Share

Bab 8

Author: Arlina Khoman
"Sekarang juga, datang ke rumah Ibu. Aku mau bicara denganmu." Nada memerintah Farel membuat Jovita merasa tidak nyaman.

"Farel, aku ulangi untuk terakhir kalinya, aku sudah memutuskan untuk bercerai denganmu. Kamu nggak punya hak untuk memerintahku."

Mendengar penolakan tegas dari Jovita, wajah Farel semakin muram. "Kamu belum puas bikin onar? Oke, bagus."

Jovita sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan amarahnya. Dia langsung menekan tombol untuk memutuskan panggilan.

Menyadari teleponnya diputus, Farel tertegun sejenak, lalu hendak membanting ponsel itu dengan marah. Namun melihat Livia di sampingnya, dia menahan diri dan menyerahkan ponsel itu kembali padanya.

Melihat ekspresi Farel yang muram, tanpa perlu dipikirkan sekalipun, Dona sudah tahu apa yang dikatakan Jovita. "Tuh, apa aku bilang? Jovita itu memang mau berontak, dia sudah lupa diri!"

Farel mengepalkan rahangnya. "Dia bilang mau cerai. Baik. Kalau begitu, aku akan kabulkan permintaannya."

Mendengar hal itu, wajah Livia langsung menunjukkan ekspresi sedih. "Jovita pasti masih marah karena kejadian kemarin. Dia pasti marah padaku. Kalau keberadaanku akan menghancurkan rumah tangga kalian ... aku akan pergi."

Livia berbalik hendak pergi. Melihat hal itu, Arfan langsung berlari memeluknya. "Bibi, jangan pergi! Papa sudah setuju untuk cerai sama Mama, nanti Bibi bisa jadi mamaku!"

"Arfan, jangan bicara sembarangan. Farel, Jovita itu wanita baik. Sebaiknya kamu pertahankan pernikahan kalian." Livia pura-pura ingin menenangkan Arfan dengan mendudukkannya di sofa, lalu bersiap meninggalkan ruangan.

Farel buru-buru menarik lengannya. "Ini bukan salahmu. Ini semua ulah Jovita. Kenapa kamu yang harus pergi?"

Dona juga berdiri dan menghalangi jalannya. "Benar! Rumah ini juga rumahmu. Kamu mau ke mana? Kalau ada yang harus pergi, itu si Jovita!"

"Tapi ...." Livia berpura-pura tampak ragu dan serba salah.

Dona menarik Livia dan mendudukkannya di samping Arfan. "Nggak ada tapi-tapi. Waktu ibumu meninggal, dia menitipkanmu padaku. Aku harus jaga kamu sebaik mungkin."

Arfan memeluk Livia dengan sikap manja. Farel yang merasa kepalanya pusing dengan keributan itu, langsung berbalik naik ke lantai atas untuk beristirahat.

Dulu Jovita juga pernah ngambek. Namun biasanya setelah beberapa hari, dia akan kembali dengan malu-malu dan minta maaf. Namun entah kenapa, kali ini rasanya berbeda.

Farel duduk di ruang kerjanya dan menarik napas panjang untuk mencoba menenangkan diri.

Bahkan ketika dia hampir cacat permanen sekalipun, Jovita adalah wanita yang tetap mendampingi dan mengatakan cinta padanya. Mana mungkin dia benar-benar akan bercerai? Tanpa dirinya, Jovita pasti takkan bisa bertahan.

Kalau dia mau ngambek, biarkan saja. Nanti, saat dia sudah tak punya jalan untuk kembali, Farel akan lihat sendiri bagaimana Jovita akan berlutut dan memohon.

Malam harinya, Livia menidurkan Arfan.

Arfan berbaring memeluk lengannya. "Bibi, aku tadi sudah akting seperti yang diajarkan Bibi. Aktingku bagus nggak?"

Livia menepuk lembut pipinya. "Bagus sekali. Arfan memang pintar."

"Kalau begitu, nanti Bibi bisa jadi mamaku, 'kan?"

Livia tersenyum. "Tenang saja, selama Arfan mau, Bibi pasti akan jadi mamamu."

Posisi Nyonya Wibisono ini, cepat atau lambat akan jadi miliknya.

