Share

Bab 3

Author: Arlina Khoman
Berada di tempat ini sedetik lebih lama saja membuat Jovita merasa sangat tersiksa. Dia berbalik hendak pergi, tetapi suara Farel menahannya, "Jovita, kalau kamu mau cerai, jangan harap bisa bertemu Arfan lagi."

Yang bilang mau bercerai memang dia, tapi yang sebenarnya ingin bercerai jelas Farel. Sekarang malah bersikap seperti korban yang ditinggalkan dan menggunakan anak sebagai ancaman?

Menggelikan sekali.

Jovita bahkan tidak menoleh ke belakang. Dia hanya berhenti sejenak dan berkata, "Hak asuh Arfan untuk kamu. Mulai sekarang, aku bukan lagi ibunya." Setelah itu, Jovita langsung melangkah keluar dari ruang rawat.

Sudut bibir Livia tanpa sadar terangkat membentuk senyuman tipis, lalu buru-buru mengubah ekspresinya menjadi cemas. "Farel, jangan keras kepala. Cepat kejar Jovita," katanya.

Akan tetapi, Farel sudah kehilangan kesabarannya. "Kalau dia mau ribut, biarkan saja. Kita makan saja."

Sambil berkata demikian, dia duduk kembali dan melanjutkan makan seolah tidak terjadi apa-apa. Dona juga mengupas telur untuk Livia dengan sigap. "Nggak usah khawatir, lebih baik begini. Semakin cepat cerainya, semakin cepat lega."

Arfan menyodorkan segelas susu ke Livia. "Iya, Bibi. Nanti kalau Mama sudah pergi, Bibi bisa selalu menemani Arfan." Livia membelai kepala Arfan dengan penuh kasih sayang dan meminum susu yang disodorkannya.

Aroma menyengat dari disinfektan rumah sakit membuat mata Jovita memerah. Dia menahan air mata sekuat tenaga agar tidak jatuh. Dia tidak ingin tinggal di sana lebih lama. Dia hanya ingin segera pulang, membereskan barang-barangnya, lalu meninggalkan Keluarga Wibisono dan menikmati ketenangan seorang diri selama beberapa hari.

Luka di tubuhnya sudah terasa mati rasa. Dengan kepala kosong dan langkah lemah, dia berjalan keluar dengan sempoyongan sambil bertumpu pada tongkat. Begitu masuk ke dalam taksi, barulah dia menekan nomor telepon sahabatnya, Siska.

Saat itu, Siska masih setengah sadar karena mabuk semalam. Mendengar suara Jovita yang terdengar seperti menangis, dia langsung terbangun. Kemudian, dia buru-buru mengenakan pakaian dan pergi ke rumah Farel untuk menjemputnya.

Saat Siska tiba, Jovita baru saja selesai berkemas. Dia berjalan keluar sambil memegang koper dengan satu tangan dan tongkat di tangan yang lain. Siska berlari turun dari mobil, lalu mengambil koper dan menopang tubuhnya.

"Ada apa denganmu? Kenapa kelihatannya kacau sekali?"

Jovita menggeleng pelan. "Kita pergi dulu dari sini, ya."

Siska membantu Jovita masuk ke dalam mobil, lalu selama sepuluh menit berikutnya dia mendengarkan cerita tentang semua yang terjadi sejak kemarin sampai hari ini. Mendengar penuturannya, Siska marah besar sampai menginjak rem mendadak dan menghentikan mobil di pinggir jalan.

"Apa? Farel itu berengsek, anakmu juga nggak tahu diri, berani-beraninya mereka memperlakukanmu seperti itu. Ayo, kita ke rumah sakit! Biar aku yang balas dendam untukmu!"

Jovita buru-buru menahan Siska, "Kita sudah mau cerai, nggak perlu bikin keributan."

Siska terengah-engah menahan amarah, lalu setelah beberapa saat bertanya, "Kamu benaran yakin? Benaran mau cerai?"

"Perceraian nggak mungkin buat main-main," jawab Jovita tenang. Dia tidak pernah merasa hatinya begitu tenang seperti sekarang. Delapan tahun cintanya sia-sia, tapi untungnya dia akhirnya sadar sebelum terlambat.

"Siska, aku mau repotin kamu buat cariin pengacara," katanya.

Siska menepuk pundaknya dengan penuh semangat. "Tenang saja, serahkan ke aku. Aku bakal cari pengacara terbaik untukmu. Semua yang jadi hak kita, harus kita rebut habis-habisan. Nggak boleh kasih kesempatan ke Livia si bajingan itu."

Karena pergi secara mendadak dan dengan luka di tubuhnya, mencari tempat tinggal sementara bukan perkara mudah. Akhirnya, Jovita membawa barang-barangnya dan untuk tinggal sementara di rumah Siska.

Sementara itu di sisi lain, setelah dokter memastikan bahwa Arfan dan Livia tidak mengalami luka serius, Farel pun mengurus proses keluar rumah sakit.

