Share

Bab 2

Penulis: Arlina Khoman
Suara Arfan terdengar lembut dan manja. Livia mengusap lembut rambutnya. "Bibi nggak apa-apa, Arfan jangan khawatir, ya."

Dona selesai mengupas apel dan memotongnya kecil-kecil. "Kalau mau dibilang, ini semua gara-gara Jovita. Biasanya siapa saja yang menjemput Arfan nggak pernah ada masalah, kenapa giliran dia yang ke taman kanak-kanak malah terjadi kebakaran? Dulu dia juga yang bikin Keluarga Tantono bangkrut, sekarang malah bikin keluarga kita kena imbasnya."

Livia menoleh ke Dona dan menggeleng. "Ibu Dona, jangan bicara seperti ini di depan anak-anak."

Arfan memegang potongan apel dan menyuapkannya ke Livia, sambil memanyunkan bibirnya. "Bibi, aku rasa ucapan Nenek benar. Aku nggak suka Mama. Andai Bibi yang jadi mamaku, pasti lebih baik."

Livia membelai lembut rambut Arfan dan anak itu bersandar manja pada tangannya, persis seperti anak kecil yang manja kepada ibunya. Setiap kata yang terucap, setiap adegan yang terlihat, menghujam hati Jovita bagai pisau.

Arfan tidak pernah bersikap manja padanya. Kalau bukan karena adegan ini, Jovita bahkan tidak akan tahu bahwa anaknya punya sisi seperti itu.

Dona menghela napas panjang. "Dari dulu aku nggak setuju sama perjodohan Keluarga Tantono. Kalau bukan karena ayah Farel yang menentukannya, Jovita seumur hidup ini nggak mungkin bisa masuk keluarga kita."

"Sekarang Keluarga Tantono sudah seperti beban, daripada mereka malah nyeret keluarga kita jatuh juga, mending Farel cerai saja sama dia."

Arfan mengangguk berkali-kali. "Kalau Papa cerai sama dia, Bibi bisa nikah sama Papa nggak? Jadi Bibi yang jadi mamaku."

Livia terlihat ragu. "Ibu, ini nggak baik, 'kan?"

"Apa yang nggak baik? Dari dulu aku nggak suka Jovita. Kalau kamu bisa jadi menantuku, aku nggak punya penyesalan lagi."

Livia tersenyum malu-malu. "Ibu, ini semua tergantung keputusan Farel."

Melihat pemandangan hangat di dalam ruangan itu, hati Jovita terasa perih. Air matanya jatuh berderai-derai. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa Farel yang baru saja kembali dari membeli makanan, sudah berdiri di belakangnya.

"Kamu sudah sadar? Kenapa nggak masuk?"

Suara Farel membuyarkan lamunan Jovita. Dia mengangkat tangan dan mengusap air matanya, lalu menoleh menatap Farel. "Aku takut kalau masuk, bakal ganggu kalian sekeluarga yang lagi bahagia."

Ekspresi Farel seketika berubah menjadi masam. "Jangan bangun-bangun langsung cari masalah."

Usai bicara, dia melewati Jovita dan membuka pintu, lalu masuk ke dalam ruangan. Begitu melihat ayahnya kembali, Arfan melonjak gembira dari tempat tidur. Namun begitu melihat Jovita di belakangnya, senyuman di wajahnya langsung lenyap.

Wajah Dona juga langsung menjadi kaku. Suasana di ruangan seketika menjadi canggung. Livia buru-buru berusaha duduk. Farel khawatir lukanya akan tertarik, jadi dia segera maju untuk menahan Livia.

"Kamu tiduran saja, jangan bangun. Hati-hati lukamu."

Livia tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa. Jovita, ayo masuk dan duduk."

Jovita bertumpu pada tongkatnya sambil melangkah masuk. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat suaminya merawat wanita lain dengan penuh perhatian, sementara dirinya yang kakinya cedera malah diabaikan.

"Untuk apa kamu ke sini? Bibi lagi butuh istirahat," kata Arfan dengan nada dingin.

Padahal Livia hanya cedera tangan, sedangkan dirinya terluka jauh lebih parah. Padahal inilah keluarganya. Namun kini, justru dia yang seolah-olah jadi orang luar.

Dona memelotot ke arahnya. "Ada saja orang yang bawa sial, bikin susah semua orang. Nggak ngerti keluarga kita kena musibah apa, sampai-sampai ketiban sial begini."

Farel membuka kotak makanan. "Ibu, jangan asal ngomong."

Kemudian, dia memandang ke arah Jovita. "Aku nggak tahu kamu bangunnya secepat ini, jadi aku nggak bawain makananmu. Di bawah ada kantin, makan di sana saja kalau lapar."