Sekitar pukul sepuluh malam, Jovita menerima draf perjanjian cerai yang dikirim oleh Santos. Dia juga mengirim pesan suara. "Saranku, kamu sebaiknya mulai dengan perceraian secara damai. Kalau dia menolak, baru kita gugat ke pengadilan."

Jovita membuka dokumen perjanjian itu. Pembagian harta di dalamnya sangat jelas. Semua harta dan properti yang diperoleh selama pernikahan dibagi rata 50 persen, hak asuh anak jatuh ke tangan Farel.

Jovita membalas pesan suara, "Baik, Kak Santos. Besok aku akan bicara dengannya."

Baru saja mengirim pesan suara, ponsel Jovita langsung menerima panggilan masuk. Ternyata dari kantor polisi. "Halo, ini Ibu Jovita?"

"Dengan saya sendiri."

"Di sini Polsek Jalan Merdeka. Teman Anda, Siska, terlibat perkelahian dan kami butuh seseorang untuk menjemputnya. Dia meminta kami menghubungi Anda."

Mendengar hal itu, Jovita langsung berdiri dan mengenakan pakaiannya. "Baik, saya akan segera ke sana."

Jovita sangat mengenal sifat Siska. Meski impulsif dan cenderung konfrontatif, Siska adalah orang yang tahu batasan. Dia juga selalu rasional dan tidak mungkin melukai orang lain tanpa alasan yang jelas. Pasti ada kesalahpahaman di balik ini.

Sesampainya di kantor polisi, bahkan sebelum masuk ke ruang utama, Jovita sudah mendengar suara lantang Siska dari dalam. "Kalian ini gimana, sih! Jelas-jelas dia yang nggak sopan! Dia melecehkan pegawai wanita di barku, aku cuma kasih dia pelajaran, kenapa aku malah disuruh ganti rugi?!"

Kemudian, terdengar suara polisi yang mencoba menenangkannya. "Harap tenang, Bu Siska. Apa pun penyebabnya, tetap Anda yang memulai kekerasan. Pihak lain bersedia menyelesaikan masalah ini secara damai."

"Kalau Anda menolak, dia akan menuntut Anda atas tuduhan penganiayaan. Itu akan berdampak besar bagi Anda."

Siska memukul meja dengan keras. "Mau tuntut, ya tuntut saja! Aku nggak takut!"

Saat itulah, Jovita masuk ke ruangan. Begitu melihatnya, Siska langsung berlari memeluknya. "Jovita, kamu harus bela aku! Dia melecehkan pegawaiku, aku cuma tampar dia dua kali, kenapa aku harus ganti rugi?"

Jovita buru-buru menenangkan Siska, khawatir dia terlalu emosi dan malah menyinggung polisi. "Tenang dulu, biar kuurus ini."

Meski masih marah dan terengah-engah, Siska akhirnya duduk di samping samvil menyilangkan tangan di dada dan melotot ke arah polisi muda di sana.

Jovita mendekati polisi. "Pak Polisi, boleh saya tahu nama Anda?"

"Ario."

"Pak Ario, salam kenal. Namaku Jovita, teman Siska. Tadi aku sudah dengar cukup jelas dari luar. Sebenarnya, kami nggak keberatan untuk bayar ganti rugi. Berapa yang diminta oleh pihak sana?"

Ario menghela napas. "Empat juta."

Jovita mengangguk. "Nggak banyak, baiklah. Kalau begitu, tolong bawa orangnya ke sini, aku ingin bicara sebentar dengannya. Apakah itu memungkinkan?"

Melihat sikap Jovita yang tenang dan rasional, Ario mengangguk. "Baik, tunggu sebentar."

Begitu Ario keluar, Siska langsung mendekat dengan gusar. "Kamu jangan bodoh. Aku nggak salah di sini. Meskipun cuma empat juta, aku nggak akan mau bayar, sepeser pun."

Jovita mengangguk pelan. "Tenang, aku punya cara."

Baru saja dia berkata demikian, Ario kembali masuk membawa pria yang terlibat. Siska langsung memandangnya dengan penuh amarah, sementara pria itu justru memasang wajah penuh kemenangan.

