Share

Bab 9

Author: Arlina Khoman
Siska langsung hendak menggulung lengan bajunya untuk memulai keributan lagi, tapi Jovita buru-buru menahannya dan menariknya ke belakang.

"Lihat sendiri, 'kan! Sudah melanggar hukum, dia masih nggak mau berubah! Kalau dia masih seperti ini, aku benar-benar akan menggugatnya!"

Ario buru-buru mencoba menenangkan, "Semuanya, tolong jangan emosi dulu. Apa pun masalahnya, mari kita bicarakan baik-baik."

Meskipun wajah Siska sudah merah padam karena marah, dia tetap ditahan oleh Jovita.

Jovita kembali menatap pria yang ada di depannya. "Pak, tadi aku belum selesai bicara. Aku sudah tahu kira-kira kronologi kejadian ini. Temanku memang bersalah, tapi Bapak juga yang mulai duluan."

Mendengar ada yang tidak beres dari ucapan Jovita, pria itu hendak memotong ucapan Jovita, tapi Jovita segera melanjutkan.

"Kami bisa bayar ganti rugi yang kamu minta. Tapi kami juga akan menuntumu ke pengadilan atas tuduhan pelecehan. Bagaimanapun, setiap hal ada konsekuensinya. Temanku memukulmu, dia akan bertanggung jawab. Tapi kamu yang melecehkan staf kami, juga harus bertanggung jawab."

Mendengar ucapannya, Siska langsung memahami maksud Jovita. Dia pun duduk dengan sikap yang lebih tenang dan mengangkat dagunya dengan percaya diri.

Pria itu mendadak kehilangan kepercayaan dirinya tadi dan kini malah tampak gugup. "Kamu, kamu punya bukti apa!"

"Rekaman CCTV di bar adalah bukti yang cukup jelas, belum lagi ada saksi. Pak, kamu nggak akan menang dalam kasus ini."

"Kamu!" Pria itu kelihatan panik dan kesal, tetapi juga menyadari posisinya lemah.

Melihat peluang untuk mendapatkan uang sudah sirna dan takut urusan ini malah berujung ke pengadilan, dia memutuskan untuk mundur. "Hmph, kalian beruntung! Aku lagi baik hati hari ini, jadi aku nggak mau perpanjang masalah."

Sambil berkata demikian, dia langsung berdiri dan hendak pergi. Namun, Siska mendadak berdiri dan mengadangnya. Pria itu kaget dan mundur selangkah. "Kamu, kamu mau ngapain! Ini kantor polisi!"

Siska menatap pria itu tajam. "Kalau bukan karena jijik, aku udah tampar kamu lagi. Mau masalah ini selesai? Bisa saja, tapi kamu harus minta maaf!"

Melihat situasi semakin tidak menguntungkan, pria itu mulai tampak ingin menghindar.

Ario berdiri dan berkata, "Minta maaf saja, itu bukan hal besar. Sudah buat salah, harus berani mengakui. Benar bukan, Pak?"

Mendengar polisi sendiri berkata demikian, pria itu akhirnya mengalah. Dia hanya ingin cepat-cepat pergi dari tempat penuh masalah ini. Dia pun meminta maaf kepada pelayan wanita yang duduk di dekat pintu.

Meskipun nada permintaan maafnya tidak tulus, pelayan itu akhirnya bisa merasa agak lega.

Setelah itu, pria tersebut buru-buru kabur, sementara Siska membawa pelayannya duduk di dekat pintu. Jovita masuk ke kantor polisi bersama Ario untuk menandatangani dokumen.

"Setelah tanda tangan, kamu bisa bawa temanmu pulang. Tolong ingatkan dia, sekarang ini negara kita negara hukum, jangan bertindak gegabah lagi," kata Ario.

Jovita mengangguk. "Terima kasih banyak, Pak Ario."

Saat kembali ke rumah bersama Siska, semangat tempur Siska sudah hilang.

Begitu sampai rumah, dia langsung mandi. Ketika keluar, Jovita sudah menyiapkan camilan malam untuk mereka. Melihat semangkuk ronde hangat, mata Siska langsung memerah.

"Vita, aku bersyukur banget punya kamu."

Jovita paham betul sifat Siska. Di luar terlihat galak dan tidak kenal takut, tapi begitu di rumah, dia bisa menjadi orang yang paling mudah menangis.

"Kalau lain kali ketemu masalah seperti ini, kamu harus tetap tenang. Kalau sampai kamu terluka gimana?"

Siska yang pipinya sudah mengembung karena makan ronde, menjawab, "Kalau aku benaran terluka, aku tinggal cari kakakku biar dia yang bela aku."

Saat mengungkit tentang Santos, Siska jadi semangat lagi. "Gimana? Kamu sudah ketemu dia hari ini, 'kan?"

Jovita mengangguk. "Kakakmu menyarankanku mulai dengan perceraian secara damai. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Ini nggak bisa ditunda lagi. Besok aku akan menemui Farel untuk membicarakannya."

Siska mengangguk bersemangat. "Baguslah. Aku akan selalu mendukungmu, Vita."

Keesokan paginya, Jovita mengeluarkan Farel dari daftar blokir di ponselnya. Setelah ragu-ragu cukup lama, akhirnya dia menekan tombol panggil.

Saat itu, Farel sedang duduk di kantor. Sejak kemarin, suasana hatinya memang sedang buruk.

Darminto yang mendengar kabar tentang masalah Farel dan Jovita, sengaja datang ke kantor untuk ikut-ikutan penasaran. "Jangan-jangan, Kakak Ipar benaran mau cerai kali ini?"

Mendengar hal itu, wajah Farel semakin masam. Namun, dia tetap memaksakan senyum sinis.

"Mau cerai benaran? Jovita berani? Sekarang keluarganya sudah di ambang kehancuran, dia nggak pernah kerja sejak kami menikah, nggak bedanya sama burung kenari yang aku pelihara. Kalau benaran cerai, dia bahkan nggak akan bisa makan."

Darminto mendengus. "Kak Jovita memang nggak punya uang. Tapi kamu punya. Hartamu juga termasuk harta bersama. Kalau dia nuntut cerai, kamu bisa dipaksa bagi harta."

Farel mendengarnya dan semakin sinis. "Mau harta? Aku yang kerja keras untuk mendapatkan setiap sen di rumah ini. Jovita tahu itu. Kalau dia mau cerai, dia nggak akan dapat apa-apa."

Darminto mengangguk kecil.

"Memang benar. Semua orang di lingkungan kita tahu, Jovita jatuh cinta padamu sejak dia baru remaja. Selama ini dia sangat setia. Kalau orang lain yang mu meninggalkanmu aku percaya, tapi untuk Jovita ... aku nggak yakin."

Mendengar ucapan Darminto, suasana hati Farel sedikit membaik. Wajahnya yang tadinya masam kini tersenyum sinis penuh rasa puas. Saat itulah, telepon Jovita masuk.

Melihat nama Jovita di layar, wajah Farel sedikit cerah.

Darminto yang melihatnya langsung berkata, "Tuh, sudah kubilang, Kak Jovita nggak akan bisa jauh dari kamu. Dia pasti mau minta maaf. Kamu juga nggak usah terlalu keras, bujuk dia sebentar, masalah ini selesai."

Farel mengangkat telepon. "Kamu sudah puas bikin onar?"

Jovita mendengus dingin. "Aku telepon untuk mengajakmu bertemu. Aku mau menyerahkan surat perjanjian cerai padamu."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status