"Mas!" Lagi aku memanggil Mas Bram, tetapi yang dipanggil masih belum menyahut dan sibuk dengan ponsel pintar miliknya.
"Lagi chatan sama siapa sih? kayaknya asik banget." Aku sengaja mendekatkan wajahku ke depan wajahnya agar kali ini ia menyadari kedatanganku.
"Astagfirullahaladzim, Naya!" geram Mas Bram karena kaget, ponselnya hampir saja terjatuh. "Ngagetin aja, bisa gak sih yang sopan manggilnya." Mas Bram masih terlihat kesal, mungkin juga jantungnya kini tengah memompa lebih cepat dari biasanya.
Aku menghela nafas lalu membuanganya dengan masygul. "Aku dari tadi udah manggil-manggil, Mas. Masnya aja yang gak dengar dan malah senyam-senyum. Memang chat sama siapa sih?" tanyaku penasaran.
Mas Bram langsung kelihatan gelagapan, namun ia segera bisa menguasai dirinya. "Em, bukan siapa-siapa cuma teman." ia memaksakan senyumnya.
"Ya udah itu tehnya aku mau mandi dulu!"
"Em, ya mandi sana!" balasnya lalu kembali memainkan ponselnya lagi.
Aku melangkah ke arah kamar mandi, lalu berbalik lagi, karena rasa penasaran akan penemuanku tadi siang membuatku tidak bisa lagi menunda untuk segera menanyakannya pada Mas Bram, semakin ditunda membuat pikiranku merasa terbeban. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, toh Mas Bram suamiku harusnya tidak ada yang ditutup-tutupinya, kecuali kalau sudah mulai berbelok, harus segera diluruskan
"Mas, apa ini punya, Mas?" Aku menunjukkan sebuah nota Hp yang kuambil di bawah bantal.
Mas Bram nampak terkejut "Dari mana kamu dapat itu?"
"Di saku celanamu, Mas waktu aku mau cuci pakaian kerja, Mas," jawabku.
Terlihat wajah Mas Bram nampak panik. "Em itu, itu punya Agung temannya, Mas." jawab Mas Bram dengan ekpresi yang terlihat aneh. Aku menautkan alis. "Ya kemarin, dia minta tolong, Mas untuk dibeliin Hp karena dianya sibuk, dan Mas lupa ngasih notanya." Menurutku alasan Mas Bram terdengar aneh ya sudahlah lebih baik aku percaya saja, orang kaya memang suka sibuk.
"Kalau ini?" tanyaku lagi dengan menunjukkan kotak alat kontrasepsi yang masih ada isinya.
Seketika wajah Mas Bram nampak pias, entah alasan apa kali ini yang akan dibuatnya. Sebab saat berhubungan Mas Bram tidak pernah menggunakan itu, lalu untuk apa ia membeli itu? Aku ingin mendengar jawabannya.
"Em itu, kalau itu punya Agung juga," Mas Bram terkekeh nampak sekali ia menutupi kegugupannya, dan tertawa yang dipaksakan. "Ya udahlah ngapain juga kamu sibuk ngurus hal kayak begituan, tadi katanya mau mandi. Cepat mandi sana!" ucap Mas Bram, lalu mengambil benda tersebut dari tanganku.
Entah kenapa perasaanku tidak enak, aku merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan Mas Bram dariku. Baiklah, Mas aku percaya. Namun, jika terbukti kamu bermain di belakangku bersiaplah untuk hukumannya.
Aku pun segera masuk ke kamar mandi membersihkan diri yang sudah begitu terasa lengket campuran debu dan keringat, ditambah bau anyir bekas darah saat tubuh ini memeluk tubuh Oma waktu di pasar tadi.
Saat sedang mandi aku kepikiran Oma, besok bagaimana caranya aku harus kembali ke rumah sakit untuk melunasi sisa pembayarannya, aku belum memeriksa uang hasil tabunganku apakah cukup? Setidaknya aku punya perhiasan yang nantinya bisa kujual kalau kurang.
Usai mandi kulihat Mas Bram sudah tertidur dengan dengkuran halus sembari memegangi Hp, teh yang tadi kubuat juga tinggal sedikit lagi. Aku tersenyum, lamat-lamat aku memandangi wajahnya, gurat lelah begitu kentara di wajah sawo matangnya. Aku segera menarik selimut diujung kaki hingga menutupi dadanya.
Tiba-tiba ponselnya berdering, sebuah notif dari aplikasi hijau masuk, dengan nomor baru. Karena penasaran aku pun mengambil ponsel Mas Bram dan mengeceknya.
Mataku terbelalak, saat membaca sebuah pesan dari nomor baru yang mungkin sengaja tidak di simpan Mas Bram.
[Mas makasih ya untuk hadiah hp barunya] yang diakhiri dengan emotion love.
Apa? jadi Mas Bram bohong soal nota hp itu? Aku kembali menelurusi pesan-pesan lainnya, rasanya jantungku mau copot melihat chat-chat mesra Mas Bram dan perempuan yang belum kuketahui siapa namanya.
Tanpa menunggu, aku segera mengambil ponsel milikku dan menyimpan nomor tersebut ke dalamnya, tidak lupa untuk menyadap pesan WA Mas Bram, tidak sia-sia selama ini aku sering nonton drama indos*ar aku menangis, dan juga cerita emak-emak di grup-grup KBM yang juga katanya mirip cerita ik*n terbang, setidaknya aku bisa belajar cara menghadapi suami tipe begini, dengan elegan.
Dengan nafas yang masih terengah-ngeah aku mengembalikan ponsel milik Mas Bram ke dalam pelukannya agar tidak ada kecurigaan. Dadaku begitu terasa sesak. Mengetahui kebenaran ini.
Aku segera berbaring, di antara kami ada Rania yang sudah tertidur pulas. hati dan pikiranku begitu gelisah hingga membuatku sulit untuk tidur, memikirkan rencana apa yang harus kulakukan jika sampai terbukti kalau Mas Bram bermain gila di belakangku.
Malam semakin larut, namun mataku tetap enggan terpejam, kulirik jam di atas nakas pukul 12 lebih lima sembilan. Akhirnya aku memutuskan untuk salat tahajud memohon petunjuk dari semua masalah ini, tanpa sadar akhirnya aku tertidur di atas sejadah.
***
Pagi-pagi sekali usai salat subuh aku sudah sibuk di dapur. Menyiapakan sarapan untuk kami semua, sebagai menantu aku cukup tau diri untuk mengerjakan ini semua, mengingat Mama tidak lagi muda, dan Mita masih sekolah.
Aku tidak keberatan mengerjakan ini semua andai Mama dan Mita bisa sedikit saja menghargai keberadaanku mungkin aku malah akan merasa senang mengerjakannya, ditambah lagi sikap Mas Bram yang cuek, membuatku merasa tertekan. Tetapi, bukankah menggerutu akan membuat beban semakin berat, lebih baik berusaha untuk menerima dan sabar selagi masih di batas wajar.
"Dek, tadi malam kamu buka ponsel, Mas?" tanya Mas Bram saat aku kembali ke kamar.
"Tidak, memangnya kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura.
"Em, gak apa-apa." jawabnya terlihat kikuk, dan menggaruk kepalanya. Mungkin Mas Bram merasa aneh mendaati pesan baru yang telah berubah centang biru.
Aku ingin melihat seberapa pintar kamu menyimpan bangkai, Mas?
Bersambung ...
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."