Tiba di rumah sakit petugas dengan seragam serba putih dengan sigap segera menaikkan tubuh Oma Lastri ke atas brankar dan mendorongnya menuju ICU.
Selama Oma di ICU aku menunggu dengan cemas, sembari memeluk tubuh Rania.
"Ma, Oma kenapa? Oma gak matikan?" tanya Rania tiba-tiba memecah keheningan.
Aku tersenyum getir sambil mengelus rambut sepundaknya. "Kita doain ya semoga, Oma Lastri baik-baik saja." Aku kembali memeluk tubuh putriku.
"Maaf apa Ibu keluarga pasien?" Tiba-tiba seorang suster datang menghampiri kami.
"I-iya saya, Sus," jawabku gugup.
"Silahkan untuk mengurus administrasinya dibagian depan, biar korban bisa segera di tindak lanjuti untuk dilakukan operasi," jelas Suster Mila yang kuketahui namanya dari bed namenya.
"Tapi, Sus ...."
"Mari, Bu silahkan!" Suster Mila tersenyum ramah sembari mempersilahkan.
Dengan perasaan berdebar aku pun mengikuti suster Mila menuju resepsionis. Tiba disana aku tercengang melihat biaya yang harus dibayar untuk operasi Oma, dari mana aku dapat uang sebanyak itu.
"Sus, bisakah saya bayar sebagian dulu, nanti kurangnya akan segera saya lunasi," Entah dari mana uangnya, setidaknya di rumah aku masih punya simpanan.
"Baik, Bu silahkan tanda tangan di sini." Aku pun segera menanda tangani berkas tersebut.
Semoga Oma Lastri segera mendapat penanganan yang baik. Selama menunggu proses operasi aku tak henti-hentinya berdoa agar operasi Oma Lastri berjalan dengan lancar.
Entah sudah berapa lama aku dan Rania di sini, untungnya selama menunggu kami sudah makan di kantin. Aku melirik jam yang menempel pada dinding rumah sakit pukul menunjukkan 15 lebih empat lima. Di rumah, Mama pasti sudah menunggu, bukan sebab rindu apa lagi kalau bukan agar bisa menyuruhku ini, itu. Biar saja nyawa seseorang lebih penting saat ini. Aku hanya perlu mempersiapkan diri untuk mendengar ocehan Mama setelah pulang nanti.
Setelah menunggu hampir satu jam setengah akhirnya dokter keluar dari ruang operasi, aku pun segera bangkit dari duduk sambil menggendong Rania.
"Bagaimana, Dok?" tanyaku tak sabar.
"Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, dan sudah bisa dipindahkan ke ruangan khusus inap. Namun, untuk sekarang pasien belum sadarkan diri."
"Alhamdulillah." Akhirnya aku bernafas lega. "Apa saya boleh melihat keadaannya, Dok?" tanyaku lagi.
Dokter yang dipanggil Yuda itu hanya mengangguk dan pamit pergi.
Meski Oma belum sadar setidaknya ini membuatku lega, sekarang Oma sudah dipindah ruang. Sebaiknya aku pulang dulu, takut Mas Bram khawatir.
Aku pun segera menemui, Oma yang masih belum sadar.
"Cepat sehat, Oma," ucapku lirih sembari menggenggam jari jemarinya. Entah Oma mendengar atau tidak. "Oma, Naya pamit pulang dulu ya! Oma cepat sembuh ya!"
Aku dan Rania pun segera pulang hari sudah beranjak sore, matahari pun sudah mulai pulang ke peraduannya itu artinya, Mas Bram juga sudah pulang. Batre Hp lowbat jadi aku tidak bisa mengabari Mas Bram atau pun Mama, jelas ini akan menambah petaka karena tidak bisa memberi kabar.
Pelan aku membuka pintu gerbang, berharap Mama atau pun Mas Bram dan yang lainnya tidak tahu kalau aku baru pulang. Tetapi, saat tiba di depan pintu utama ternyata Mama sudah menungguku.
"Oh bagus ya habis keluyuran kemana saja kamu, jam segini baru pulang?" tanya Mama dengan nada tinggi sembari berkecak pinggang. "Atau kamu sengaja buat, Mama kelaparan, karena nungguin kamu." Masih dengan nada tinggi.
"Ma-maaf, Ma ta-tadi, di pasar ada kecelakaan, ...."
"Terus apa hubungannya sama kamu?" Tanpa mendengar penjelasanku Mama sudah memotong ucapanku.