"Orangnya sudah kubawa. Silakan bicara di sini," kata Ario, lalu duduk di tengah. Jovita dan Siska duduk di satu sisi, sementara pria itu duduk di seberang.

"Pak, pertama-tama izinkan aku meminta maaf atas tindakan temanku. Bagaimanapun, memukul orang tetap salah."

Mendengar hal itu, pria tersebut langsung mendongakkan dagu dengan angkuh.

"Tentu saja. Itu jelas penganiayaan. Kalau aku pergi ke rumah sakit untuk visum, aku bisa menuntutnya. Tapi aku ini orang baik hati, nggak mau memperumit masalah dengan anak muda seperti dia."

"Makanya aku mau kasih kesempatan dengan cuma minta uang ganti rugi. Tapi temanmu itu malah nggak tahu diri, nggak mau bayar."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 100

    Sandra akhirnya lebih tenang.Jovita memanfaatkan waktu untuk keluar ke lorong dan menelepon Santos. "Hari ini aku mau minta izin cuti."Santos tidak langsung menolak. "Masa masih masa magang sudah minta izin cuti ...."Jovita sempat mengira dia kesal dan ingin menjelaskan alasannya, tetapi kemudian merasa urusan keluarga tak perlu terlalu dibuka.Akhirnya, dia hanya menggigit bibir dan berkata, "Aku benaran ada urusan mendesak. Kalau perlu, potong saja gajiku."Santos masih ingat, terakhir kali saat mabuk, Jovita tetap memikirkan gajinya. Sekarang Jovita malah bilang gajinya boleh dipotong. Itu berarti, dia bertemu masalah besar."Oke. Kalau butuh bantuan, langsung telepon aku.""Terima kasih."Setelah menutup telepon, Jovita kembali. Namun, sebelum sempat duduk, pintu ruang operasi telah dibuka.Dokter keluar dari dalam. Sandra dan Jovita buru-buru menghampiri."Dokter, gimana keadaannya?""Ayahku nggak apa-apa, 'kan?"Dokter mengangguk. "Untung dibawa cepat. Kami sudah lakukan opera

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 99

    Selesai makan, Ario merasa kurang nyaman kalau terus berlama-lama. Jadi, dia bangkit dan bersiap untuk pulang.Sebelum pergi, dia berujar, "Siska, kasih aku nomormu deh. Nanti kamu hitung saja barang-barang yang rusak gara-gara aku, aku pasti ganti."Siska cukup kaget, tetapi tidak menolak. Dia mengeluarkan ponsel dan menambahkan kontak. Saat Ario pergi, Siska menoleh dengan ekspresi bangga ke arah Jovita dan Santos."Bilangin ke Jayden sama Winny, taruhan kemarin aku menang ya. Dia sendiri yang minta nomorku lho!"Santos langsung maju dan menjewernya. "Kamu makin berani ya? Baru beberapa hari sudah bawa cowok nginap, itu pun cowok mabuk. Kalau Ayah tahu, kamu bisa habis."Siska pun mencemberutkan bibirnya. "Kak, aku salah. Tolong jangan bilang ke Ayah. Nanti si pria tua itu patahin kakiku!"Jovita tahu betul, Siska memang sangat takut pada ayahnya. Santos melepaskan tangannya sambil memperingatkan, "Lain kali kalau kejadian begini lagi, aku bakal kasih kamu pelajaran."Siska buru-buru

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 98

    Siska baru mengangkat telepon setelah cukup lama. Napasnya terengah-engah seperti benar-benar kelelahan.Jovita langsung panik. "Kenapa? Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Jangan-jangan habis minum malah kebablasan dan dimanfaatkan orang?Siska menghela napas panjang. "Ada masalah, masalah besar. Kalian cepat ke sini ya."Usai berbicara, Siska langsung menutup telepon. Jovita buru-buru memanggil sopir pengganti bersama Santos, lalu mereka menuju rumah Siska.Jovita tahu kode akses rumahnya. Begitu pintu dibuka, aroma aneh langsung menyergap dari dalam.Detik berikutnya, mereka melihat Ario duduk bersila di lantai, memeluk tempat sampah dengan wajah penuh kesedihan.Sementara itu, Siska duduk di sofa sambil menatapnya dengan ekspresi jijik. Melihat keduanya datang, Siska langsung mencebik dan memeluk Jovita."Vita, aku apes banget! Tempat sampahku itu merek LV. Lihat, jadi kotor setelah dia muntahin!" Selesai berbicara, Siska menunjuk ke arah sofa. "Sofa itu juga diimpor dari luar negeri, kulit

