adalah versi perempuan, Martin.

"Tidak boleh, Sayang. Angela di sini saja bersama Nenek."

Angela mengerucutkan bibir ke depan. "Ih, tapi Mommy, Angela mau ikut Mommy, bial Angela bisa bantu Mommy cali uang!"

Angela bertambah cerewet semakin hari dan ingin tahu segala hal. Seperti kemarin Angela mengekori Martha berjualan bunga bermaksud ingin mendapat uang dari Martha. Sambil mencubit gemas pipi gembul Angela, Diana tersenyum kecil.

"Kalau sudah besar saja Angela bantu Mommy cari uang, sekarang Angela di rumah sama Abang dan Nenek ya."

Diana berusaha membujuk Angela sambil melirik sekilas ke arah Angelo dan Ruth sedang duduk bersama di kursi kayu sedari tadi.

Perangai Angela dan Angelo sangatlah berbeda. Angela bawel dan aktif sekali, sedangkan Angelo terkesan dingin, cuek dan jarang sekali berbicara. Angelo memiliki wajah dan aura yang sangat mirip dengan Martin. Dari hidung, bibir, alis, cara bicara dan sorot matanya begitu persis seperti Martin. Angelo adalah duplikat Martin. Hingga Diana terkadang merinding sendiri melihat sikap Angelo. Namun, anak laki-lakinya itu memiliki salah satu sifat yang tidak dimiliki Martin yaitu perhatian kepada semua orang.

Angela semakin cemberut lantas menatap Diana dengan tatapan memelas seperti mata kucing. "Ayolah, Mommy, Angela ikut Mommy ya, please."

Diana menggeleng pelan sambil mengulum senyum. "Sayang, di rumah saja ya, Mommy tidak akan lama kok hari ini."

"No, no, no, Mommy bohong! Angela tidak akan mudah teltipu lagi!" kata Angela sambil melipat tangan di dada.

Melihat betapa keras kepalanya Angela, Diana menarik napas dalam kemudian.

Dalam sepersekian detik, Angela berlari kencang ke teras rumah hendak mengambil sepatu.

"Angela! Jangan buat Mommy pusing, ayo cepat ke sini, biarkan Mommy berkerja!" Dari atas kursi kayu, Angelo berseru tiba-tiba. Bocah laki-laki itu sudah fasih mengucapkan huruf r berbeda dengan Angela.

Ajaibnya gerakan kaki Angela pun terhenti. Dengan bibir manyun ke bawah, Angela melangkah masuk perlahan ke dalam ruang tamu kemudian memandang Angelo, dengan tatapan tajam setajam silet.

Angelo hanya diam saja lalu melirik sekilas Ruth di samping, sejak tadi senyam-senyum sendiri, melihat tingkah Angela.

Diana tersenyum tipis dan heran karena Angela hanya mau menuruti saudara kembarnya itu sedari dulu. Diana mendekat lalu memegang pundak Angela. "Sudah, Angela di rumah saja ya bersama Abang dan Nenek."

"Mommy jahat, Angela tidak mau!"

Bukannya mengiyakan perkataan Diana, Angela malah berguling-guling di atas lantai sambil berpura-pura mengeluarkan tangisan.

Diana menghela napas pelan, sebab putrinya ini selalu membuat drama jika keinginannya tidak dituruti.

"Angela! Berhenti membuat kegaduhan atau aku akan membakar boneka beruangmu itu nanti!" seru Angelo dengan mata melotot keluar.

Tangis Angela langsung berhenti. Dengan cepat dia duduk di lantai lalu mendekap boneka beruangnya dengan sangat erat.

"Ih dasal psikologi!" seru Angela dengan pipi mengembung.

Mendengar perkataan Angela, pecahlah tawa Diana dan Ruth seketika.

Berbeda dengan Angelo malah membuang napas kasar. "Psikopat, Angela! Psikopat!" teriaknya kesal.

"Telselah! Abang sangat menyelamkan!"

"Wah apa aku melewatkan sesuatu?" Martha baru saja tiba, wajahnya tampak berseri-seri saat ini seperti sedang memenangkan lotre.

Tawa Diana dan Ruth pun terhenti. Lantas dengan cepat menoleh ke sumber suara. Sedikit heran, mengapa Martha pulang cepat. Padahal bunga di dalam keranjang masih terlihat banyak. Saat ini, Martha tengah meletakkan keranjang bunga di atas lantai.

"Tidak ada, Martha? Mengapa kau pulang cepat?" tanya Diana, penasaran.

Martha tak langsung menjawab, malah tersenyum sumringah dan memeluknya tiba-tiba.

"Aaa Diana aku punya kabar gembira! Aku bingung harus dari mana memberitahumu!" seru Martha lalu berputar-putar bak balerina.

Angela bangkit berdiri. Gadis kecil itu terlihat penasaran juga.

"Kabar apa, Martha?"

"Kabal apa Aunty?" tanya Angela juga ikut berputar-putar.

Tak ada tanggapan, Martha malah mengambil tangan Angela dan mengajaknya berputar-putar sambil tertawa gembira.

"Waaa pusing Aunty! Kepala Angela pusing!" seru Angela sambil mengikuti langkah kaki Martha.

Diana menggeleng pelan. Dengan sabar menunggu jawaban dari Martha.

Semenit pun berlalu, Martha menghentikan gerakan lalu menatap Diana.

"Diana, aku baru saja mendapat kabar bahwa pinjamanku di bank diterima, akhirnya aku bisa membuka toko lagi! Hari ini kita pergi ke Venezuela! Kau berhenti saja berkerja! Aku membutuhkan seseorang untuk mempersiapkan tokoku di sana!" seru Diana, semangat.

Diana terpaku sejenak. "Kembali ke Venezuela? Tapi Martha, kau tahu sendiri—"

Martha langsung menyela. "Shft, kau tenang saja kita tidak ke Caracas kok, aku membuka toko pakaian di Puerto La Cruz, jadi tidak mungkin kita bertemu orang itu!"

Martha memberi bahasa isyarat agar Angelo dan Angela tak bertanya-tanya. Dahulu saat Angelo dan Angela bertanya tentang Daddynya, Diana mengatakan Daddynya sudah meninggal.

Diana tak langsung memberi jawaban, masih dilema, takut bila Angelo dan Angela akan bertemu Martin.

"Ayolah, Diana. Lagipula orang itu kan sudah membuang Angelo dan Angela, jadi kau tenang saja. Please, ikut ya, aku mohon ikutlah aku, aku memerlukan bantuanmu, kita bisa berkerjasama Diana, nanti uangnya bisa kau pakai untuk sekolah si kembar." Martha berusaha membujuk Diana.

Diana menarik dan menghembuskan napas pelan lalu mengangguk lemah. Dia tak dapat menolak permintaan Martha. Apalagi selama ini Martha amat berjasa dalam hidupnya.

Sementara itu di sisi lain, tepatnya kota Puerto La Cruz, di hotel berbintang lima.

"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau kau menyentuh tubuh wanita lain selain aku, Martin! Kau tenang saja, sebentar lagi pasti aku akan hamil!" teriak Cordelia dengan berlinangan air mata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status