Dengan alasan Farel sibuk bekerja dan tidak punya waktu untuk merawat mereka, Dona membawa Arfan dan Livia pulang ke rumah lama Keluarga Wibisono untuk dirawat.

Farel sendiri langsung kembali tenggelam dalam pekerjaannya setelah menerima panggilan telepon.

Malam itu, Farel keluar untuk menghadiri jamuan makan dan minum banyak alkohol, lalu pulang dalam keadaan setengah mabuk. Maagnya terasa sangat sakit.

Dulu setiap kali pulang dari jamuan, Jovita selalu membuatkan sup hangat untuk menghilangkan efek alkohol dan meredakan sakit maagnya. Ajaibnya, setelah meminum sup itu, sakit maagnya reda dan kepalanya juga tidak pusing keesokan harinya.

Namun hari ini, dia tidak melihat sosok Jovita.

"Bi Wulan, panggil Jovita turun, suruh dia buatkan sup penghilang mabuk."

Wulan mendekat dan menjawab, "Tuan, Nyonya sudah pergi sejak pagi. Dia juga membawa semua dokumen dan barang-barangnya."

Mendengar hal itu, Farel tertegun sejenak dan alisnya sedikit berkerut. "Hah, aku mau lihat seberapa lama dia mau ribut seperti ini."

Farel mengeluarkan ponselnya dengan malas, lalu mengirimkan pesan suara ke Jovita. "Cepat pulang. Kalau kamu terus buat onar lagi, aku benar-benar akan marah."

Muncul tanda seru merah pada pesan itu, pertanda pesannya tidak terkirim.

Wajah Farel langsung menggelap. Dia mencoba menelepon nomor Jovita, tetapi panggilannya tidak tersambung. Ternyata dia sudah diblokir.

"Dasar nggak tahu diri." Farel menggertakkan giginya menahan amarah yang membara, lalu memandang Wulan. "Kamu ... telepon dia."

Wulan mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Jovita.

Saat itu, Jovita sedang mengganti perban lukanya. Melihat panggilan dari Wulan, dia mengira mungkin ada barang yang tertinggal, lalu menekan tombol terima.

"Nyonya, cepatlah pulang. Tuan mabuk berat, maagnya sakit sekali, dia mau minum sup penghilang mabuk buatan Anda."

Jovita hanya merasa geli. Dia masih ingat jelas bagaimana Farel dulu selalu mencibir saat dia membuatkan sup penghilang mabuk. Dia bahkan pernah menggerutu dengan kesal, "Kenapa sup lagi?"

Sekarang mereka mau bercerai, malah Farel yang mengingat-ingat sup itu.

"Kalau sakit maag, ya cari dokter. Kalau mau minum sup, panggil koki saja. Bi Wulan, kami sudah mau cerai. Mulai sekarang, urusannya bukan lagi tanggung jawabku, jangan telepon aku lagi."

Setelah berkata demikian, Jovita langsung menutup telepon.

Karena ponselnya disetel ke pengeraas suara, setiap kata-katanya terdengar jelas oleh Farel. Wajahnya langsung menjadi muram dan kedua tangannya mengepal erat.

Melihat situasi ini, Wulan langsung merasa ada yang tidak beres. Biasanya, apa pun yang sedang dilakukan Jovita, dia selalu menempatkan Farel sebagai prioritas. Namun sekarang, dia malah berbicara seperti itu. Ini pasti pertanda besar.

Wulan menelan ludah dan berkata dengan hati-hati, "Tuan, kalau begitu ... saya saja yang bikin sup untuk Anda?"

Farel menggertakkan giginya, menahan rasa sakit sambil berkeringat dingin. "Nggak usah."

Rasa penasaran membuat Wulan tidak bisa menahan diri, dia bertanya hati-hati, "Tuan, Anda dan Nyonya ... benaran mau cerai?"

Bahkan Wulan juga merasa sulit untuk percaya. Sebab selama bertahun-tahun, dia melihat sendiri bagaimana cinta Jovita pada Farel. Saking cintanya, dia merasa Jovita tidak akan bisa hidup tanpa Farel.

Apalagi selama ini, meski sering bertengkar, Jovita biasanya hanya marah sebentar. Farel pun tidak perlu membujuknya dan tak lama kemudian Jovita akan kembali bersikap baik seperti semula, bahkan membuatkan masakan untuk Farel.

Bagaimana mungkin wanita yang begitu mencintai Farel kini benar-benar memutuskan untuk bercerai?

Pertanyaan Wulan membuat kepala Farel terasa sakit. Dia menggertakkan giginya dengan marah. "Cerai? Hah, mana mungkin dia rela meninggalkanku? Palingan cuma ngambek. Biarin saja."

Kemudian, dia menekan ponsel dan memerintahkan, "Bekukan semua kartu milik Jovita." Dia ingin melihat, seberapa lama Jovita bisa bertahan tanpa uang.

Keesokan paginya, Jovita bangun dan membuat sarapan seperti biasa. Siska yang mencium bau harum masakan, langsung terbangun. Melihat meja yang dipenuhi makanan lezat, matanya langsung membelalak lebar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status