"Tadi yang kecelakaan gak ada yang nolongin ... Jadi a-aku ...."
"Jadi orang lain lebih penting dari pada Mama sama Mita juga Bram? Hah!" Kemarahan Mama semakin meledak.
"Ma-maaf, Ma bukan begitu," jawabku takut-takut, sementata Mas Bram dan Mita menatapku dengan tatapan yang entah.
"Halah sok-sokan jadi pahlawan kesiangan, Suami, Mama mertua sama adik ipar sendiri dibiarin kelaparan." timpal Mita sambil melipatkan tangannya di depan dada.
"Bu-bukan begitu Dek, ya udah Kalau gitu aku masakin aja dulu." Aku bersiap hendak masuk menuju dapur, tetapi Mama segera menghalangi.
"Halah Gak perlu, udah telat!"
"Kamu, 'kan punya Hp harusnya kamu bisa hubungi, Mas. Bikin panik aja!" ucap Mas Bram dingin. "Mas, gak suka ya kamu ajak-ajak, Rania kayak gitu! Kenapa gak kamu tinggalin aja sih, 'kan ada Mama!" cerca Mas Bram panjang lebar.
Aku melirik Mama, apa Mas Bram bilang Rania tinggalin sama Mama? Apa aku gak salah dengar, kulihat ekpresi Mama tampak masam mungkin karena disinggung Mas Bram soal Rania harusnya tinggal sama dia. Mana mungkin Mama mau direpotkan dengan mengasuh Rania saat aku pergi.
"Tuh dengar apa kata, Mas Bram!" lagi Mita menimpali.
"Maaf, Mas Hpnya lowbert," balasku.
"Udahlah cepat masuk!" titah Mas Bram dingin, aku hanya mengekor sembari menggendong Rania, dan tidak berkata apa-apa, takut salah ngomong, dan membuat masalah semakin runyam, aku memang salah.
Setelah masuk ke dalam kamar aku segera meletakkan tubuh Rania yang sudah tertidur pulas ke atas kasur. Sementara itu, Mas Bram melepas pakaian kerjanya dan mengambil handuk.
"Buatin, Mas teh!" ucap Mas Bram, lalu berlalu menuju kamar mandi.
"Iya, Mas!" Aku segera memunguti pakaian kotor Mas Bram yang berserakan di atas lantai, saat akan mengambil baju kemeja kerjanya aku mencium bau aneh, aroma parfum wanita, tetapi bukan punyaku tentunya.
'Ah, Mas Bramkan seharian kerja berintraksi dengan banyak orang mungkin saja itu hal yang biasa' aku menepis segala pikiran negatifku dan segera menaruh pakaiannya ke keranjang pakaian kotor.
Setelah itu menyiapkan pakaian ganti untuk Mas Bram yang sengaja ku taruh di atas ranjang, karena aku akan ke dapur untuk membuatkannya teh.
Saat kembali ke kamar kulihat Mas Bram sudah terlihat rapi dengan kaos polos dan celana pendeknya, rambutnya tersisir kebelakang. Ia tengah duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya dan senyam-senyum hingga tidak menyadari kedatanganku. Entah dengan siapa Mas Bram berbalas chat sampai tidak mendengar suaraku.
Bersambung ...
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun."Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai."Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa."Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma."Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.Mendengar perkataanku, Doni t
Dekorasi nuansa putih dengan perpaduan warna ungu menghiasi taman belakang. Para pelayan bagian konsumsi juga nampak sibuk dengan tugasnya masing-masing. Para tamu undangan juga mulai berdatangan.Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga, apa lagi kalau bukan hari pertunanganku dan Dewa. Perasaan gugup tidak bisa kutepiskan, padahal ini bukan kali pertama aku akan menikah.Berkali-kali aku mematut diri di depan cermin, mensugesti diri agar tidak gugup. Aku berbalik saat melihat pintu kamar terbuka. Oma tersenyum menatap ke arahku lalu berjalan mendekatiku."Oma ...." ucapku, aku pun duduk di sisi ranjang bersama Oma."Mudah-mudahan pernikahanmu kali ini langgeng ya, Sayang. Oma hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk kamu dan juga Dewa," ucap Oma sembari memegang tanganku."Aamiin ... Terima kasih, Oma itu sudah lebih dari cukup," jawabku tersenyum, lalu memeluk tubuhnya. Oma pun membalas pelukanku sembari mengusap-ngusap punggungku."