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 97

    "Dia itu nggak bisa dansa."Melihat Farel kembali mendekat, senyuman di mata Jovita perlahan memudar. Santos bahkan langsung memutar bola matanya."Pantas saja Jovita minta cerai darimu. Ternyata pemahamanmu soal dia bahkan nggak selevel temannya.""Kamu ...!" Farel marah, tetapi masih berusaha menjaga harga diri. Dia pun mendengus dingin dan meneruskan, "Jovita, nggak bisa dansa itu nggak memalukan. Tapi kalau sudah tahu nggak bisa dan masih maksa, itu baru memalukan."Mendengar itu, Jovita mendengus. Sebenarnya, dia bukan orang yang suka bersaing, tetapi omongan Farel itu membuatnya enggan mengalah.Jovita pun mengulurkan tangan, menggenggam tangan Santos, lalu berdiri. Mereka pun menuju ke bagian tengah lantai dansa.Farel hanya bisa melihat dari samping. Wajahnya langsung berubah suram. Jelas-jelas dia ingin Jovita tidak menari, tetapi mulutnya malah terus mengomel, "Sok banget! Nanti malu baru nyesal!"Livia menggigit bibir, menatap Jovita dengan tatapan penuh kebencian. Dia tahu

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 96

    "Pak Luca mungkin harus kecewa hari ini, karena wanita cantik ini adalah pasangan dansaku malam ini."Jovita menggandeng lengan Santos dengan anggun, lalu memandang Luca dengan tenang. "Benar sekali. Lagian, aku dan Farel sedang dalam proses perceraian, jadi sebentar lagi kami bukan suami istri lagi. Karena Farel bawa pasangan, aku nggak bakal ganggu mereka."Ucapan Jovita seketika membongkar hubungan antara Farel dan Livia di depan umum. Mendengar bahwa mereka tengah mengurus perceraian, hadirin pun mulai ramai berbisik-bisik. Wajah Farel tampak sangat suram."Oh, begitu ya? Kalau bisa berpisah baik-baik, itu juga hal bagus. Kalau begitu, aku nggak akan ikut campur urusan anak muda. Kalian bersenang-senanglah."Luca memang pintar. Sekilas saja dia sudah tahu situasinya. Jika Jovita memang ingin memutuskan hubungan dengan Farel, dia pun tak perlu repot-repot membantu mereka.Di bawah arahan Luca, hadirin akhirnya bubar. Jovita tetap menggandeng lengan Santos, berjalan ke sisi lain ruan

  • Membebaskan Diri Dari Perbudakan Suami dan Anak   Bab 95

    Farel menatap tajam ke arah Santos, seolah-olah ingin mencabik pria itu hidup-hidup.Melihat situasi nyaris meledak menjadi perkelahian, Jovita maju selangkah dan menarik ujung jas Santos.Santos akhirnya melepaskan cengkeramannya. Farel pun terhuyung dan segera ditopang oleh Livia."Kak Farel, aku benaran nggak apa-apa. Kita balik saja yuk ...."Farel masih menatap Jovita dengan mata penuh amarah. "Jovita, kita bahkan belum resmi bercerai, tapi kamu sudah nggak sabar pacaran sama cowok barumu di depan umum. Terus, kamu masih berani tampar Livia? Kamu nggak merasa dirimu murahan?"Santos hendak maju lagi, tetapi Jovita langsung menariknya ke belakang dan berdiri di depannya. "Biar aku yang hadapi. Beberapa hal memang harus kuselesaikan sendiri."Santos terpaksa mundur selangkah, tetapi tetap berjaga di belakang. Jovita menatap Farel dengan dingin, lalu melirik Livia sekilas."Kalian nggak perlu menyalahkan orang lain. Aku dan Pak Santos nggak punya hubungan istimewa. Tapi, kalian? Apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status