Setelah itu, mereka berempat mulai makan bersama tanpa memedulikan Jovita yang berdiri di pintu dengan wajah pucat. Saat itu, Jovita hanya bisa merasa semuanya begitu konyol. Inikah keluarga yang dia perjuangkan dengan sepenuh hati?

Kalau Tuhan tidak membiarkannya mati dalam kebakaran itu, berarti Jovita harus benar-benar menghargai waktu yang tersisa. Dengan pemikiran seperti itu, Jovita melangkah ke depan dan tatapannya tertuju pada Arfan.

"Arfan, kamu nggak mau aku jadi mamamu, ya?"

Pertanyaan itu membuatnya tertegun dan semua orang langsung berhenti makan dan menatap Jovita.

Bagaimanapun, Arfan masih anak-anak. Mendengar pertanyaan itu, dia langsung mengangguk. "Iya, aku suka Bibi. Kalau aku boleh memilih, aku lebih ingin dia jadi mamaku."

Jawaban yang sudah diduga. Jovita menyeringai dengan senyuman getir, lalu mengalihkan pandangan pada Dona. "Bu, kamu juga nggak mau aku jadi menantumu, ya?"

Mendengar hal itu, Dona langsung berdiri. "Setidaknya kamu masih tahu diri. Kamu itu pembawa sial! Aku sama dengan Arfan, kalau bisa memilih, aku juga nggak mau kamu!"

Farel hanya diam sedari tadi, berpura-pura tenang sambil menyeruput bubur. Justru Livia yang berpura-pura menarik-narik lengan Dona. "Ibu, jangan ngomong begitu."

Dona malah semakin semangat. "Livia, kamu jangan tahan aku. Hari ini aku mau bicara terus terang. Dari awal aku memang nggak suka sama dia. Kalau bukan karena ayah Farel waktu masih hidup ngotot meminta perjodohan ini, aku nggak akan pernah mau dia jadi menantuku!"

"Selama ini, dia sering menggunakan alasan sakit gara-gara melahirkan dan nggak mau kerja. Semua biaya ditanggung sama keluarga kita. Apa bedanya sama orang nggak berguna?"

Tidak berguna? Malas bekerja?

Jovita memang jatuh sakit setelah melahirkan Arfan. Namun waktu itu, dia sudah bersiap untuk kembali bekerja.

Justru Farel yang waktu itu memanjakannya dengan mengatakan bahwa dia sedang sakit dan harus banyak istirahat, biar saja Farel yang mengurus keluarga. Katanya, Jovita cukup fokus menjaga rumah tangga supaya dia bisa bekerja tanpa beban.

Semua itu jelas rencana Farel, tapi sekarang semua kesalahan malah dilimpahkan pada dirinya. Saat Dona terus menghujatnya, Farel malah diam dan pura-pura tidak mendengar apa pun.

Di saat itulah, Jovita akhirnya benar-benar memahami arti dari keputusasaan. Dengan mata yang memerah, dia memandang Farel. "Kalau kamu, Farel? Kamu juga nggak mau aku jadi istrimu, ya?"

Farel baru saja meletakkan sendoknya, lalu menatap Jovita dengan wajah kesal. "Kamu maunya apa sih? Jangan bikin masalah lagi, aku capek sekali sekarang, nggak ada tenaga untuk jawab pertanyaan-pertanyaan nggak pentingmu."

Ada beberapa pertanyaan yang jawabannya tidak perlu diucapkan, tapi sikapnya sudah cukup jelas untuk menjadi jawabannya.

Di saat itu, Jovita akhirnya membuat keputusan. Keluarga yang telah dia pertahankan selama bertahun-tahun, pria yang dia cintai selama delapan tahun ... dia sudah tidak ingin lagi mempertahankannya.

Senyum dingin terulas di sudut bibirnya dan akhirnya dia menatap Livia. "Selamat, selamat buat kalian. Kalian akhirnya mendapatkan apa yang kalian mau."

Livia terlihat berpura-pura cemas, tapi di matanya jelas terlihat kilau kebanggaan yang tersirat.

Farel berdiri dengan ekspresi yang semakin tidak sabar. "Apa maksudmu?"

"Kita cerai saja."

Dahi Farel mengernyit lebih dalam. "Jovita, kamu nggak usah drama begini, jangan kira aku nggak berani."

Jovita terkekeh pelan. "Hah? Nggak berani? Aku malah yakin kamu pasti sudah nggak sabar, 'kan?"

"Jovita!" bentak Farel.

Jovita hanya tertawa sinis. "Akan kusiapkan surat cerai dalam beberapa hari ke depan dan kukirimkan padamu."
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status